ASK
ME

REGISTER
NOW

Pakar Hukum Unika Atma Jaya Respon Keputusan Presiden Terkait Pandemi Covid-19

4/16/2020 12:00:00 AM


Badan Intelejen Negara (BIN) memperkirakan puncak wabah Covid-19 di Indonesia akan terjadi pada bulan Mei hingga Juli. Itu pun dengan syarat terus diupayakan penanganan yang komprehensif, khususnya untuk mencegah penyebaran yang lebih luas agar jumlah korban terinfeksi dapat diminimalisir. Bahkan Presiden RI Jokowi menetapkan Pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional.

 

Berkaca pada kasus China dan Italia dengan korban meninggal terbanyak di dunia, langkah-langkah antisipasi harus konsisten dilaksanakan. Beberapa upaya tersebut seperti social distancing atau jaga jarak aman yang diupayakan sebisa mungkin dapat menekan jumlah orang yang terinfeksi. Bahkan, hingga kini dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

 

Dengan sifat virus yang sangat mudah menular, PSBB tidak bisa lagi ditempatkan sebagai imbauan, melainkan kewajiban bagi siapa pun. Konsekuensinya adalah perlu segera dikeluarkan kebijakan-kebijakan setingkat peraturan pemerintah untuk memastikan bahwa hal ini dapat ditaati semua warga negara. Hal ini menyangkut persoalan hukum.

 

Menanggapai hal tersebut, Dosen dan Pakar Hukum Unika Atma Jaya Paulus Wisnu Yudoprakoso mengatakan “Status Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Kepres Nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran corona virus disease 2019 (Covid 19) sebagai bencana nasional,  merupakan langkah yang benar dalam upaya untuk mendukung dan memperkuat gugus tugas penanganan Covid-19. Hal ini dapat terlihat melalui Kepresnya dimana salah satunya melalui adanya penegasan bagaimana posisi daerah (bupati, gubernur, walikota) harus senantiasa memperhatikan kebijakan pemperintah pusat,” jelasnya.<vpn/p>

 

Menurut Paulus, adanya perbedaan antara UU Kekarantinaan dengan UU Bencana Nasional. Perbedaan itu dapat dilihat melalui Kepres tersebut secara tegas mendasarkan salah satunya kepada UU Nomor 24 tahun 2007 tentang bencana nasional. Selain itu dari segi konstitusi, dalam hal ini UU Bencana Nasional dinilai lebih tepat untuk mengeluarkan Kepres tersebut terkait bencana nasional non-alam. Karena, materi UU tersebut tepat dan sesuai dengan kondisi saat ini terkait dengan penanganan Covid-19.

 

“Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terkait dengan UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana termuat dalam konsideran UU ini, mengingat kondisi georgrafis, hidrologis geologis dan demografis berpotensi menimbulkan bebagai macam bencana sehingga UU Nomor 24 tahun 2007 ini disusun sebagai upaya penanggulangan bencana yang terencana, terkoordinasi dan terpadu. Sementara UU nomor 6 tahun 2018 tentang ke karantinaan, secara spesifik dinyatakan dalam konsiderannya, merupakan upaya untuk mengatasi kedarutatan kesehatan yang meresahkan dunia sebagaimana diamanatkan dalam regulasi Internasional,” kata Paulus.

 

Sebagai warna negeri tentu mengalami dampak yang cukup besar karena Pandemi Covid-19. Penetapan status bencana nasional untuk wabah ini menjadi dasar hukum yang kuat untuk menentukan penetapan status force majeure. Hal ini bisa dijadikan dasar bagi kontrak beberapa aspek yang belum menjalankan kewajibannya.

 

Paulus mengatakan, bahwa adanya Kepres tersebut maka ada hal-hal yang mengalami pengecualian atau perubahan dimana hal ini berhubungan dengan kontrak-kontrak atau perjanjian yang ada di dalam masyarakat, dalam keadaan force majure seperti ini kontrak mengalami penyesuaian dalam hal pemenuhan prestasinya. Selain itu, masyarakat harus mengikuti regulasi pemerintah demi kepentingan umum.

 

“Implikasi penting dalam pemberlakuan Kepres tersebut adalah bahwasanya dalam status bencana nasional, masyarakat harus mengikuti regulasi pemerintah demi kepentingan umum, selain itu terdapat penyesuaian yang signifikan terhadap perjanjian-perjanjian privat yang berlaku yakni mengenai klausula force majeur yang dapat saja merubah sebagian atau seluruh dari klausul,” kata Paulus.

 

Di sisi lain, ia juga mengatakan, dari segi ekonomi tentu pandemic ini akan sangat berpengaruh terutama dari perlambatan barang. “Implikasi lain bagi perekonomian Indonesia adalah barang-barang tentu mengalami perlambatan, mengacu dalam hal ini sebagai contoh dalam kontrak adanya hak-hak dalam pihak yang tidak terpenuhi karena keadaan force majeur ini, akibatnya sedikit atau banyak cepat atau lambat akan berpengaruh dalam kegiatan perekonomian di masyarakat,” ungkapnya.

 

Ia berharap agar kebijakan pemerintah harus terus diiringi dengan tindakan tegas dan terukur dalam penanganan pandemic Covid-19. Peraturan perundang-undangan harus memiliki daya laku dan daya guna. Di sisi lain, diperlukan juga pengawasan dan pertanggungjawaban yang akuntabel terhadap pemerintah selama masa bencana nasional ini.

 

“Kebijakan pemerintah harus dibarengi tindakan tegas yang terukur supaya keadaan bencana nasional non alam ini dapat segera bisa diatasi. Dimana semestinya setiap produk hukum (peraturan perundangundangan) harus memiliki daya laku dan daya guna. Daya guna sendiri adalah dapat terlaksananya atau diterimanya suatu peraturan itu didalam masyarakat. Di sisi lain harus ada pengawasan dan pertanggungjawaban yang akuntabel terhadap pemerintah selama masa bencana nasional ini,” jelas Paulus. (CTF)