JAKARTA – Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) menyelenggarakan seminar
bertajuk “Politik Anggaran, Ketimpangan, & Keadilan” secara daring melalui
Zoom Meeting pada Kamis (20/2/25). Acara ini terbuka untuk umum dengan tujuan
membahas serta mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah
bulan ini.
Seminar ini menghadirkan tiga narasumber ahli di bidang ekonomi dan
kebijakan publik, yaitu Prof. Rosdiana Sijabat, S.E., M.Si, PhD sebagai
pengamat ekonomi dan dosen Program Studi Administrasi dan Bisnis Unika Atma
Jaya, DR. Y.B. Suhartoko, S.E., M.E. sebagai dosen tetap Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Unika Atma Jaya, serta Bapak Riandy Laksono, PhD. Cand. dari Crawford
School of Public Policy, Australian National University, Australia.
Prof. Rosdiana
mempertanyakan keputusan pemerintah yang melakukan efisiensi anggaran di tahun
2025 setelah di akhir tahun 2024 APBN sudah di finalisasi oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Beliau juga membahas tentang defisit yang sedang dialami APBN
serta rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang masih rendah sehingga menambah
rintangan pada jalannya efisiensi anggaran.
“APBN merupakan
alat pembangun ekonomi jika tidak dikelola dengan baik maka pembangunan juga
tidak akan berjalan dengan optimal” ucap Prof. Rosdiana.
Selanjutnya, Prof.
Rosdiana menyoroti rencana penggunaan dana hasil efisiensi yang akan disalurkan
untuk mendanai Makan Bergizi Gratis sebesar 24 Miliar USD dan Investasi pada
badan pengelola investasi baru yaitu Badan Daya Anagata Nusantara (DANANTARA) sebesar
20 Miliar USD. Namun, semangat efisiensi ini dipandang kontrakdiktif dengan
realitas politik yang ada.
“Pemerintahan Pak
Prabowo saat ini termasuk struktur pemerintahan paling gemuk dibandingkan
pemerintahan presiden-presiden sebelumnya, dimana terdapat 48 kementrian, 5
pejabat setara menteri dan 56 wakil menteri yang mana berpengaruh pada
peningkatan yang cukup signifikan dalam belanja pemerintah untuk sektor
kepegawaian”, ujar Prof. Rosdiana. Tidak hanya itu, efisiensi ini juga dapat
memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan oleh pemerintah
tumbuh di atas 5 persen.
Pembicara kedua, Dr. Suhartoko mengambil contoh kebijakan efisiensi
anggaran dari negara lain seperti Argentina dan Vietnam. Dr. Suhartoko
menjelaskan efisiensi berimplikasi pada pemecatan pegawai; aksi pemecatan
seribu pegawai negeri sipil di Vietnam demi melakukan efisiensi, selain itu
pemerintahan Vietnam saat itu memangkas posisi pekerjaan di lima sektor publik
untuk menghemat puluhan triliun.
“Langkah ini kemudian dijuluki “Revolusi” oleh pejabat senior dengan
memangkas 30 kementerian dan lembaga negara menjadi 22”, ujar Dr. Suhartoko.
Dr. Suhartoko menyatakan jumlah anggaran yang mengalami efisiensi sesuai
kebijakan pemerintah sebesar Rp 306,69 Triliun, terbagi dalam efisiensi
anggaran belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp 256,1 Triliun dan efisiensi
transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 Triliun. Dana Rp 306,69 Triliun ini diklaim
tidak akan mengurangi total belanja negara dan akan dialihkan ke program
prioritas pemerintah seperti makan bergizi gratis dan DANANTARA.
“Untuk yang saat
ini yang dilakukan pemerintah, saya menyebutnya bukan efisiensi tapi shifting anggaran.” Tegas Dr Suhartoko.
Selanjutnya,
pembicara ketiga Riandy Laksono, seorang kandidat PhD dari Crawford School of
Public Policy, Australian National University, menyampaikan bahwa kebijakan ini
berawal dari keinginan presiden Prabowo untuk menyisipkan program dari masa
kampanye pilpres lalu khususnya makan bergizi gratis ke dalam APBN 2025, namun
terbatasnya ruang fiskal menyebabkan diharuskannya penghematan sebesar Rp 306
triliun.
