
Jakarta, 30 Oktober 2025– Perubahan sosial, kemajuan teknologi, hingga dinamika sosial-politik yang terus berkembang mendorong para pembuat kebijakan dapat berpikir lebih kritis dan adaptif. Kondisi ini yang membuat pendidikan lanjutan kebijakan publik berperan penting dalam mencetak sumber daya manusia yang memahami konteks sosial serta siap menghadapi tantangan pembangunan nasional.
Hal ini menjadi topik utama yang diangkat dalam forum bertajuk “Diskusi Publik: Urgensi Pendidikan Lanjutan Kebijakan Publik di Indonesia” yang diselenggarakan olehInstitute of Public Policy(IPP) danInstitute for Advanced Research (IFAR) Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya pada Selasa (29/10) di Gedung Yustinus Lt. 15, Kampus Semanggi, Jakarta Selatan.
Diskusi ini menghadirkan dosen, praktisi, hingga peneliti kebijakan publik untuk saling berdiskusi dan bertukar pikiran dalam permasalahan, tantangan, peluang serta praktik dalam pendidikan lanjutan terkait kebijakan publik. Melalui tiga panel diskusi, Unika Atma Jaya menghadirkan sepuluhpembicara ahli dari berbagai latar belakang.
Dr. Muhammad Taufiq, DEA
Panel Pertama: Merancang Kurikulum dan Ekosistem Kebijakan Publik yang Berdampak
Panel pertama dibuka dengan perbincangan mengenai fokus pada kebutuhan kurikulum dan ekosistem kebijakan publik yang mampu menjawab tantangan masa depan. Kepala Lembaga Administrasi Negara, Dr. Muhammad Taufiq, DEA menekankan bahwa kualitas kebijakan publik tidak dapat muncul secara alami, melainkan perlu melalui proses.
“Kualitas kebijakan tidak bisa muncul secara alami, semuanya harus melalui desain. Kalau mau buat kebijakan, harus didesain secara cerdas. Tidak ada kualitas yang muncul tanpa didukung oleh profesional yang berkualitas”, ujar Taufiq.
Taufiq menyoroti masih lemahnya kualitas kebijakan di Indonesia akibat belum terbentuknya tata kelola dan ekosistem kebijakan yang menyeluruh. Ia menambahkan bahwa kebijakan publik perlu dibangun di atas dasar profesionalisme dan evidence-based policy yang kuat agar mampu meningkatkan daya saing masyarakat.
Sementara itu, panelis kedua, Asisten Deputi Pengembangan Sistem Merit dan Evaluasi Manajemen Aparatur Sipil Negara, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur, Kementerian PANRB, Dr. Ir. Katmoko Ari Sambodo, M.eng., menjelaskan urgensi pembangunan birokrasi baru dan peningkatan kapasitas ASN menjadi kunci dalam mendukung kebijakan publik yang berdampak.
Ari menyoroti pentingnya meritokrasi dan membangun kepercayaan publik. Menurutnya, sistem rekrutmen ASN di Indonesia masih belum merata dan seleksinya tidak adaptif dan kolaboratif.
Selain itu, ia juga menegaskan peran perguruan tinggi sebagai inkubator kolaborasi antara kebijakan, peneliti, dan masyarakat. Perguruan tinggi berperan sebagai perekat dan penjaga wawasan kebangsaan serta menjadi laboratorium kebijakan yang melahirkan inovasi.
Di sisi lain, panelis ketiga, Founder dan CEO Think Policy, Andhyta Firselly Utami menyoroti Indonesia yang semakin jauh dari budaya teknokratis Perempuan yang akrab disapa Afutami ini menjelaskan bahwa kebijakan publik bukan sekadar membuat keputusan terbaik, melainkan memahami trade-offdari setiap keputusan yang dipilih.
Menurutnya, kebijakan publik penting untuk dipelajari karena setiap keputusan dalam sektor publik menyangkut tiga alasan, keterbatasan sumber daya, dampak yang sulit dikembalikan ke semula (irreversible), dan tanggung jawab moral. Hal ini yang membuat sektor publik harus mampu membuat keputusan terbaik, karena setiap kebijakan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi bangsa dan masyarakat.

Dr. Agustinus Prasetyantoko
Panel Kedua: Pendidikan sebagai Kunci Penguatan Ekosistem Kebijakan Publik
Panel kedua membahas keterkaitan antara pendidikan, ekonomi, dan tata kelola kebijakan publik yang lebih efektif. Panelis pertama, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Tatang Muttaqin S.Sos., M.Ed., Ph.D. menegaskan bahwa pendidikan vokasi dan kebijakan publik memiliki peran strategis dalam mempersiapkan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045.
