Pernahkah anda
merasa bahwa lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan HP di rumah?
Hal pertama apakah yang anda lakukan saat bangun di pagi hari, memeluk pasangan
anda atau meraih HP anda? Kok sekarang rasanya berbeda begini? Kayaknya dulu
aman-aman saja hidup tanpa HP, kok sekarang begitu tergantung yah? Begitu
banyak pertanyaan yang muncul mengenai dinamika hidup di era digital, jika
dibandingkan pada era sebelumnya.
Di era digital
yang semakin berkembang, pengunaan HP (atau gawai) telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Pada masa pandemi, salah satu bagian
dari gawai yang sering diakses adalah aplikasi media sosial. Media sosial
menjadi salah satu alat penganti interkasi sosial yang mendekatkan saat
kebijakan social distancing menghambatan adanya interaksi tatap muka. Kemudahan
akses informasi dan komunikasi yang ditawarkan oleh media sosial membawa banyak
manfaat, namun pada sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negative. Salah
satu dampak negatifnya adalah munculnya fenomena Fear of Missing Out (FoMO).
FoMO adalah
perasaan cemas yang muncul akibat ketakutan akan kehilangan momen penting yang
dialami oleh orang lain, sehingga seseorang merasa tertinggal dan kurang puas
dengan kehidupannya sendiri (Przybylski et al., 2013). FoMO sering dikaitkan
dengan kesejahteraan subjektif (subjective well-being), yang mencerminkan
tingkat kepuasan seseorang terhadap kehidupannya serta keseimbangan emosi
positif dan negatif yang dirasakan (Diener et al., 1999).
Pada penelitian
yang dilakukan oleh Marsya, Petrawati, & Handayani (2022)menunjukkan adanya
hubungan signifikan antara FoMO dan kesejahteraan subjektif. Dengan kata lain,
semakin tinggi tingkat FoMO seseorang, semakin rendah tingkat kesejahteraan subjektifnya.
Kok bisa begitu? Ternyata hal ini dapat dijelaskan oleh beberapa factor,
seperti:
1. Perbandingan
Sosial yang Tidak Realistis
Pengguna media
sosial cenderung membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain berdasarkan
unggahan yang sering kali hanya menampilkan aspek positif (Chou & Edge,
2012). Hal ini dapat menyebabkan rasa tidak puas terhadap kehidupan sendiri dan
menurunkan kesejahteraan subjektif.
2. Kecenderungan
Keterikatan Berlebihan dengan Media Sosial
Orang dengan FoMO
tinggi lebih cenderung terus-menerus memeriksa media sosial mereka, bahkan
dalam situasi yang kurang sesuai, seperti saat bekerja, belajar atau berkendara
(Turkle, 2011). Ketergantungan ini dapat mengganggu interaksi sosial di dunia
nyata dan menyebabkan tekanan emosional.
3. Ketidakpuasan
dalam Pemenuhan Kebutuhan Psikologis
FoMO sering kali
dikaitkan dengan rendahnya pemenuhan kebutuhan psikologis, terutama relatedness
(keterikatan sosial) dengan lingkungan sekitarnya (Ryan & Deci, 2000).
Individu yang merasa kurang memiliki hubungan sosial yang kuat di dunia nyata
cenderung mengalami FoMO yang lebih tinggi.
Meskipun hubungan
antara FoMO dan kesejahteraan subjektif ditemukan signifikan, banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa korelasi antara kedua variabel tersebut tergolong
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lain, seperti dukungan sosial dan
tingkat ketahanan psikologis seseorang, juga memainkan peran penting dalam
menentukan kesejahteraan subjektif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
individu dengan tingkat FoMO yang lebih tinggi cenderung memiliki kesejahteraan
subjektif yang lebih rendah. Oleh karena itu, penting bagi pengguna media
sosial untuk lebih sadar akan dampak psikologis dari penggunaan media sosial
yang berlebihan.
Meskipun saat ini
sulit untuk hidup tanpa gawai dan media sosial, berikut adalah beberapa
strategi realistik yang dapat dilakukan secara mandiri untuk mengurangi dampak
negatif FoMO:
1. Membatasilah waktu
penggunaan media sosial dan mengurangi kebiasaan membandingkan diri dengan
orang lain.
2. Membangunlah interaksi
sosial yang lebih bermakna di dunia nyata.
3. Kembangkan mindfulness agar
lebih fokus pada pengalaman pribadi daripada terus-menerus mengamati kehidupan
orang lain secara daring.
Dengan memahami
hubungan antara FoMO dan kesejahteraan subjektif, individu dapat lebih
bijaksana dalam menggunakan media sosial dan menjaga kesehatan mental mereka di
era digital, seperti yang tersirat pada kutipan ini :
That fear of
missing out on things makes you miss out on everything.
- Etty Hillesum –
Ditulis oleh: Penny Handayani, M.Psi, Psikolog
Referensi
Chou, H.-T. G.,
& Edge, N. (2012). They are happier and having better lives than I am: The
impact of using Facebook on perceptions of others' lives. Cyberpsychology,
Behavior, and Social Networking, 15(2), 117–120.
https://doi.org/10.1089/cyber.2011.0324
Diener, E., Suh,
E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective well-being: Three
decades of progress. Psychological Bulletin, 125(2), 276–302.
https://doi.org/10.1037/0033-2909.125.2.276
Marsya, T.,
Petrawati, B. A., & Handayani, P. (2022). Hubungan Fear of Missing Out
dengan Subjective Well-Being Pengguna Sosial Media Dewasa Awal. JMJ, Special
Issues, JAMHESIC, 319-334.
Przybylski, A.
K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational,
emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human
Behavior, 29(4), 1841–1848. https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014
Ryan, R. M.,
& Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of
intrinsic motivation, social development, and well-being. American
Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066x.55.1.68
Turkle, S.
(2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each
other. Basic Books.