
Jakarta - Fenomena migrasi paksa terus mencuat sebagai isu global yang bukan hanya menghadirkan tantangan, tetapi juga membuka ruang untuk memahami pengalaman para pengungsi secara lebih mendalam. Dalam konteks itu, perlindungan serta kolaborasi lintas pihak kian mendesak.
Isu strategis inilah yang menjadi pokok bahasan utama dalam Public Lecture bertajuk “Forced Migration in Indonesia”, yang digelar Fakultas Psikologi dan Centre for Societal Development Studies (CSDS) Unika Atma Jaya (UAJ) di Ruang Multimedia, Kampus Semanggi, Jumat (21/11).
Acara ini menghadirkan tiga pakar kunci di bidang migrasi, mulai dari Profesor Sosiologi Bielefeld University, Prof. Antje Missbach, PhD., kemudian Asisten Petugas Perlindungan UNHCR Indonesia, Dwita Aryani, serta perwakilan International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Akmal Haris.
Antje membuka sesi dengan menyoroti hubungan erat antara migrasi paksa dan agama. “Agama sering menjadi sumber stabilitas emosional, identitas, dan jaringan sosial bagi pengungsi. Bahkan, kerap menjadi aktor pertama yang memberikan bantuan praktis dan perlindungan sementara,” ujarnya. Ia menekankan bahwa memahami peran agama penting untuk mendorong hadirnya kebijakan migrasi yang lebih manusiawi dan sensitif.
Namun, perlindungan dalam kerangka hukum formal tetap tak terhindarkan. Aryani kemudian memaparkan upaya di tingkat nasional, bahwa meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, regulasi seperti Peraturan Presiden 125/2016 serta instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi tetap menjadi landasan penting dalam penanganan.

Lebih jauh, fokus penanganan juga diarahkan pada tiga solusi jangka panjang, yakni resettlement, integrasi lokal, dan pemulangan sukarela. Dari ketiga aspek tersebut, Aryani menyoroti inklusi sosial, terutama akses pendidikan formal bagi anak-anak pengungsi, yang menjadi tantangan besar. Banyak pengungsi yang tak dapat kembali ke negara asal karena konflik berkepanjangan.
Ia menekankan bahwa kondisi di negara asal membuat inklusi sosial adalah keharusan. “Saat ini baru sekitar 32% anak usia sekolah yang berhasil mengakses pendidikan formal. Kami berkomitmen memperluas peluang ini agar anak-anak pengungsi tetap memperoleh hak mereka dan dapat membangun masa depan,” pungkas Aryani.
Sesi kemudian ditutup dengan paparan Akmal yang menggarisbawahi dinamika migrasi yang kian kompleks. Ia menjelaskan bahwa konflik lama kini diperburuk oleh perubahan iklim dan tekanan ekonomi global. Dampaknya terlihat jelas di Indonesia, mulai dari kedatangan pengungsi Rohingya hingga meningkatnya kasus perdagangan orang.
Menurut Akmal, penguatan isu pengungsi mensyaratkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Ia menyoroti peran strategis pemuda dalam kampanye dan literasi publik, termasuk melalui inisiatif kreatif seperti produksi web series bersama komunitas pengungsi yang dinilai mampu memperkuat kohesi sosial dan mengurangi stigma.
Dengan demikian, forum ini menegaskan bahwa pengelolaan migrasi paksa membutuhkan pemahaman yang luas dan strategi yang komprehensif. Kebijakan harus melampaui sebatas administrasi, melainkan harus mampu merangkul pengungsi seutuhnya mulai dari kebutuhan hukum formal hingga sentuhan kemanusiaan yang terbungkus dalam peran agama dan dukungan masyarakat sipil.
Laporan: Prof. Dr. Clara R. P. Ajisuksmo, M.Sc., Psikolog.
(DEL)