Bapak Riandy
berpendapat bahwa kriteria efisiensi anggaran ini dirasa kurang jelas dalam hal
2 kriteria utama yaitu, bukan belanja pegawai dan bukan belanja bantuan sosial,
serta skema tindakan efisiensi yang terlalu tergesa-gesa. Bapak Riandy juga
mempertanyakan urgensi pemotongan anggaran ini mengingat risiko deflasi yang
menjadi tanda pelemahan daya beli, bukan inflasi.
Kemudian Bapak
Riandy menyatakan bahwa efisiensi anggaran berbeda dengan austerity (pengetatan anggaran). “Efisiensi berarti relokasi
anggaran tanpa mengurangi total belanja negara sementara austerity berarti
pengurangan total belanja negara, dengan cacatnya desain efisiensi ini
memunculkan pertanyaan dalam publik akan langkah pemotongan ini benar efisien
atau justru memunculkan resiko memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Seharusnya kebijakan fiskal saat ini bersifat ekspansif bukan kontraktif” tegas
Bapak Riandy Laksono.
Bapak Riandy merekomendasikan kebijakannya yang ingin jumlah efisiensi anggaran diturunkan, tidak langsung Rp 306 Triliun di 2025. Selain itu, beliau menyampaikan diperlukan mekanisme yang transparan untuk me-review pengeluaran dengan kriteria yang terstruktur serta berlandaskan bukti.
Analisis para
pembicara yang didasarkan pada data-data kuantitatif sejumlah indikator ekonomi
memancing rasa ingin tahu para peserta seminar. Angel Felicia, mahasiswi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Unika Atma Jaya menayakan kepada semua pembicara mengenai
Makan bergizi gratis. Angel menyinggung headline
berita yang menyampaikan bahwa anak-anak mendapatkan makan siang gratis
sementara orang tua mereka mengalami PHK, Angel pun bertanya apakah kebijakan
ini perlu dikaji ulang atau bahkan dihapus.
Prof. Rosdiana
menegaskan bahwa janji politik tidak dapat dihapus begitu saja di tahun
pertamanya karena akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah,
tetapi Prof. Rosdiana juga menyoroti ironi yang dihadapi masyarakat dimana
anak-anaknya yang hanya diberi makan siang gratis tetapi orang tuanya harus
kehilangan pekerjaannya dan kesempatan untuk menghidupi keluarganya secara
mandiri dan menyeluruh.
Dr. Suhartoko
berpendapat kebijakan makan bergizi gratis ini akan lebih efektif jika
difokuskan pada ibu hamil, balita, dan batita untuk membentuk generasi baru
yang cerdas, menurutnya saat anak sudah beranjak SD, SMP, dan SMA sudah
terlambat untuk mendorong perkembangan kecerdasan anak yang efektif.
Dan terakhir Bapak
Riandy Laksono menambahkan bahwa sebelum kebijakan ini dapat dikaji ulang,
harus dipastikan terlebih dahulu apakah sudah ada kajian awalnya karena
menurutnya program makan bergizi gratis ini belum ada kajiannya. Ia juga
menyoroti keputusan politik seharusnya dilakukan dengan lebih matang dan
berbasis data sehingga dapat lebih efektif.
Lewat seminar ini,
Unika Atma Jaya melalui Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) mencoba
menawarkan suatu perspektif mendalam mengenai kebijakan efisiensi anggaran yang
sedang ramai dibincangkan. Para pembicara menekankan pentingnya kebijakan yang
berbasis data, transparan, dan akuntabel serta berkeadilan. AJIPP merupakan
pusat riset kebijakan publik yang mendorong implementasi kebijakan berbasis
bukti (evidence-based policy) demi pembagunan bangsa yang berkelanjutan.
Seminar ini juga
menjadi masukan kepada pemerintah untuk mengevaluasi mekanisme penyusunan kebijakan
terkait anggaran serta pengambilan keputusan agar lebih efektif, transparan,
dan berbasis data demi mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan untuk
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.