ASK
ME

REGISTER
NOW

Hak Cipta Atas Lagu: Kontroversi Kasus Ari Bias vs Agnez Mo

9/12/2025 12:00:00 AM


 

Kasus Ari Bias dan Agnez Mo telah menjadi polemik yang cukup menyita perhatian akhir-akhir ini. Kasus ini bermula ketika Agnez Mo menyanyikan lagu “Bilang Saja” ciptaan Ari Bias tanpa izin dalam 3 konsernya di Surabaya, Jakarta, dan Bandung pada bulan Mei 2023. Pihak Ari Bias menggugat Agnez Mo atas pelanggaran Pasal 9 (2) dan (3) UU Hak Cipta No. 28/ 2014 (UUHC) yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang yang menggunakan secara komersial suatu ciptaan harus mendapatkan izin dari penciptanya. Kemudian majelis hakim pada Pengadilan Niaga dalam Putusan No. 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst memutuskan bahwa Agnez Mo dinyatakan bersalah melanggar hak cipta Ari Bias berdasarkan Pasal 9 (2) dan (3) UUHC dan diharuskan membayar denda kerugian sebesar Rp. 1.5 milyar.

 

Putusan ini dianggap oleh banyak orang tidak tepat karena terdapat pengecualian dari ketentuan Pasal 9 (2) dan (3) UUHC yang terdapat dalam Pasal 23 (5) UUHC yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Selanjutnya terdapat lagi satu pasal pengecualian, yaitu Pasal 87 (4) UUHC yang pada intinya juga menganggap tidak terdapat pelanggaran hak cipta jika seseorang menggunakan karya pihak lain tanpa izin sepanjang telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan LMK. Terlebih lagi putusan ini dianggap kurang tepat karena ganti rugi seharusnya dibebankan kepada pihak penyelenggara konser.

 

Sebenarnya penggunaan Pasal 23 (5) UUHC untuk kasus ini tidak tepat karena Pasal 23 (5) UUHC ini merujuk pada Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukkan dan bukan ditujukan untuk Pencipta. Penggunaan Pasal 87 (4) UUHC mungkin lebih tepat dalam kasus ini, tetapi harus diingat bahwa ada diksi ”....sesuai perjanjian dengan LMK” dalam pasal tersebut yang artinya pencipta harus mengikat perjanjian dulu dengan LMK bila ingin menggunakan pasal tersebut. Dalam kasus ini, Ari Bias tidak mengadakan perjanjian dengan LMK atau menerapkan direct licensing dalam pemberian izin dan/ atau pembayaran royalti atas penggunaan karya ciptanya. Jadi dengan demikian, pengecualian Pasal 87 (4) UUHC juga tidak dapat dibenarkan dalam kasus tersebut.

 

Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa ganti rugi seharusnya dibebankan kepada pihak penyelenggara konser? Anggapan ini muncul karena sudah menjadi kelaziman dalam praktik pemungutan royalti yang dilakukan oleh LMK berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02/ 2016 yang menggunakan penghitungan hasil kotor penjualan tiket yang hanya diketahui oleh pihak penyelenggara konser. Namun perlu diingat dalam UUHC. Namun perlu diingat Pasal 9 (2) dan (3) UUHC menggunakan frase ”Setiap Orang” yang lebih dekat ke Pelaku Pertunjukkan. Walaupun Pasal 1 (27) UUHC menyatakan orang adalah setiap orang perorangan atau badan hukum, tetapi Pasal 9 (2) dan (3) UUHC lebih mudah ditafsirkan sebagai Pelaku Pertunjukan yang mendapatkan keuntungan akibat membawakan karya cipta tersebut.

 

Lagipula apabila ada dua peraturan yang saling bertentangan antara UU dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM, maka akan berlaku asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori yang artinya peraturan yang lebih tinggi hirarkinya akan mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Dalam hal ini, Keputusan Menteri Hukum dan HAM lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan UUHC. Jadi yang berlaku adalah UUHC.

 

Sekarang tinggal kita tunggu hasil keputusan kasasi Mahkamah Agung yang diajukan oleh Agnez Mo. Apabila putusan Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Agnez Mo, jangan lupa Ari Biaz juga masih punya hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas kasusnya tersebut.




Ditulis oleh: Prof V. Selvie Sinaga, S.H., LL.M., Ph.d

Guru Besar Bidang Hukum Hak Kekayaan Intelektual Internasional

Fakultas Hukum Unika Atma Jaya