ASK
ME

REGISTER
NOW

Membenahi Peta Karier Dosen

11/3/2025 12:00:00 AM



Jakarta - Lonjakan jumlah dosen tak diiringi dengan kenaikan jabatan akademik. Sebagian besar berhenti di tengah jalan, terjebak di antara syarat administratif dan sistem penilaian yang rumit. Persoalan ini menjadi sorotan utama dalam HR Forum Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang digelar oleh Biro Sumber Daya Manusia (BSDM) Unika Atma Jaya (UAJ) di Kampus Semanggi, Kamis (23/10).


Sebagai pembicara utama, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III, Dr. Henri Togar Hasiholan Tambunan, S.E., M.A., memaparkan data yang mencerminkan ketimpangan tersebut. Berdasarkan data per 11 Oktober 2025, dari sekitar 27,000 dosen di bawah LLDikti Wilayah III, sebanyak 24.953 di antaranya merupakan dosen tetap, sementara sisanya masih berstatus tidak tetap. Namun, hanya sekitar 14 ribu dosen yang sudah tersertifikasi, dan mayoritas masih berhenti di jabatan lektor.


“Biasanya, ketika jabatan naik, tunjangannya juga meningkat, iya kan, Bapak dan Ibu?” kata Henri, disambut tawa ringan para peserta. Namun di balik nada jenakanya, terselip keprihatinan serius, yaitu kenaikan jabatan akademik dosen masih tersendat di banyak perguruan tinggi swasta.


Ia menjelaskan bahwa sistem yang berlaku kerap terjebak dalam urusan administratif. Dosen dihadapkan pada tumpukan berkas angka kredit, sementara waktu untuk riset dan publikasi semakin tergerus. “Padahal, mereka ini ujung tombak universitas,” tuturnya.



Henri menekankan bahwa jabatan akademik bukan sekadar soal angka kredit, tetapi refleksi dari kontribusi dosen terhadap mutu pendidikan tinggi. “Kita bicara tentang karier yang seharusnya tumbuh seiring dengan kontribusi, bukan tersendat karena birokrasi,” ujarnya.


Lebih jauh, ia juga menguraikan sejumlah faktor yang memengaruhi lambatnya kenaikan jabatan, mulai dari kedisiplinan pelaporan Beban Kerja Dosen (BKD) yang masih rendah, hingga minimnya kolaborasi lintas kampus dalam riset dan publikasi ilmiah. Banyak dosen yang, menurutnya, terlalu fokus pada pengajaran hingga abai terhadap dua dharma lainnya, yaitu penelitian dan pengabdian masyarakat.


“Kalau dosen itu meneliti, hasilnya bisa dibawa ke ruang kelas dan memperkaya proses belajar. Tapi kalau hanya berhenti di pengajaran, maka kualitas kampus juga stagnan,” jelas Henri.


Meski demikian, perkembangan positif tetap tercatat. Sejak 2019, jumlah tenaga pengajar terus menurun, menandakan adanya peningkatan karier di beberapa perguruan tinggi. Bahkan, tahun ini, jumlah dosen yang lolos sertifikasi meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, dan hingga Oktober 2025 sudah ada 52 dosen di LLDikti wilayah III yang berhasil menyandang guru besar.


Di sisi lain, dukungan institusi tetap menjadi kunci, baik dalam bentuk kebijakan manajemen yang transparan, sistem digital yang efisien, maupun budaya kolaboratif yang mendorong dosen berkembang bersama. “Kita harus saling bantu. Kalau satu kampus punya pakar, jangan disimpan sendiri. Libatkan kampus lain, supaya semua bisa naik bersama,” tutur Hendri dengan mengutip pesan Menteri Pendidikan yang mendorong kolaborasi lintas perguruan tinggi.


Bagi Henri, membenahi sistem SDM perguruan tinggi berarti mengembalikan makna sejati profesi dosen sebagai pendidik, peneliti, dan penggerak ilmu. Kenaikan jabatan bukan lagi tentang tumpukan berkas, melainkan tentang ruang tumbuh yang memungkinkan dosen menyalakan kembali semangat keilmuan di tengah birokrasi yang menjemukan.


(DEL)