(Oleh Dr. Yohanes Berchman Suhartoko, SE., ME – Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya)
Tanggal 18 Maret 2025, perdagangan saham
sempat dihentikan (trading halt) selama 30 menit oleh pengelola bursa.
Penyebabnya adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan
drastis sebesar 325,03 poin atau sekitar 5,02persen. Sehingga IHSG pada level 6146,91
pada sesi 1, namun demikian sesuai pembukaan kembali perdagangan, tekanan penurunan
IHSG masih terjadi. IHSG bahkan sempat melanjutkan penurunan hingga 6,12 persen
ke level 6.076,08. Suatu penurunan yang signifikan dan menjadi yang terendah
sejak September 2021.
Berdasarkan data Bloomberg secara
perhitungan statistik, saham saham yang mempunyai andil besar dalam menekan
IHSG adalah saham industri teknologi dengan kapitalisasi besar, saham industri
energi dan perbankan. Selain itu faktor signifikan lainnya adalah sentimen net
sell investor asing yang sangat masif di pasar saham mencapai Rp24 triliun di
sepanjang tahun 2024. Nampaknya sentiment investor asing belum terjadi
pembalikan.
Pada era informasi yang sangat terbuka
dan relatif mudah didapatkan, trading halt ini menjadi berita negatif bagi
pengamat ekonomi, investor saham, pebisnis dan yang cukup mengherankan masyarakat
awam keuangan juga membicarakan dan merasa khawatir dengan kejadian
tersebut berkaitan dengan ekonomi
Indonesia. IHSG merupakan cerminan kinerja investasi tidak langsung atau
investasi portofolio. Jika dikaitkan dengan pendapatan nasional, naik turunnya
IHSG tidak berdampak kepada pertumbuhan, namun sebagai sinyal menurunnya kepercayaan
investor terhadap perekonomian. Kondisi Ekonomi makro fundamental, fundamental industri,
fundamental perusahaan, dan positif atau negatifnya isu (good and bad news)
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi IHSG.
Ekonomi Makro Fundamental, Industri, dan
Perusahaan
Kondisi Fiskal Januari 2025 tidak
baik-baik saja. Dari sisi penerimaan terjadi penurunan dibandingkan Januari
2024. Penerimaan perpajakan Januari 2025, terdiri atas Penerimaan Pajak senilai
Rp88,89 triliun, 4,06 persen dari target atau turun 41,86 persen (yoy).
Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Rp26,29 triliun yang mencapai 8,72 persen dari
target. tercatat mengalami peningkatan sebesar 14,75 persen. Sedangkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tercatat telah masuk senilai Rp42,13
triliun atau 8,2 persen dari target atau turun 3,03 persen (yoy), kemudian
Penerimaan Hibah senilai Rp9,8 miliar.
Dari sisi Belanja Pemerintah Pusat mencapai Rp86,04
triliun atau mengalami penurunan 10,75 persen dibandingkan tahun sebelumnya (yoy) yang
terdiri atas realisasi Belanja K/L Rp24,38 triliun atau turun sebesar 45,5
persen dan realisasi Belanja non-K/L
Rp61,66 triliun meningkat 19,43
persen (yoy). Sedangkan belanja melalui Transfer ke
Daerah (TKD) mencapai Rp94,73 triliun. Secara keseluruhan defisit anggaran pada
Januari 2025 tercatat senilai Rp23,5 triliun atau 0,10 persen terhadap PDB.
Berdasarkan data APBN tersebut, dari sisi penerimaan mengalami penurunan dan
pengeluaran juga mengalami penurunan, namun masih defisit. Hal ini dapat
ditangkap kekuatan APBN sebagai pengungkit ekonomi mengalami penurunan .
Sisi moneter dengan tingkat suku bunga
acuan 5,75 persen belum kembali mengecil lagi. Suku bunga acuan sebesar ini
akan mengakibatkan suku bunga kredit lebih tinggi. Hal ini tentu saja bukan
insentif yang kuat untuk meningkatkan investasi. Namun Bank Indonesia di tengah
situasi The Fed tidak menurunnya suku bunga, maka Bank Indonesia juga tidak
menurunkan suku bunga, karena risikonya adalah pelemahan rupiah.
