ASK
ME

REGISTER
NOW

IPP dan IFAR Atma Jaya: Indonesia Review and Outlook 2026

12/5/2025 12:00:00 AM


Jakarta, 27 November 2025 Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya melalui Institute of Public Policy (IPP) dan Institute for Advanced Research (IFAR) menghadirkan ruang dialog publik bertajuk Indonesia Review and Outlook 2026: Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran – Evaluasi, Tantangan, dan Arah Kebijakan ke Depan, yang berlangsung di Gedung Yustinus Lt. 13, Kampus Semanggi. 


Forum dibuka oleh Direktur IPP sekaligus dosen Fakultas Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (FIABIKOM), Salvatore Simarmata, S.Sos., M.A., Ph.D., yang menegaskan komitmen IPP untuk menghadirkan ruang dialog yang inklusif dan kolaboratif lintas disiplin. Ia menekankan bahwa refleksi terhadap kinerja pemerintah adalah bagian dari tanggung jawab moral perguruan tinggi. 


”Topik satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran kita angkat sebagai upaya memahami jalannya pemerintahan dari perspektif demokrasi, ekonomi, kesehatan, hingga teknologi, dan menegaskan kembali pentingnya kebijakan berbasis bukti,” jelasnya.


Pembahasan dibuka dengan isu politik oleh Post Doctoral Fellow IFAR Atma Jaya, Dr. Yoes Kenawas, yang menyoroti konsolidasi kekuasaan yang menurutnya hampir paripurna. Ia menegaskan bahwa berbagai agenda strategis pemerintah mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), UU TNI, hingga revisi KUHAP melaju tanpa hambatan yang berarti. Mekanisme seperti kartelisasi parlemen, tekanan terhadap suara kritis, akomodasi selektif pada isu viral, hingga perluasan peran militer ke ranah sipil menjadi faktor utama. 



”Semua berjalan mulus. Ini menunjukkan konsolidasi kekuasaan yang sangat kuat” ungkapnya. Ia memperingatkan bahwa kecenderungan ini membuat Indonesia menjauh dari cita-cita untuk memperkuat demokrasi dan HAM. 


Dari perspektif hukum, Dosen Fakultas Hukum (FH) UAJ, Bivitri Susanti menyoroti lemahnya kontrol terhadap kekuasaan. Ia mengibaratkan pemerintahan baru membawa dua ”bandul pemberat” yang mempersulit manuver, yaitu cara memperoleh kekuasaan dan rekam jejak para aktor politiknya. Menurutnya, dominasi politik dapat membuat hukum hanya menjadi tameng untuk melanggengkan kepentingan tertentu, terutama ketika proses legislasi berlangsung kilat. Bivitri juga menyoroti fenomena populisme hukum, penegakan hukum tampil meyakinkan namun tidak menyentuh akar masalah, ia menilai ruang sipil tetap penting dan harus dilibatkan sebagai penyeimbang. 


Dari perspektif orang muda, perwakilan mahasiswa sekaligus Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Global Active Student Association (GASA), Krishant Ashok Tekani, yang menyoroti posisi generasi muda dalam demokrasi saat ini. Meski menjadi 45% pemilih pada pemilu 2024, ia menilai anak muda masih kurang dilibatkan dan hanya diperlakukan sebagai objek politik. Representasi orang muda di DPR/DPRD hanya sekitar 15%, angka yang paling rendah sejak 1999. Krishant mengkritik minimnya program konkrit bagi orang muda dalam Asta Cita Prabowo-Gibran dan menyoroti pengangguran serta akses pendidikan yang kian sulit akibat pencabutan sejumlah beasiswa yang dananya dialokasikan ke program lain.



”Demokrasi bukan sekedar mencoblos tapi soal pertanggungjawaban politik. Itu tugas kita sebagai anak muda, menjadi masyarakat yang menuntut substansi dan mengawal akuntabilitas,” tegasnya.


Dari perspektif ekonomi disampaikan oleh Dosen Fakultas Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (FIABIKOM) UAJ, Prof. Rosdiana Sijabat, S.E., M.Si., Ph.D., menilai bahwa tahun 2025 dipenuhi dengan kebijakan ekonomi yang muncul secara  tiba-tiba tanpa konsultasi publik. Ia menggambarkan kebijakan yang tiba-tiba ini dengan ”ekspansi yang dimulai secara kontraktif”. Meski stabilitas harga terjaga dan inflasi masih dalam batas aman, pertumbuhan ekonomi tetap bertahan di kisaran 5% dan belum menunjukkan tanda akselerasi. Menurutnya di tahun 2026 tidak terlihat adanya lonjakan atau penurunan signifikan, kecuali jika muncul hal tidak terduga seperti shock politik atau perubahan iklim.


Dari perspektif kesehatan, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya, dr. Yunisa Astiarani, membahas implementasi Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam konteks stunting dan pelayanan kesehatan dasar. Ia menilai keberhasilan program sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur kesehatan, tata kelola pendanaan, serta keterpaduannya dengan layanan primer. Tantangan klasik seperti ketimpangan distribusi tenaga medis dan keberlanjutan pembiayaan BPJS juga menjadi penentu arah kebijakan kesehatan pada 2026. 


Pada kesempatan yang sama, Dosen Teknik Elektro UAJ, Dr. Ir. Lukas, S.T., MAI., CISA., IPU., yang memaparkan materi seputar teknologi dan Artificial intelligence (AI). Ia menggarisbawahi transformasi digital menjadi bagian penting dari Asta Cita Prabowo-Gibran, namun Indonesia masih menghadapi ketiadaan kerangka regulasi AI, ketimpangan infrastruktur digital, serta risiko ketidaksetaraan akibat adopsi teknologi baru yang menguntungkan kelompok besar saja. 



Lukas menekankan perlunya Strategi Nasional AI, penguatan literasi digital, tata kelola data yang transparan, serta kolaborasi publik-swasta agar teknologi memberi manfaat merata. ”Jika kita gagal mengatur AI dengan bijak, kesenjangan akan melebar. Tetapi jika berhasil, Indonesia bisa melompat menjadi bangsa yang inovatif dan berdaya saing global,” pesannya.


Seluruh rangkaian diskusi mencerminkan komitmen UAJ untuk mendorong kebijakan berbasis bukti, membangun ruang publik yang sehat dan melibatkan berbagai perspektif dalam melihat arah perjalanan bangsa.  Forum ini memberikan gambaran bahwa tantangan Indonesia pada 2026 akan membutuhkan kolaborasi lintas ilmu, keterlibatan masyarakat sipil, serta inovasi kebijakan yang adil dan berkelanjutan. 

(STV)