ASK
ME

REGISTER
NOW

Penelitian Beretika, Manusia Bermartabat: Meretas Jalan Unika Atma Jaya Menuju Research University

4/9/2025 12:00:00 AM


Foto: penulis (tengah) bersama moderator acara (Wisnu Wiradhani), Ketua PPH (Gracia Valenska Simanullang) dan dua dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya (Venni Mo dan Christ Billy Aryanto). 


Oleh: Dra. Eunike Sri Tyas Suci, Ph.D., Psikolog.

Pada hari Rabu, 26 Maret 2025 Unika Atma Jaya mendapat kesempatan untuk berdialog langsung dengan Wamen Dikti Saintek, Prof. Stella Christie, dalam acara bertajuk “Transformasi P2M UAJ Menuju Universitas Riset.” Dihadiri lebih dari 350 peserta baik dosen maupun mahasiswa, acara ini juga menampilkan tiga tokoh muda berprestasi Unika Atma Jaya untuk mempresentasikan penelitian maupun pusat penelitian unggulannya, yaitu Ketua Pusat Penelitian HIV/AIDS UAJ Gracia Valenska Simanullang, PhD., Peneliti Fakultas Biosains, Teknologi, dan Inovasi Ir. Rianita Pramitasari, S.T.p., M.Sc., dan seorang mahasiswa UAJ Cathleen Rebecca, S.Farm. Dipandu oleh Kaprodi S3 Psikologi, Dr. Wisnu Wiradhany, S.Psi., M.A., acara mengalir cepat dan terasa singkat. Hadirin bertahan sampai selesai karena isinya daging semua.

 

Dengan suara jernih dan disampaikan secara perlahan agar pesan yang ingin disampaikan dipahami dengan jelas, Prof. Stella menegaskan bahwa bekal utama seorang akademisi adalah research mindset.  Ada tiga kecakapan yang perlu dibangun dalam sebuah proses pendidikan. Yang pertama dan yang akan saya ulas dalam tulisan ini adalah critical thinking atau membangun cara berpikir kritis. Hal ini sebetulnya juga menjadi perhatian para dosen dalam proses belajar mahasiswa, dan untuk itulah mahasiswa diharapkan melakukan berbagai kegiatan dan tugas yang dibebankan dalam membangun critical thinking.  Ini tidak mudah, karena sebetulnya kita mendapat “warisan” dari proses pendidikan sebelumnya saat mereka berada di bangku sekolah. Sistem pendidikan nasional kita masih belum sungguh-sungguh membangun cara berpikir kritis dan memberi ruang pada siswa untuk berpikir berbeda dari apa yang sudah diatur dalam standard kurikulum nasional.

 

Ada satu pertanyaan yang Prof. Stella ajukan saat melakukan pembimbingan thesis mahasiswa, yaitu “Why should anyone care” pada topik penelitian yang diajukan oleh mahasiswa. Menurut saya ini pertanyaan sangat penting, karena sebagai dosen saya sering menghadapi mahasiswa yang mengajukan usulan skripsi atau tesis yang berdasar rasa ingin tahu—sekedar ingin tahu— yang kurang mempertimbangkan tentang kemanfaatan dari topik penelitian yang diajukan. Ada juga mahasiswa yang sekedar ingin tahu menghubungan dua konsep psikologis. Pertanyaan yang selalu saya ajukan kemudian adalah “So, what?” .

 

Selain critical thinking yang harus terinternalisasi sampai ke dalam kalbu seorang peneliti dan akademisi, memegang teguh etika penelitian adalah suatu keniscayaan. Berbagai penelitian menggunakan manusia sebagai partisipan penelitian, maka penelitian yang beretika salah satunya harus memperlakukan partisipan secara bermartabat. Kita bisa dengan mudah mencari di berbagai portal untuk mendapatkan informasi tentang prinsip-prinsip melakukan wawancara atau menyebarkan kuesioner baik langsung maupun tidak langsung (secara daring) secara beretika, misalnya menjaga kerahasiaan partisipan dan persetujuan partisipan setelah terinformasi secara lengkap tujuan penelitian disampaikan, biasa disebut informed consent.

 

Ada satu prinsip etika penelitian yang menurut saya kurang mendapat perhatian akademisi di Indonesia, yaitu terkait dengan risiko dan keuntungan (risk and benefit) berpartisipasi dalam penelitian. Mungkin risiko disampaikan (demi agar mereka mau berpartisipasi), tapi keuntungan sering terabaikan. Apalagi jaman now kita dengan mudah mengumpulkan data melalui kuesioner secara daring. Saya sering mempertanyakan peneliti—baik dosen maupun mahasiswa—yang memberitahu akan memberi 10 voucher sejumlah uang tertentu kepada partisipan secara undian bak lotere.  Menurut saya, setiap partisipan berhak mendapatkan keuntungan (benefit) yang sama setelah berpartisipasi dalam sebuah penelitian.  

 

Dalam mengumpulkan data, seorang akademisi juga sering bekerjasama dengan mahasiswa, dimana pengambilan data dikemas dalam proses perkuliahan. Mahasiswa ditugaskan untuk mewawancarai atau mengisi kuesioner kepada partisipan dengan karakteristik tertentu. Hal yang perlu diperhatikan adalah, apakah mahasiswa telah dibekali dengan informed consent yang lengkap? Apakah mahasiswa telah dibekali dengan kemampuan membangun rapport? Apakah sudah ada briefing tentang prinsip-prinsip etika melakukan wawancara dengan tetap menjaga martabat partisipan, khususnya pada sub-populasi tertentu? Apakah sudah disiapkan juga bahwa mahasiswa perlu memikirkan benefit apa yang akan diperoleh partisipan setelah wawancara atau pengisian kuesioner selesai dilaksanakan?  Tak lupa adalah esensi dari proses belajar mahasiswa, pembelajaran apa yang diperoleh mahasiswa dari tugas tersebut.

 

Meretas jalan Unika Atma Jaya menuju Universitas Riset bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang tidak mungkin.  Etika penelitian perlu selalu ditekankan kepada setiap akademisi baik dosen maupun mahasiswa. “Why should I participate in your research? dan penjelasan keuntungannya perlu selalu dijadikan patokan dalam wawancara.  Sebuah proposal penelitian bisa saja lolos uji etis (ethical clearance), tapi pelaksanaan di lapangan bisa berbicara lain. Unika Atma Jaya memiliki Pusat Pengembangan Etika (PPE) yang sangat kredibel baik nasional maupun internasional. Ini merupakan modal yang baik sekali menuju Universitas Riset yang bermartabat.

 

Dengan demikian diharapkan seluruh penelitian yang dihasilkan oleh keluarga besar Unika Atma Jaya adalah penelitian bermutu, beretika dan memberi manfaat besar kepada diri, sesama, bangsa dan negara Indoneia sesuai pesan Prof. Stella kepada “AnakAtma.”