Tatang menyoroti masalah produktivitas di Indonesia yang masih perlu diperkuat. Menurutnya, penguasaan human skillsseperti kreativitas, kepemimpinan, dan berpikir kritis sangat dibutuhkan di masa depan. Ia menekankan bahwa pendidikan bukan hanya soal mengetahui sesuatu, tetapi juga bagaimana melakukan sesuatu. Pendidikan sejatinya mencerdaskan kehidupan bangsa, relevan dengan arah pembangunan ekonomi, dan berorientasi pada kesejahteraan umum.
Dari sisi ekonomi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unika Atma Jaya, Dr. Agustinus Prasetyantoko, akrab disapa Ico, menyoroti perlunya integrasi antara pendekatan ekonomi dan kebijakan publik agar lebih berdampak. Ia menjelaskan bahwa kebijakan publik yang baik harus dibangun di atas pondasi analisis ekonomi yang kuat dan didukung kemampuan metodologis untuk menilai dampaknya. “Kesejahteraan (welfare) dan keadilan (justice) harus menjadi inti dari perumusan kebijakan yang berkelanjutan!” tegas Ico.
Kebijakan publik yang baik, tambah Ico, adalah kebijakan yang relevan dan memberikan dampak. Relevan yang dimaksud adalah kebijakan yang dibutuhkan, menjawab pertanyaan, dan kontekstual. Sedangkan memberikan dampak dimaksudkan, kebijakan haruslah memberikan dampak yang positif bagi kepentingan bersama.
Sementara itu, Public Policy Advocate Lead for SKALA, Dr. Ishak Fatonie menekankan pentingnya peran analis kebijakan sebagai penghubung antara riset ilmiah dan pembuat keputusan. Menurutnya, seorang analis kebijakan perlu memiliki kemampuan teknik evidence-based dalam menyusun rekomendasi kebijakan, sekaligus kompetensi politis untuk mengomunikasikan hasil kajian secara meyakinkan kepada para pengambil keputusan.
Ia menambahkan, pemahaman terhadap konteks sosial dan politik menjadi hal krusial agar hasil analisis dapat diimplementasikan secara efektif serta berpihak pada kepentingan masyarakat.
Panelis terakhir dari panel kedua, Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri, Dr. Yusharto Huntoyungo, M.Pd menegaskan tentang pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan perguruan tinggi dalam penyusunan kebijakan publik.
Baginya perguruan tinggi memiliki peran strategis sebagai kurator dan quality control terhadap hasil riset kebijakan publik di daerah. Kolaborasi tersebut diharapkan dapat memperkuat praktik evidence-based policy serta memastikan kebijakan yang dihasilkan memiliki dasar ilmiah yang kuat dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Dr. Bima Haria Wibisana
Panel Ketiga: Menuju Pendidikan Kebijakan Publik yang Inklusif dan Kolaboratif
Panel ketiga menyoroti arah pengembangan pendidikan kebijakan publik di masa depan yang menekankan nilai keadilan, keberagaman, dan kolaborasi lintas sektor. Board Member Yayasan Atma Jaya, Prof. Dr. Francisia Saveria Sika Seda membuka sesi dengan menyoroti pentingnya memahami relasi antara negara, pasar, dan masyarakat.
Menurutnya kebijakan publik selama ini cenderung didominasi oleh kepentingan negara dan pasar, sementara masyarakat masih menjadi objek pembangunan. Pendidikan kebijakan publik perlu diarahkan untuk menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan, agar tercipta tata kelola yang partisipatif dan berkeadilan.
Selanjutnya, panelis kedua, Assistant Professor Course Coordinator of the Master of Public Policy and Management Program Monash University Indonesia, Sabina Satriyani Puspita Ph.D. memaparkan tentang pentingnya penerapan nilai Equity, Diversity, and Inclusion (EDI)dalam kurikulum kebijakan publik.
Sabina menjelaskan penerapan nilai-nilai yang akan mendorong mahasiswa atau lulusan untuk mampu memecahkan masalah tidak hanya secara sistematis, analitis, namun menggunakan empati. Dengan pendekatan ini, mahasiswa diharapkan mampu menjadi pembuat kebijakan yang kritis dan adil.
Panelis ketiga, Wakil Ketua Ikatan Nasional Analis Kebijakan (INAKI), Dr. Bima Haria Wibisana, menegaskan bahwa analis kebijakan memiliki peran penting di tengah kompleksitas isu publik yang saling berkaitan. Ia menjelaskan bahwa INAKI hadir untuk memperkuat standar profesi analis kebijakan, mendorong penerapan evidence-based policy,serta membangun jejaring kolaborasi lintas sektor.
Menurutnya, kurikulum kebijakan publik harus dirancang secara multidisipliner, berlandaskan etika, dan menumbuhkan empati agar analis mampu menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
Melalui tiga panel diskusi ini, para panelis sepakat bahwa pendidikan lanjutan kebijakan publik merupakan pondasi penting untuk mendukung lahirnya pembuat kebijakan yang berintegritas, berpikir kritis, serta berorientasi pada kepentingan publik. Sinergi akademisi, birokrasi, dan sektor swasta menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem kebijakan yang adaptif dan berdampak.
(STV)