Foto: penulis (tengah) bersama moderator acara (Wisnu Wiradhani), Ketua PPH (Gracia Valenska Simanullang) dan dua dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya (Venni Mo dan Christ Billy Aryanto).
Oleh: Dra. Eunike Sri Tyas
Suci, Ph.D., Psikolog.
Pada hari Rabu,
26 Maret 2025 Unika Atma Jaya mendapat kesempatan untuk berdialog langsung
dengan Wamen Dikti Saintek, Prof. Stella Christie, dalam acara bertajuk “Transformasi
P2M UAJ Menuju Universitas Riset.” Dihadiri lebih dari 350 peserta baik dosen
maupun mahasiswa, acara ini juga menampilkan tiga tokoh muda berprestasi Unika
Atma Jaya untuk mempresentasikan penelitian maupun pusat penelitian
unggulannya, yaitu Ketua Pusat Penelitian HIV/AIDS UAJ Gracia
Valenska Simanullang, PhD., Peneliti Fakultas Biosains, Teknologi, dan
Inovasi Ir. Rianita Pramitasari, S.T.p., M.Sc., dan seorang mahasiswa UAJ
Cathleen Rebecca, S.Farm. Dipandu oleh Kaprodi S3 Psikologi, Dr. Wisnu
Wiradhany, S.Psi., M.A., acara mengalir cepat dan terasa singkat. Hadirin bertahan
sampai selesai karena isinya daging semua.
Dengan suara jernih dan
disampaikan secara perlahan agar pesan yang ingin disampaikan dipahami dengan
jelas, Prof. Stella menegaskan bahwa bekal utama seorang akademisi adalah research
mindset. Ada tiga kecakapan yang
perlu dibangun dalam sebuah proses pendidikan. Yang pertama dan yang akan saya
ulas dalam tulisan ini adalah critical thinking atau membangun cara
berpikir kritis. Hal ini sebetulnya juga menjadi perhatian para dosen dalam
proses belajar mahasiswa, dan untuk itulah mahasiswa diharapkan melakukan
berbagai kegiatan dan tugas yang dibebankan dalam membangun critical
thinking. Ini tidak mudah, karena
sebetulnya kita mendapat “warisan” dari proses pendidikan sebelumnya saat
mereka berada di bangku sekolah. Sistem pendidikan nasional kita masih belum
sungguh-sungguh membangun cara berpikir kritis dan memberi ruang pada siswa
untuk berpikir berbeda dari apa yang sudah diatur dalam standard kurikulum
nasional.
Ada satu
pertanyaan yang Prof. Stella ajukan saat melakukan pembimbingan thesis
mahasiswa, yaitu “Why should anyone care” pada topik penelitian yang diajukan
oleh mahasiswa. Menurut saya ini pertanyaan sangat penting, karena sebagai
dosen saya sering menghadapi mahasiswa yang mengajukan usulan skripsi atau
tesis yang berdasar rasa ingin tahu—sekedar ingin tahu— yang kurang
mempertimbangkan tentang kemanfaatan dari topik penelitian yang diajukan. Ada
juga mahasiswa yang sekedar ingin tahu menghubungan dua konsep psikologis.
Pertanyaan yang selalu saya ajukan kemudian adalah “So, what?” .
Selain critical
thinking yang harus terinternalisasi sampai ke dalam kalbu seorang peneliti
dan akademisi, memegang teguh etika penelitian adalah suatu keniscayaan. Berbagai
penelitian menggunakan manusia sebagai partisipan penelitian, maka penelitian
yang beretika salah satunya harus memperlakukan partisipan secara bermartabat. Kita
bisa dengan mudah mencari di berbagai portal untuk mendapatkan informasi
tentang prinsip-prinsip melakukan wawancara atau menyebarkan kuesioner baik
langsung maupun tidak langsung (secara daring) secara beretika, misalnya
menjaga kerahasiaan partisipan dan persetujuan partisipan setelah terinformasi
secara lengkap tujuan penelitian disampaikan, biasa disebut informed consent.
Ada satu prinsip
etika penelitian yang menurut saya kurang mendapat perhatian akademisi di
Indonesia, yaitu terkait dengan risiko dan keuntungan (risk and benefit)
berpartisipasi dalam penelitian. Mungkin risiko disampaikan (demi agar mereka
mau berpartisipasi), tapi keuntungan sering terabaikan. Apalagi jaman now kita
dengan mudah mengumpulkan data melalui kuesioner secara daring. Saya sering
mempertanyakan peneliti—baik dosen maupun mahasiswa—yang memberitahu akan
memberi 10 voucher sejumlah uang tertentu kepada partisipan secara undian bak lotere. Menurut saya, setiap partisipan berhak
mendapatkan keuntungan (benefit) yang sama setelah berpartisipasi dalam
sebuah penelitian.
Dalam mengumpulkan data, seorang
akademisi juga sering bekerjasama dengan mahasiswa, dimana pengambilan data
dikemas dalam proses perkuliahan. Mahasiswa ditugaskan untuk mewawancarai atau
mengisi kuesioner kepada partisipan dengan karakteristik tertentu. Hal yang
perlu diperhatikan adalah, apakah mahasiswa telah dibekali dengan informed
consent yang lengkap? Apakah mahasiswa telah dibekali dengan kemampuan
membangun rapport? Apakah sudah ada briefing tentang
prinsip-prinsip etika melakukan wawancara dengan tetap menjaga martabat
partisipan, khususnya pada sub-populasi tertentu? Apakah sudah disiapkan juga
bahwa mahasiswa perlu memikirkan benefit apa yang akan diperoleh
partisipan setelah wawancara atau pengisian kuesioner selesai dilaksanakan? Tak lupa adalah esensi dari proses belajar
mahasiswa, pembelajaran apa yang diperoleh mahasiswa dari tugas tersebut.
Meretas jalan Unika Atma Jaya
menuju Universitas Riset bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang tidak
mungkin. Etika penelitian perlu selalu
ditekankan kepada setiap akademisi baik dosen maupun mahasiswa. “Why should I
participate in your research?” dan penjelasan keuntungannya perlu selalu dijadikan
patokan dalam wawancara. Sebuah proposal
penelitian bisa saja lolos uji etis (ethical clearance), tapi
pelaksanaan di lapangan bisa berbicara lain. Unika Atma Jaya memiliki Pusat
Pengembangan Etika (PPE) yang sangat kredibel baik nasional maupun
internasional. Ini merupakan modal yang baik sekali menuju Universitas Riset
yang bermartabat.
Dengan demikian diharapkan seluruh penelitian yang dihasilkan oleh keluarga besar Unika Atma Jaya adalah penelitian bermutu, beretika dan memberi manfaat besar kepada diri, sesama, bangsa dan negara Indoneia sesuai pesan Prof. Stella kepada “AnakAtma.”