Gedung Yustinus, Lantai 14, Kampus Semanggi, menjelma ruang refleksi bagi para akademisi, rohaniwan, dan publik, (3/10). Di sana digelar seminar bertajuk "Menghidupi Etika, Menata Masa Depan Bangsa", bersamaan dengan peluncuran buku "Berpihak dan Peduli Pada yang Terpinggirkan" sebuah catatan panjang perjalanan Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya dalam merawat kepedulian sosial dan kemanusiaan.
Atma Jaya menapaki usia 65 tahun dengan sebuah renungan, bagaimana meneguhkan kembali etika di tengah zaman yang kian gaduh. Pada kesempatan ini, Rektor Unika Atma Jaya, Prof. Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S(K), menegaskan pentingnya etika sebagai landasan pembentukan karakter bangsa.
“Di usia 65 tahun, Unika Atma Jaya tidak hanya merefleksikan perjalanan pendidikan, tetapi juga memperkuat komitmen untuk membentuk insan berintegritas yang menempatkan etika sebagai fondasi hidup bersama. Di tengah tantangan zaman dan krisis nilai, pendidikan tinggi harus menjadi terang yang menumbuhkan karakter dan harapan bagi bangsa,” ujar Yuda.
Nada serupa disampaikan perwakilan Steering Committee, Prof. Dr. Clara R.P. Ajisuksmo, ia menekankan bahwa refleksi atas etika bukan sekadar wacana akademik, melainkan kompas moral yang harus dihidupi oleh seluruh civitas akademika.
"Refleksi ini menjadi momentum untuk meneguhkan kembali nilai etika dan kepedulian terhadap mereka yang terpinggirkan, serta melihat sejauh mana di tahun ke-65 ini kita telah menghidupi cita-cita para pendiri Atma Jaya bagi Tuhan dan Tanah Air," tutur Clara.
Bagian utama acara diisi talkshow yang menghadirkan empat pembicara, yaitu Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ, Prof. Francisia Saveria Sika Seda, M.A., Ph.D., Dr. Agustinus Prasetyantoko, dan Prof. Bernadette N. Setiadi, Ph.D., Psikolog. Dipandu oleh Eunike Sri Tyas Suci, Ph.D., diskusi mengalir dari etika publik, tata kelola ekonomi, hingga peran pendidikan menumbuhkan kesadaran moral.
Pastor Magnis mengingatkan, etika publik adalah tanggung jawab setiap warga bangsa, bukan sekadar konsep moral yang abstrak. "Bangsa ini akan maju jika kita semua mau bertanggung jawab terhadap sesama dan menolak segala bentuk penyimpangan moral. Etika harus menjadi napas kehidupan bangsa," ungkapnya.
Sementara itu, Prasetyantoko menyoroti pentingnya tata kelola yang berintegritas dalam kebijakan ekonomi dan publik. Bernadette dan Francisia menekankan peran dunia pendidikan dalam menumbuhkan kesadaran etis, termasuk dalam membangun relasi akademik yang adil dan beradab di kampus.
Acara ini juga menampilkan film pendek tentang Frans Seda, tokoh nasional sekaligus salah satu pendiri Unika Atma Jaya, yang dikenal karena dedikasinya bagi pendidikan dan kemanusiaan. Film yang berdurasi selama tiga menit ini menjadi pengingat bahwa nilai kepedulian dan keberpihakan yang diwariskannya bukan sekadar sejarah, melainkan napas moral yang terus dihidupi oleh Atma Jaya sebagai institusi pendidikan.
Pada akhirnya, acara selesai dalam suasana hangat dan penuh refleksi. Para Peserta membawa sebuah kesadaran baru bahwa menghidupi etika bukan tugas segelintir orang, melainkan panggilan bersama untuk menata masa depan bangsa yang berkeadaban.
(DEL)