ASK
ME

REGISTER
NOW

RUU Perampasan Aset: Sinergi Hukum dan Akuntansi

11/20/2025 12:00:00 AM


Jakarta, 5 November 2025 – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset digadang-gadang menjadi salah satu langkah krusial dalam memperkuat pemberantasan korupsi dan menjaga keuangan negara. Regulasi ini diharapkan dapat menjadi jawaban untuk menutup celah hukum yang selama ini membuat aset hasil kejahatan sulit dilacak sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Namun, di balik urgensi tersebut, seberapa efektif penerapannya? Dan potensi dampak apa yang akan mempengaruhi sektor hukum maupun akuntansi? 


Menjawab isu tersebut, Fakultas Hukum (FH) Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya bekerja sama dengan Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI) menggelar Seminar Nasional bertajuk ”RUU Perampasan Aset: Membangun Akuntabilitas dan Transparansi Melalui Sinergi Hukum dan Akuntansi Manajemen” pada Rabu (5/11). Kegiatan ini berlangsung secara hybrid melalui Zoom Meeting dan di Gedung Yustinus Lt. 14, Kampus Semanggi. 


Seminar ini menghadirkan akademisi, praktisi hukum, serta profesional akuntansi dalam membahas sinergi lintas bidang untuk memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Diskusi ini menganalisis urgensi, substansi, hingga tantangan implementasi RUU Perampasan Aset. 


Dalam sambutannya, Ketua Umum IAMI, Dr. Gatot Trihago, menekankan bahwa tindak pidana korupsi dan kejahatan ekonomi tidak dapat dihadapi dengan pendekatan konvensional semata. ”Perampasan Aset dan pengukuran kerugian negara kini memerlukan sinergi antara pendekatan hukum dan akuntansi manajemen,” jelas Gatot.




Ia juga menyoroti pentingnya integrasi RUU Perampasan Aset dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2025 untuk memperkuat akuntabilitas dalam skala nasional. Menurutnya,  akuntan manajemen memiliki peran vital dalam menjaga kualitas laporan keuangan, memitigasi risiko hukum, serta memastikan proses transisi aset berjalan dengan akuntabel dan transparan. 


Dalam kesempatan yang sama, Wakil Dekan FH Unika Atma Jaya, Feronica, S.H., M.H., menyampaikan apresiasinya terhadap kegiatan ini yang menjadi kolaborasi pertama antara FH UAJ dan IAMI. Fero berharap forum diskusi ini dapat memperkaya kajian akademik sekaligus memberi masukan konstruktif terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset.




Pada sesi pemaparan, Dosen Hukum Pidana Unika Atma Jaya, Dr Siradj Okta, S.H., LL.M., Ph.D., CLA., CCD., menjelaskan bahwa RUU Perampasan Aset memiliki posisi strategis dalam upaya pemulihan aset negara. Berdasarkan data 2019-2023 yang dibawakan Siradj, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp234,8 triliun, namun hanya 13,9% yang berhasil dipulihkan. 




Ia menilai bahwa pendekatan berbasis non-conviction-based confiscation perlu diadopsi agar pemulihan aset tidak tergantung sepenuhnya pada putusan pidana. ”RUU Perampasan Aset bukan hanya untuk menutup kerugian negara semata, melainkan untuk menjaga integritas negara hukum itu sendiri,” tegas Siradj.


Senada dengan itu, Managing Partner JMT Law House, Dr. Erick, CA, CPA, MAPPI (Cert), Ph.D.,  menyoroti tantangan implementasi bagi dunia korporasi dan profesi akuntansi. Ia menilai bahwa definisi tindak pidana dalam RUU ini masih terlalu luas dan berpotensi menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha dan aparatur sipil negara. Menurutnya, RUU ini menuntut kehati-hatian agar penerapannya tidak menimbulkan ketakutan baru karena definisinya yang terlalu fleksibel. 




Melalui seminar ini, para peserta diajak memahami urgensi, substansi, serta implikasi lintas sektor dari RUU Perampasan Aset. Diskusi interaktif ini menegaskan akan perlunya keseimbangan antara upaya pemberantasan korupsi dan perlindungan integritas Indonesia sebagai negara hukum, sekaligus memperkuat sinergi profesi hukum dan akuntan manajemen dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.  


Meskipun RUU Perampasan Aset diharapkan menjadi instrumen penting dalam menjaga keuangan negara, regulasi ini masih membutuhkan penyempurnaan. Para pembicara sepakat mengenai beberapa aspek, seperti kejelasan definisi tindak pidana, mekanisme pelaksanaan, serta tata kelola lembaga pengelola aset, masih perlu disempurnakan sebelum RUU ini disahkan.


(STV)