Jakarta,
Indonesia – Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, bekerja sama dengan para
pakar dan pemangku kepentingan, telah sukses menyelenggarakan acara Diskusi dan
Diseminasi Hasil Penelitian bertajuk “Human-Computer Interaction (HCI) dan
Portabilitas Data Biometrik dalam Teknologi Imersif” pada 2 Desember 2024.
Kegiatan ini merupakan tonggak penting dalam pengembangan wacana dan penelitian
berkelanjutan mengenai perlindungan data biometrik dalam pemanfaatan teknologi
imersif berbasis Extended Reality (XR) di Indonesia.
Dipimpin oleh Dr.
jur. Sih Yuliana Wahyuningtyas, S.H., M.Hum., acara ini menghadirkan diskusi
mendalam dari perspektif lintas sektor. Para akademisi, peneliti, praktisi, dan
regulator turut memberikan kontribusi pemikiran strategis untuk menjawab tantangan
etis, teknis, dan regulasi dalam perlindungan data biometrik, sekaligus
menggali potensi HCI yang aman dan intuitif.
Beberapa
rekomendasi kebijakan yang diusulkan meliputi: pertama, pelindungan privasi
subyek data regulasi turunan perlu memperhatikan risiko identifikasi data
biometrik, yang sering kali diabaikan. Meski data biometrik menawarkan banyak
manfaat, penggunaannya harus diimbangi dengan perlindungan privasi yang
memadai. Kedua, dampak teknologi imersif terhadap privasi: teknologi ini
menghadirkan tantangan baru terhadap privasi, termasuk identitas gender, yang
harus diatur secara ketat untuk menghindari pelanggaran hak subjek data.
Ketiga, tantangan adopsi teknologi di Indonesia: adopsi teknologi imersif
menghadapi berbagai kendala, termasuk regulasi yang belum memadai, risiko
keamanan, dan rendahnya kesadaran pengguna. Keempat, inklusivitas dan desain
HCI: desain teknologi harus inklusif, memastikan semua kelompok pengguna,
termasuk yang memiliki keterbatasan teknologi, dapat berpartisipasi dengan
aman.
Menyelami
Kompleksitas Teknologi Imersif dan Portabilitas Data
Dalam paparannya,
Nindhitya Dita dari Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika menyoroti pesatnya
perkembangan teknologi imersif yang memproses data biometrik secara masif.
“Sebanyak 18% data biometrik di Indonesia telah digunakan untuk autentikasi di
sektor publik dan privat. Kendati demikian, hak portabilitas data kerap
menghadapi kendala teknis dan infrastruktur yang signifikan,” ungkapnya. Ia
menekankan perlunya mekanisme seperti Data Protection Impact Assessment (DPIA)
guna menekan risiko dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap teknologi
baru.
Sejalan dengan
itu, Martius dari PT Telkom Indonesia menegaskan pentingnya prinsip data
minimization dan standar interoperabilitas untuk mendukung perlindungan data
biometrik. “Desain HCI dalam aplikasi berbasis biometrik harus berorientasi
pada pengalaman pengguna yang intuitif, cepat, dan aman,” ujarnya. Namun, ia
juga menyoroti tantangan teknis seperti biaya enkripsi yang tinggi dan
integrasi sistem lama.
Sementara itu,
Parasurama dari ELSAM menggarisbawahi perlunya regulasi yang dapat menjembatani
celah antara kebutuhan perlindungan data pribadi dan dinamika persaingan
bisnis. “Portabilitas data biometrik menghadapi kendala interoperabilitas
antarplatform, sehingga dibutuhkan regulasi yang mencegah dominasi monopoli
tanpa mengorbankan hak pengguna,” jelasnya.
Perspektif
Perlindungan Data Anak dalam Teknologi Imersif
Alia Yofira
Karunian dari PurpleCode Collective mengangkat isu perlindungan anak dalam
teknologi imersif, seperti batasan usia dan persetujuan orang tua. “Proses
verifikasi usia harus lebih dari sekadar formalitas,” tegasnya. Ia menyebutkan
inovasi global, seperti estimasi usia biometrik, yang dapat menjadi referensi
bagi Indonesia untuk mengatasi bias dan celah dalam perlindungan data
anak.
Bapak Fransiscus
Xaverius Taro, Cyber Security Evangelist, mengingatkan bahwa pengembang
aplikasi sering kali mengabaikan aspek keamanan demi memprioritaskan fitur.
“Edukasi keamanan siber harus dirancang sejak tahap awal pengembangan, termasuk
dengan prinsip security by design,” katanya. Ia juga menekankan pentingnya
pengelolaan data yang selektif untuk mengurangi risiko kebocoran.
Inspirasi
Global untuk Regulasi Nasional
Dalam diskusi
panel, Dr. Sih Yuliana Wahyuningtyas menyoroti pendekatan Uni Eropa yang
berbasis pada hak asasi manusia. Cyber Security Act dan Cyber
Resilience Act dapat menjadi contoh legislasi yang mewajibkan pengembang
perangkat lunak untuk mematuhi standar keamanan ketat sebelum memasuki pasar.
“Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk mengatur tentang keamanan
siber di luar regulasi yang telah ada untuk melindungi data pribadi,”
imbuhnya.
Martius
menggarisbawahi bahwa Indonesia juga membutuhkan regulasi keamanan siber yang
lebih komprehensif untuk menjawab tantangan era digital, termasuk pengelolaan
data biometrik yang lintas sektor.
Tantangan
dan Solusi Jangka Panjang
Diskusi mengenai
portabilitas data memunculkan berbagai pandangan tentang peran pengguna dan
pengendali data. Nindhitya Dita menjelaskan bahwa hak portabilitas harus
disertai mekanisme hukum yang jelas dan interaksi aktif antara subjek data dan
pengendali data. “Portabilitas bukanlah hak absolut, tetapi harus memastikan
keamanan dan kepatuhan hukum,” ungkapnya.
Dalam konteks perlindungan anak, Alia Yofira Karunian menekankan
pentingnya pedoman teknis yang terintegrasi dengan regulasi global. Kolaborasi
dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga diperlukan untuk
memastikan perlindungan data anak yang komprehensif.
Menuju
Teknologi yang Inklusif dan Aman
Diskusi ini
menegaskan pentingnya sinergi antara regulator, akademisi, dan sektor privat
dalam membangun ekosistem teknologi imersif yang aman dan inklusif. Universitas
Katolik Atma Jaya Jakarta berkomitmen untuk terus menjadi wadah penelitian dan
dialog kritis, demi mendorong inovasi yang berbasis pada etika dan perlindungan
hak asasi manusia.
Sebagaimana yang
ditegaskan oleh para pembicara, ke depan Indonesia diharapkan dapat
mengintegrasikan regulasi, desain teknologi yang aman, serta kesadaran
masyarakat terhadap risiko kebocoran data. Acara ini menjadi langkah awal yang
strategis untuk mewujudkan visi tersebut.