Konsumsi rumah tangga merupakan kontributor
terbesar PDB, berkaitan terjadinya deflasi beberapa bulan pada tahun 2024, daya
beli konsumen dipandang mengalami penurunan yang ditunjukkan porsi pendapatan
yang ditabung menurun. Porsi pendapatan masyarakat yang ditabung (Februari 2025
hanya 14,7 persen, sementara Januari 2025 sebesar 15,3 persen dan naiknya porsi
pendapatan yang dibelanjakan untuk pengeluaran konsumsi pada Februari 2025
sebesar 74,7 persen, sementara Januari 2025 sebesar 73,6 persen. Impor barang
konsumsi justru mengalami penurunan dari 1,64 miliar dollar AS (Januari 2025)
menjadi 1,47 miliar dollar AS (Februari 2025). angka impor barang konsumsi
terpantau menurun masing-masing sebesar 10,61 persen (MoM) dan 20,97 persen
(YoY). Menjelang lebaran biasanya nilai
impor barang konsumsi mengalami kenaikan.
Dari sisi kondisi fundamental industri
pada tahun 2024, nampaknya beberapa industri seperti tekstil, sepatu dan
elektronika mengalami penurunan. Pada Industri tekstil cukup banyak yang
mengalami kebangkrutan dan PHK. Ada sekitar kurang lebih 60 perusahaan
mengalaminya. Industri tekstil terkontraksi 0,03 persen. penurunan produksi
tekstil seiring lonjakan produk tekstil impor yang membanjiri pasar domestic.
industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki juga ikut tumbuh melambat,
yaitu sebesar 1,93persen (yoy). Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi alas
kaki seiring penutupan beberapa pabrik dampak penurunan permintaan domestik dan
luar negeri. Penurunan terjadi di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan DI
Yogyakarta.
Sektor manufaktur Indonesia juga
menghadapi tantangan dengan terkontraksinya Purchasing Manager's Index (PMI)
manufaktur pada Juli 2024. PMI manufaktur Indonesia tercatat merosot ke level
49,3 poin menjadi fase kontraksi, padahal selama 34 bulan berturut turut
sebelumnya berada pada level ekspansi. Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juli
2024 yang turun menjadi 52,4 dari IKI Juni 2024 sebesar 52,5. Perlambatan nilai
IKI pada Juli lalu dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan
masih terkontraksinya variabel produksi. Menurunnya PMI dan IKI menunjukkan
kepercayaan diri dan optimisme pelaku industri yang menurun.
Situasi ekonomi makro yang relative
tidak begitu baik ditambah dengan melemahnya kondisi industri juga terjadi
kepada perusahaan-perusahaan secara individual. Jika ini juga menimpa kepada
Perusahaan yang terbuka (Go Publik) tentunya ini juga menggerus angka IHSG.
Isu-isu Kebijakan Ekonomi
Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG),
Danantara, Koperasi Desa merupakan upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan
Kesehatan, kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu kebijakan semua hal ini baik adanya. Namun demikian, berkaitan dengan
pendanaan dan implementasinya sering menimbulkan isu negatif. Persepsi negatif masyarakat
terhadap MBG terutama berkaitan dengan pendanaan dan operasional di lapangan
yang akan mengurangi ruang fiskal lain untuk mendorong pertumbuhan. Untuk
Danantara dan Koperasi Desa isu negatif yang ditangkap adalah menimbulkan
distorsi bagi bank-bank BUMN, sehingga dapat menganggu kinerjanya. Padahal
bank-bank tersebut merupakan Perusahaan terbuka dan posisinya sebagai bank
dengan kapitalisasi terbesar dan posisinya sebagai lembaga intermediasi. Dengan
kondisi demikian bank-bank BUMN berpotensi menciptakan risiko sistemik ketiga
gagal. Melihat hal tersebut, komunikasi kebijakan publik pemerintah perlu
diperbaiki karena dapat berdampak kepada sektor keuangan.
Penutup
Penurunan IHSG terjadi dipicu bukan karena kondisi saat ini saja, namun merupakan akumulasi penurunan kinerja ekonomi makro, industri dan perusahaan serta komunikasi kebijakan publik yang kurang baik dan transparan sehingga menimbulkan persepsi buruk masyarakat. Cukup banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengejar pertumbuhan sekitar 8 persen.