Kasus Ari Bias
dan Agnez Mo telah menjadi polemik yang cukup menyita perhatian akhir-akhir
ini. Kasus ini bermula ketika Agnez Mo menyanyikan lagu “Bilang Saja” ciptaan
Ari Bias tanpa izin dalam 3 konsernya di Surabaya, Jakarta, dan Bandung pada
bulan Mei 2023. Pihak Ari Bias menggugat Agnez Mo atas pelanggaran Pasal 9 (2)
dan (3) UU Hak Cipta No. 28/ 2014 (UUHC) yang pada intinya menyatakan bahwa
setiap orang yang menggunakan secara komersial suatu ciptaan harus mendapatkan
izin dari penciptanya. Kemudian majelis hakim pada Pengadilan Niaga dalam
Putusan No. 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst memutuskan bahwa
Agnez Mo dinyatakan bersalah melanggar hak cipta Ari Bias berdasarkan Pasal 9
(2) dan (3) UUHC dan diharuskan membayar denda kerugian sebesar Rp. 1.5 milyar.
Putusan ini
dianggap oleh banyak orang tidak tepat karena terdapat pengecualian dari
ketentuan Pasal 9 (2) dan (3) UUHC yang terdapat dalam Pasal 23 (5) UUHC yang
pada intinya menyatakan bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara
komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu
kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga
Manajemen Kolektif (LMK). Selanjutnya terdapat lagi satu pasal pengecualian,
yaitu Pasal 87 (4) UUHC yang pada intinya juga menganggap tidak terdapat
pelanggaran hak cipta jika seseorang menggunakan karya pihak lain tanpa izin
sepanjang telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan LMK.
Terlebih lagi putusan ini dianggap kurang tepat karena ganti rugi seharusnya
dibebankan kepada pihak penyelenggara konser.
Sebenarnya
penggunaan Pasal 23 (5) UUHC untuk kasus ini tidak tepat karena Pasal 23 (5)
UUHC ini merujuk pada Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukkan dan bukan ditujukan untuk
Pencipta. Penggunaan Pasal 87 (4) UUHC mungkin lebih tepat dalam kasus ini,
tetapi harus diingat bahwa ada diksi ”....sesuai perjanjian dengan LMK” dalam
pasal tersebut yang artinya pencipta harus mengikat perjanjian dulu dengan LMK
bila ingin menggunakan pasal tersebut. Dalam kasus ini, Ari Bias tidak
mengadakan perjanjian dengan LMK atau menerapkan direct licensing dalam
pemberian izin dan/ atau pembayaran royalti atas penggunaan karya ciptanya.
Jadi dengan demikian, pengecualian Pasal 87 (4) UUHC juga tidak dapat
dibenarkan dalam kasus tersebut.
Lalu, bagaimana
dengan anggapan bahwa ganti rugi seharusnya dibebankan kepada pihak
penyelenggara konser? Anggapan ini muncul karena sudah menjadi kelaziman dalam
praktik pemungutan royalti yang dilakukan oleh LMK berdasarkan Keputusan
Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02/ 2016 yang menggunakan penghitungan
hasil kotor penjualan tiket yang hanya diketahui oleh pihak penyelenggara
konser. Namun perlu diingat dalam UUHC. Namun perlu diingat Pasal 9 (2) dan (3)
UUHC menggunakan frase ”Setiap Orang” yang lebih dekat ke Pelaku Pertunjukkan.
Walaupun Pasal 1 (27) UUHC menyatakan orang adalah setiap orang perorangan atau
badan hukum, tetapi Pasal 9 (2) dan (3) UUHC lebih mudah ditafsirkan sebagai
Pelaku Pertunjukan yang mendapatkan keuntungan akibat membawakan karya cipta
tersebut.
Lagipula apabila
ada dua peraturan yang saling bertentangan antara UU dan Keputusan Menteri
Hukum dan HAM, maka akan berlaku asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori yang
artinya peraturan yang lebih tinggi hirarkinya akan mengalahkan peraturan yang
lebih rendah. Dalam hal ini, Keputusan Menteri Hukum dan HAM lebih rendah
kedudukannya dibandingkan dengan UUHC. Jadi yang berlaku adalah UUHC.
Sekarang tinggal kita tunggu hasil keputusan kasasi Mahkamah Agung yang diajukan oleh Agnez Mo. Apabila putusan Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Agnez Mo, jangan lupa Ari Biaz juga masih punya hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas kasusnya tersebut.
Ditulis oleh: Prof V. Selvie Sinaga, S.H., LL.M., Ph.d
Guru Besar Bidang Hukum Hak Kekayaan Intelektual Internasional
Fakultas Hukum Unika Atma Jaya