ASK
ME

REGISTER
NOW

Melihat Teknologi dari Kacamata Privasi dan Kemanusiaan

12/9/2025 12:00:00 AM



Jakarta - Teknologi biometrik dan kecerdasan buatan berkembang pesat, dari pemindaian wajah hingga deepfake. Manfaatnya besar, tapi risikonya ikut mengekor, yakni privasi kian rapuh ketika data pribadi bisa dicuri atau digandakan dalam hitungan detik.


Menyikapi dinamika tersebut, tim peneliti Unika Atma Jaya (UAJ) menggelar Diseminasi Hasil Penelitian dan Diskusi Publik bertema “Data Biometrik dan Teknologi Deepfake: Merespons Inovasi Teknologi dengan Perspektif Perlindungan Privasi dan Keamanan.” Acara berlangsung di Aula K2.202 Gedung K2, Kampus Semanggi serta melalui Zoom Meeting, Kamis (27/11).


Diskusi menghadirkan narasumber lintas sektor, dimulai dari VP Head of Ecosystem Regulatory Affairs Indosat Ooredoo Hutchison, Machdi Fauzi, kemudian Perwakilan Pusat Kebijakan Strategis Komdigi, Oki Suryowahono. Hadir pula Perwakilan PT. Telkom Indonesia Tbk, Martius, Peneliti LeIP, Shevierra Danmadiyah, dan Perwakilan PurpleCode Collective, Alia Yofira Karunian. 


Sesi diskusi turut diperkuat oleh Kepala Program Studi Teknik Industri UAJ, Feliks P.S. Surbakti, S.T, M.T., Ph.D., Co-researcher sekaligus Dosen Sistem Informasi UAJ, Stephen Aprius Sutresno, S.Kom., M.Kom.

Paparan dibuka oleh Feliks yang mengulas risiko deepfake. Menurutnya, teknologi itu telah memudarkan batas antara yang nyata dan rekayasa. “Kita memasuki fase di mana visual bukan lagi bukti,” ujarnya.  Pernyataan tersebut Stephen menyoroti dampak tersebut lebih luas. Deepfake, baginya bukan hanya mengancam individu, tetapi juga menggerus kepercayaan publik. “Begitu masyarakat ragu pada apa yang mereka lihat atau dengar, struktur sosial ikut goyah", pungkas Stephen.

Diskusi berlanjut dengan paparan Ketua Tim Peneliti, Dr. jur. Sih Yuliana Wahyuningtyas, S.H., M.Hum., dan Plt. Kabid Kemahasiswaan FBTI UAJ, Eugenius Kau Suni S.T., M.T., yang turut membawa perspektif pengguna.




Yuliana melihat tantangan terbesar terletak pada kecepatan adaptasi regulasi. Ia mengungkapkan, pendekatan antisipatif diperlukan agar negara tidak sekadar bereaksi setelah terjadi penyalahgunaan. “Teknologinya terus bergerak, sementara kebijakan masih mengejar,” ucapnya. 


Dari sisi industri, Machdi menilai penggunaan biometrik dalam sistem registrasi telekomunikasi memang mulai dikenalkan, tetapi belum sepenuhnya diterapkan lantaran infrastruktur, menurutnya, masih belum merata. Menanggapi kondisi tersebut Oki menjelaskan bahwa pemerintah tengah melakukan konsultasi publik untuk menyusun aturan biometrik dan mitigasi risiko deepfake. “Dengan 229 juta pengguna internet, kesalahan langkah kebijakan dapat berdampak besar,” ungkapnya.


Ancaman teknis tutut disoroti Martius yang mengingatkan bahwa deepfake berpotensi mengguncang sistem autentikasi digital. Ia menekankan perlunya pendekatan keamanan berlapis. Bukan lagi cukup satu pintu verifikasi.

Kemudian masuk ke persoalan sosial, Shevierra menyoroti kebutuhan harmonisasi antara UU PDP, UU ITE, dan KUHP agar perlindungan hukum tidak tumpang tindih. Alia melanjutkan bahwa deepfake kini banyak digunakan dalam Kekerasan Berbasis Gender Online. “Masalahnya bukan hanya siapa pelakunya, tapi dari mana data wajah korban bisa bocor!” tegasnya. 


Menutup diskusi, Eugenius menyuarakan kegelisahan publik soal pengelolaan data biometrik. “Kalau data wajah saya dipakai, saya punya hak tahu siapa yang menyimpan dan bagaimana itu dijaga,” katanya.




Pada akhirnya, diskusi ini menyiratkan satu pesan yang berulang bahwa teknologi tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa arah nilai. Pemanfaatan biometrik dan deepfake memerlukan tata kelola data yang kuat, transparan, dan berpihak pada hak warga. Rekomendasi dari forum ini akan dirumuskan oleh tim peneliti sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan yang lebih matang agar inovasi digital dapat berkembang tanpa mengabaikan privasi maupun martabat manusia.


Sumber: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya 

 
(DEL)