ASK
ME

REGISTER
NOW

Fear of Missing Out (FoMO) dan Kesejahteraan Subjektif di Era Digital

6/26/2025 12:00:00 AM


 

Pernahkah anda merasa bahwa lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan HP di rumah? Hal pertama apakah yang anda lakukan saat bangun di pagi hari, memeluk pasangan anda atau meraih HP anda? Kok sekarang rasanya berbeda begini? Kayaknya dulu aman-aman saja hidup tanpa HP, kok sekarang begitu tergantung yah? Begitu banyak pertanyaan yang muncul mengenai dinamika hidup di era digital, jika dibandingkan pada era sebelumnya.

 

Di era digital yang semakin berkembang, pengunaan HP (atau gawai) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Pada masa pandemi, salah satu bagian dari gawai yang sering diakses adalah aplikasi media sosial. Media sosial menjadi salah satu alat penganti interkasi sosial yang mendekatkan saat kebijakan social distancing menghambatan adanya interaksi tatap muka. Kemudahan akses informasi dan komunikasi yang ditawarkan oleh media sosial membawa banyak manfaat, namun pada sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negative. Salah satu dampak negatifnya adalah munculnya fenomena Fear of Missing Out (FoMO).

 

FoMO adalah perasaan cemas yang muncul akibat ketakutan akan kehilangan momen penting yang dialami oleh orang lain, sehingga seseorang merasa tertinggal dan kurang puas dengan kehidupannya sendiri (Przybylski et al., 2013). FoMO sering dikaitkan dengan kesejahteraan subjektif (subjective well-being), yang mencerminkan tingkat kepuasan seseorang terhadap kehidupannya serta keseimbangan emosi positif dan negatif yang dirasakan (Diener et al., 1999).

 

Pada penelitian yang dilakukan oleh Marsya, Petrawati, & Handayani (2022)menunjukkan adanya hubungan signifikan antara FoMO dan kesejahteraan subjektif. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat FoMO seseorang, semakin rendah tingkat kesejahteraan subjektifnya. Kok bisa begitu? Ternyata hal ini dapat dijelaskan oleh beberapa factor, seperti:

 

1. Perbandingan Sosial yang Tidak Realistis

Pengguna media sosial cenderung membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain berdasarkan unggahan yang sering kali hanya menampilkan aspek positif (Chou & Edge, 2012). Hal ini dapat menyebabkan rasa tidak puas terhadap kehidupan sendiri dan menurunkan kesejahteraan subjektif.

 

2. Kecenderungan Keterikatan Berlebihan dengan Media Sosial

Orang dengan FoMO tinggi lebih cenderung terus-menerus memeriksa media sosial mereka, bahkan dalam situasi yang kurang sesuai, seperti saat bekerja, belajar atau berkendara (Turkle, 2011). Ketergantungan ini dapat mengganggu interaksi sosial di dunia nyata dan menyebabkan tekanan emosional.

 

3. Ketidakpuasan dalam Pemenuhan Kebutuhan Psikologis

FoMO sering kali dikaitkan dengan rendahnya pemenuhan kebutuhan psikologis, terutama relatedness (keterikatan sosial) dengan lingkungan sekitarnya (Ryan & Deci, 2000). Individu yang merasa kurang memiliki hubungan sosial yang kuat di dunia nyata cenderung mengalami FoMO yang lebih tinggi.

 

Meskipun hubungan antara FoMO dan kesejahteraan subjektif ditemukan signifikan, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa korelasi antara kedua variabel tersebut tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lain, seperti dukungan sosial dan tingkat ketahanan psikologis seseorang, juga memainkan peran penting dalam menentukan kesejahteraan subjektif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa individu dengan tingkat FoMO yang lebih tinggi cenderung memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih rendah. Oleh karena itu, penting bagi pengguna media sosial untuk lebih sadar akan dampak psikologis dari penggunaan media sosial yang berlebihan.


Meskipun saat ini sulit untuk hidup tanpa gawai dan media sosial, berikut adalah beberapa strategi realistik yang dapat dilakukan secara mandiri untuk mengurangi dampak negatif FoMO:

1.      Membatasilah waktu penggunaan media sosial dan mengurangi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.

2.     Membangunlah interaksi sosial yang lebih bermakna di dunia nyata.

3.     Kembangkan mindfulness agar lebih fokus pada pengalaman pribadi daripada terus-menerus mengamati kehidupan orang lain secara daring.

 

Dengan memahami hubungan antara FoMO dan kesejahteraan subjektif, individu dapat lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial dan menjaga kesehatan mental mereka di era digital, seperti yang tersirat pada kutipan ini :

That fear of missing out on things makes you miss out on everything.

- Etty Hillesum –



Dr. Agustinus Prasetyantoko

Ditulis oleh: Penny Handayani, M.Psi, Psikolog








Referensi

Chou, H.-T. G., & Edge, N. (2012). They are happier and having better lives than I am: The impact of using Facebook on perceptions of others' lives. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 15(2), 117–120. https://doi.org/10.1089/cyber.2011.0324

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, 125(2), 276–302. https://doi.org/10.1037/0033-2909.125.2.276

Marsya, T., Petrawati, B. A., & Handayani, P. (2022). Hubungan Fear of Missing Out dengan Subjective Well-Being Pengguna Sosial Media Dewasa Awal. JMJ, Special Issues, JAMHESIC, 319-334.

Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848. https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066x.55.1.68

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.