ASK
ME

REGISTER
NOW

Ketika Laut dan Nurani Berbicara

10/17/2025 12:00:00 AM



Deburan ombak terdengar sangat terasa nyata di ruang A1 102, Kampus BSD, Sabtu (4/10). Mahasiswa Unika Atma Jaya (UAJ) yang tengah mengikuti Seminar Series, diajak menyelam hingga ke dasar hati nurani saat menyaksikan film dokumenter berjudul Bisikan Terumbu karya Teguh Ostenrik. Dalam film tersebut,  karang buatan dan logam berkarat menjelma menjadi sebuah doa.

Di hadapan para mahasiswa, Teguh berbagi kisah tentang bagaimana seni dapat menjadi jembatan antara manusia dan alam, antara karat dan kehidupan. “Saya tidak ingin hanya menciptakan keindahan tapi menciptakan kehidupan. Seni bagi saya adalah doa yang diwujudkan dalam bentuk logam agar laut bisa kembali bernafas dan manusia belajar mendengarkan alam yang selama ini kita lukai,” tegas Teguh. Baginya, laut bukan sekadar lanskap biru yang memesona. Laut merupakan  tubuh hidup. Ia merasa bahwa tugas seorang seniman bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk mendengarkan.

Sebelumnya, Teguh merupakan mahasiswa kedokteran yang kini bertransformasi menjadi seorang pelopor kesenian. Pria kelahiran Jakarta 1950 ini menempuh pendidikan seni di Jerman. Di sanalah ia belajar disiplin, kedalaman berpikir, dan penghormatan terhadap bentuk. Namun, perjumpaannya kembali dengan laut Indonesia yang terluka kemudian mengubah arah hidupnya.


Teguh dikenal luas melalui karya ARTificial Reef yang berwujud patung bawah laut yang dibuat dari logam bekas. Karya-karya tersebut ditenggelamkan di dasar laut Lombok, Jakarta, Sulawesi, dan beberapa perairan Indonesia lainnya. Patung ini diciptakan tidak semata untuk keindahan, tetapi juga untuk menumbuhkan kembali ekosistem karang yang rusak.


Karyanya bergerak di antara sains, ekologi dan spiritualitas. Kerap ia  bekerja sama dengan para penyelam, ilmuwan kelautan dan masyarakat lokal. Proyeknya adalah "doa dalam bentuk logam" serta cara manusia meminta ampun pada laut yang telah lama dilukai.


Apa yang dilakukan Teguh sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDG's) poin 14, yaitu Life Below Water. Ia tidak berbicara lewat data, tetapi lewat pengalaman. Ketika seseorang menyelam dan melihat ikan berlindung di rongga-rongga patungnya, kesadaran pun tumbuh bahwa laut bukan ruang asing, melainkan rumah bersama.


Sosok Teguh tidak asing dalam lingkungan UAJ. Pada tanggal 1 Juni 2025, saat peresmian Lobi Carlo Acutis di Kampus BSD, karyanya "Patung Mahkota Duri" diresmikan dan disaksikan oleh seluruh civitas akademika UAJ serta Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo. 



Dalam unggahan di akun media sosial pribadinya, Teguh membagikan sebuah refleksi atas Patung Mahkota Duri. “Kasih yang dipahat, dan doa yang diwujudkan. Setiap duri di patung itu melambangkan beban yang dipanggul bukan karena keterpaksaan, melainkan karena cinta. Dari sesuatu yang pedih dapat lahir terang, dan dari karat dapat tumbuh kehidupan," tulisnya. 


Maka arti Seni menurut Teguh adalah jalan sunyi untuk mengasah nurani. Yesus tidak berkhotbah panjang tentang kasih, melainkan menunjukkannya melalui luka. Dari sanalah Teguh menemukan makna terdalam karyanya, yaitu keyakinan bahwa dalam penderitaan selalu tumbuh harapan, dan dalam karat selalu menunggu kehidupan.


Seminar Series yang dibawakan Teguh diakhiri dengan tepuk tangan yang meriah dan gema pesannya terasa bermakna. Harapannya mahasiswa yang hadir menjadi memahami bahwa seni tidak lagi dipandang hanya sebagai keindahan, tetapi sebagai wujud keberlanjutan serta bentuk rasa terima kasih manusia kepada bumi.


Seperti laut yang terus bernafas lewat karang logam Teguh, UAJ ingin menjadi ruang yang menumbuhkan kehidupan. Sebab menjaga bumi, pada akhirnya, adalah menjaga nurani.


(DEL)