Ketika mendengar
istilah “kesehatan reproduksi” sebagian orang mungkin merasa canggung. “Ah, itu
kan urusan orang dewasa” atau “Ngapain dibahas sekarang, kan belum waktunya.”
Justru masa remaja adalah periode penting untuk mulai mengenali, memahami, dan
menjaga kesehatan reproduksi.
Sayangnya,
pembicaraan ini masih sering dianggap tabu. Akibatnya, banyak remaja tumbuh
tanpa informasi yang cukup atau yang lebih berbahaya, mendapatkannya dari
sumber yang tidak terpercaya. Padahal, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
adalah bagian penting dari tumbuh kembang yang sehat. Baik secara fisik,
psikologis, maupun sosial.
Lebih dari
Sekadar Organ Reproduksi
Kesehatan
reproduksi tidak hanya berbicara tentang organ tubuh semata. Tetapi juga
memahami cara kerja tubuh, perubahan yang terjadi selama masa pubertas,
membangun relasi yang sehat, membuat keputusan yang bertanggung jawab, dan
menghargai diri sendiri.
Baik laki-laki
maupun perempuan di usia remaja, perlu memahami bahwa tubuh harus dijaga dan
dihormati. Mereka juga berhak mendapat informasi yang benar agar tidak mudah
terpengaruh oleh tekanan sosial atau informasi keliru yang beredar, terutama di
era digital seperti sekarang.
Pemahaman ini
juga akan membekali para remaja dengan keterampilan hidup di tengah dunia yang
semakin kompleks seperti kemampuan mengenali batasan diri, menghargai batasan
orang lain, serta memahami resiko dari perilaku yang tidak sehat secara seksual
maupun emosional.
Keluarga: Pilar
Pertama Edukasi
Salah satu elemen
penting dalam edukasi kesehatan reproduksi remaja adalah peran keluarga. Orang
tua merupakan sosok yang paling dekat dengan anak, sayangnya orang tua merasa
sulit untuk membicarakan topik-topik seperti ini. Seharusnya keluarga menjadi ruang
yang aman bagi remaja, tempat di mana mereka bisa bertanya tanpa takut dihakimi
serta belajar tanpa merasa malu. Edukasi bukan berarti “mendorong” anak untuk
melakukan sesuatu, melainkan membekali mereka agar mampu membuat pilihan yang
tepat.
Komunikasi yang
terbuka antara orang tua dan anak bukan hanya untuk mempererat hubungan, tetapi
juga membentuk kepercayaan diri remaja untuk menjaga tubuh dan martabatnya.
Orang tua tidak perlu menjadi pakar, yang terpenting adalah mau mendengarkan
dan membuka ruang dialog. Bahkan sebuah kalimat sederhana seperti, “kalau kamu
ada pertanyaan tentang tubuhmu, kamu boleh cerita ya,” sudah bisa membuat
perbedaan besar.
Mengedukasi
dengan Empati
Pendidikan
kesehatan reproduksi yang baik seharusnya tidak menakut-nakuti atau menghakimi.
Seharusnya dilakukan dengan empati, kejelasan informasi, serta pendekatan yang
relevan dengan usia dan konteks sosial remaja.
Dalam lingkungan
pendidikan, termasuk di sekolah dan kampus, para pendidik memiliki peran besar
dalam mendampingi remaja dalam memahami kesehatan reproduksi secara menyeluruh.
Tidak sedikit remaja yang masih membawa stigma atau rasa takut untuk bertanya karena
belum pernah mendapatkan ruang aman untuk berdiskusi. Oleh karena itu, penting
bagi institusi pendidikan untuk menciptakan suasana yang mendukung keterbukaan
tanpa prasangka.
Mari Memulai
Percakapan
Topik kesehatan
reproduksi tidak hanya untuk salah satu jenis kelamin saja, bukan pula hanya
satu fase kehidupan. Hal ini merupakan bagian dari perjalanan menjadi manusia
seutuhnya. Sudah saatnya kita berhenti menghindar dan mulai membuka percakapan,
baik di tengah keluarga, ruang kelas, maupun ranah publik lainnya.
Kesehatan
reproduksi yang baik berawal dari pengetahuan, diteruskan dengan sikap yang
bertanggung jawab, dan diperkuat dengan dukungan lingkungan. Semua ini dimulai
dari satu hal yang sederhana, yaitu keberanian untuk mulai berbicara.
Oleh dr. William, Sp.And