Penulis / Editor : Clara R. P. Ajisuksmo; Mikhael Dua
ISBN Buku: 978-634-7009-01-2
ISBN Digital: 978-634-7009-02-9 (PDF)
Sinopsis Buku
25 tahun sudah Romo Y.B. Mangunwijaya, yang biasa dikenal
Romo Mangun, kembali ke pangkuan ilahi. Dalam kurun waktu sekian panjang,
kenangan Romo Mangun belum sirna juga. Apa yang ia rintis semasa hidupnya,
tidak hanya dikenang tetapi dipelihara dan ditindaklanjuti.
Padanya ada visi mengenai kemanusiaan yang dituangkan
dalam pendidikan, arsitektur, sastra, dan politik. Kita dapat melihat bukti
nyata seperti Sekolah Eksperimental
Mangunan, Kampung di bantaran Sungai Code Yogyakarta, Kedung Ombo (Boyolali),
Pantai Grigak, selain bangunan hasil karya arstektur seperti Gereja St. Pius Blora, Gereja Maria Fatima Sragen, Gereja
Maria Assumpta Klaten, Gereja St. Lukas Tambran Bantul, Gereja Albertus Magnus
Jetis Yogyakarta, Rumah Dinamika Edukasi Dasar di Gang Kuwera, Sleman,
Yogyakarta, Wisma Salam, Magelang, Rumah Pertapaan Gedono, Salatiga, dan
Komplek Sendangsono, Kulonprogo.
Buku yang diberi judul Romo Mangun, Suara bagi yang Terpingirkan
ini melibatkan banyak kalangan mulai dari anak-anak sekolah dasar hingga
perguruan tinggi, dari kalangan praktisi hingga akademisi, dari kalangan awam
hingga para klerus, dari mereka yang hidup dalam generasi Romo Mangun hingga
mereka yang tidak mengenalnya sama sekali. Dalam gaya naratif dan reflektif
buku ini ingin mengungkapkan compassion yang mendalam dari Romo Mangun
terhadap kaum marjinal. Berbekal pemahaman yang mendalam tentang paradoks
kehidupan manusia yang ia ungkapkan dalam sastra, artikel, dan arsitektur, Romo
Mangun benar-benar terlibat dengan kaum marjinal sambil memberikan harapan pada
siapa pun yang ada di bantaran Sungai Code Yogyakarta, Kedung Ombo, Pantai
Grigak, dan masih banyak lagi yang lain. Secara istimewa ia menaruh perhatian
pada pendidikan bagi yang terpinggirkan, sebuah model pendidikan yang
memberikan dasar-dasar kemandirian anak bangsa sekaligus menjadi peretas lingkaran
kemiskinan di Indonesia.