ASK
ME

REGISTER
NOW

Diskusi dan Diseminasi Penelitian: Human-Computer Interaction (HCI) dan Portabilitas Data Biometrik dalam Teknologi Imersif

12/16/2024 12:00:00 AM


 

Jakarta, Indonesia – Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, bekerja sama dengan para pakar dan pemangku kepentingan, telah sukses menyelenggarakan acara Diskusi dan Diseminasi Hasil Penelitian bertajuk “Human-Computer Interaction (HCI) dan Portabilitas Data Biometrik dalam Teknologi Imersif” pada 2 Desember 2024. Kegiatan ini merupakan tonggak penting dalam pengembangan wacana dan penelitian berkelanjutan mengenai perlindungan data biometrik dalam pemanfaatan teknologi imersif berbasis Extended Reality (XR) di Indonesia. 

 

Dipimpin oleh Dr. jur. Sih Yuliana Wahyuningtyas, S.H., M.Hum., acara ini menghadirkan diskusi mendalam dari perspektif lintas sektor. Para akademisi, peneliti, praktisi, dan regulator turut memberikan kontribusi pemikiran strategis untuk menjawab tantangan etis, teknis, dan regulasi dalam perlindungan data biometrik, sekaligus menggali potensi HCI yang aman dan intuitif. 

 

Beberapa rekomendasi kebijakan yang diusulkan meliputi: pertama, pelindungan privasi subyek data regulasi turunan perlu memperhatikan risiko identifikasi data biometrik, yang sering kali diabaikan. Meski data biometrik menawarkan banyak manfaat, penggunaannya harus diimbangi dengan perlindungan privasi yang memadai. Kedua, dampak teknologi imersif terhadap privasi: teknologi ini menghadirkan tantangan baru terhadap privasi, termasuk identitas gender, yang harus diatur secara ketat untuk menghindari pelanggaran hak subjek data. Ketiga, tantangan adopsi teknologi di Indonesia: adopsi teknologi imersif menghadapi berbagai kendala, termasuk regulasi yang belum memadai, risiko keamanan, dan rendahnya kesadaran pengguna. Keempat, inklusivitas dan desain HCI: desain teknologi harus inklusif, memastikan semua kelompok pengguna, termasuk yang memiliki keterbatasan teknologi, dapat berpartisipasi dengan aman.

 



Menyelami Kompleksitas Teknologi Imersif dan Portabilitas Data

Dalam paparannya, Nindhitya Dita dari Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika menyoroti pesatnya perkembangan teknologi imersif yang memproses data biometrik secara masif. “Sebanyak 18% data biometrik di Indonesia telah digunakan untuk autentikasi di sektor publik dan privat. Kendati demikian, hak portabilitas data kerap menghadapi kendala teknis dan infrastruktur yang signifikan,” ungkapnya. Ia menekankan perlunya mekanisme seperti Data Protection Impact Assessment (DPIA) guna menekan risiko dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap teknologi baru. 

 

Sejalan dengan itu, Martius dari PT Telkom Indonesia menegaskan pentingnya prinsip data minimization dan standar interoperabilitas untuk mendukung perlindungan data biometrik. “Desain HCI dalam aplikasi berbasis biometrik harus berorientasi pada pengalaman pengguna yang intuitif, cepat, dan aman,” ujarnya. Namun, ia juga menyoroti tantangan teknis seperti biaya enkripsi yang tinggi dan integrasi sistem lama. 

 

Sementara itu, Parasurama dari ELSAM menggarisbawahi perlunya regulasi yang dapat menjembatani celah antara kebutuhan perlindungan data pribadi dan dinamika persaingan bisnis. “Portabilitas data biometrik menghadapi kendala interoperabilitas antarplatform, sehingga dibutuhkan regulasi yang mencegah dominasi monopoli tanpa mengorbankan hak pengguna,” jelasnya. 

 

Perspektif Perlindungan Data Anak dalam Teknologi Imersif

Alia Yofira Karunian dari PurpleCode Collective mengangkat isu perlindungan anak dalam teknologi imersif, seperti batasan usia dan persetujuan orang tua. “Proses verifikasi usia harus lebih dari sekadar formalitas,” tegasnya. Ia menyebutkan inovasi global, seperti estimasi usia biometrik, yang dapat menjadi referensi bagi Indonesia untuk mengatasi bias dan celah dalam perlindungan data anak. 

 

Bapak Fransiscus Xaverius Taro, Cyber Security Evangelist, mengingatkan bahwa pengembang aplikasi sering kali mengabaikan aspek keamanan demi memprioritaskan fitur. “Edukasi keamanan siber harus dirancang sejak tahap awal pengembangan, termasuk dengan prinsip security by design,” katanya. Ia juga menekankan pentingnya pengelolaan data yang selektif untuk mengurangi risiko kebocoran. 

 

Inspirasi Global untuk Regulasi Nasional

Dalam diskusi panel, Dr. Sih Yuliana Wahyuningtyas menyoroti pendekatan Uni Eropa yang berbasis pada hak asasi manusia. Cyber Security Act dan Cyber Resilience Act dapat menjadi contoh legislasi yang mewajibkan pengembang perangkat lunak untuk mematuhi standar keamanan ketat sebelum memasuki pasar. “Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk mengatur tentang keamanan siber di luar regulasi yang telah ada untuk melindungi data pribadi,” imbuhnya. 

 

Martius menggarisbawahi bahwa Indonesia juga membutuhkan regulasi keamanan siber yang lebih komprehensif untuk menjawab tantangan era digital, termasuk pengelolaan data biometrik yang lintas sektor. 

 

Tantangan dan Solusi Jangka Panjang

Diskusi mengenai portabilitas data memunculkan berbagai pandangan tentang peran pengguna dan pengendali data. Nindhitya Dita menjelaskan bahwa hak portabilitas harus disertai mekanisme hukum yang jelas dan interaksi aktif antara subjek data dan pengendali data. “Portabilitas bukanlah hak absolut, tetapi harus memastikan keamanan dan kepatuhan hukum,” ungkapnya.  Dalam konteks perlindungan anak, Alia Yofira Karunian menekankan pentingnya pedoman teknis yang terintegrasi dengan regulasi global. Kolaborasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga diperlukan untuk memastikan perlindungan data anak yang komprehensif. 

 

Menuju Teknologi yang Inklusif dan Aman

Diskusi ini menegaskan pentingnya sinergi antara regulator, akademisi, dan sektor privat dalam membangun ekosistem teknologi imersif yang aman dan inklusif. Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta berkomitmen untuk terus menjadi wadah penelitian dan dialog kritis, demi mendorong inovasi yang berbasis pada etika dan perlindungan hak asasi manusia. 

 

Sebagaimana yang ditegaskan oleh para pembicara, ke depan Indonesia diharapkan dapat mengintegrasikan regulasi, desain teknologi yang aman, serta kesadaran masyarakat terhadap risiko kebocoran data. Acara ini menjadi langkah awal yang strategis untuk mewujudkan visi tersebut.