
Setiap kali
Indonesia berganti Menteri Pendidikan, hampir bisa dipastikan kurikulum ikut
berubah. Guru dipaksa beradaptasi, orangtua kebingungan, murid pun kerap
menjadi “kelinci percobaan”. Pola ini telah berlangsung puluhan tahun. Alhasil,
pendidikan di Indonesia lebih sibuk mengikuti arus politik lima tahunan
daripada menyiapkan masa depan bangsa.
Dalam era
disrupsi Artificial intelligence (AI), kondisi ini menjadi semakin
krusial. Generasi muda Indonesia akan hidup di masa ketika mesin dapat menulis,
menganalisis, bahkan mengambil keputusan lebih cepat daripada manusia. Jika
arah pendidikan kita terus tersandera oleh perubahan kebijakan yang bergantung
pada siapa menterinya, maka kita sedang menyiapkan anak-anak untuk masa lalu,
bukan masa depan.
Hak Konstitusional yang Kerap Terabaikan
UUD 1945 secara
tegas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan (Pasal
31 ayat 1), dan negara wajib memajukan ilmu pengetahuan serta teknologi (ayat
5). Ini bukan sekadar urusan teknis kementerian, melainkan mandat
konstitusional. Maka, ketidakstabilan kurikulum yang terus berulang
sesungguhnya mencerminkan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban mendasar
tersebut.
Belajar dari Masa Lalu dan Negara Lain
Saya masih
mengingat bagaimana pada masa Orde Baru, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
memberikan arah pembangunan jangka panjang yang tidak mudah diubah. Meski
banyak hal dalam masa itu patut dikritisi, satu hal yang layak dicatat adalah
stabilitasnya arah pembangunan.
Negara lain juga
memberikan contoh yang patut dipelajari. Finlandia memiliki National Agency
for Education untuk menjaga konsistensi kebijakan pendidikan nasional.
Singapura membentuk SkillsFuture Council untuk memastikan pendidikan
selalu relevan dengan kebutuhan global. Indonesia pun dapat menempuh langkah
serupa, misalnya dengan membentuk lembaga independen, baik dalam bentuk Lembaga
Pendidikan Nasional atau Konsorsium Pendidikan Indonesia, yang mampu merumuskan
arah pendidikan jangka panjang dan tidak mudah berubah hanya karena pergantian
menteri atau janji politik Presiden.
Tiga Pilar Pendidikan di Era AI
Bagi saya,
pendidikan di Indonesia wajib berdiri kokoh di atas tiga pilar utama:
Tanpa stabilitas,
modernitas hanya akan menjadi jargon. Dan tanpa akar budaya, keterbukaan
terhadap dunia justru bisa berujung pada hilangnya jati diri bangsa.
Usulan Jalan ke Depan
Untuk mewujudkan
tiga pilar tersebut, Indonesia perlu lembaga pendidikan nasional independen
dengan mandat jangka panjang. Lembaga ini harus melibatkan akademisi, praktisi,
guru, dunia usaha, dan masyarakat sipil untuk merumuskan pendidikan 20-25 tahun
ke depan. Dengan begitu, pendidikan tidak lagi bergantung pada siapa
menterinya, tetapi berakar pada visi bangsa.
Pendidikan bukan sekadar proyek lima tahunan. Ini adalah investasi lintas generasi. Sudah saatnya kita berdiri tegak dengan fondasi pendidikan yang stabil, modern, dan berakar kuat untuk menghadapi era AI.

Dr. KristiantoPustaha Halomoan, S.H., M.H.
Dosen Fakultas
Hukum 
(Penyunting: DEL)