ASK
ME

REGISTER
NOW

Asesmen Program Pendidikan SMAN 2 Merlung, Jambi

3/24/2012 12:00:00 AM

Sebagai salah satu tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang kurang beruntung, khususnya dalam bidang pendidikan, Yayasan Bhakti Tanoto atau Tanoto Foundation bersama mitra kerjanya meluncurkan Program Pelita Pendidikan. Program ini direncanakan untuk diimplementsikan di lebih dari 200 sekolah baik di tingkat dasar maupun menengah, baik sekolah negeri maupun sekolah yang merupakan inisiatif masyarakat setempat yang terletak di daerah terpencil di Jambi, Riau dan daerah lain di Sumatra. Salah satu komponen dari Program Pelita Pendidikan adalah Pelita Sekolah Unggulan. Dengan program Pelita Sekolah Unggulan diharapkan bahwa sekolah dapat dijadikan model karena mempunyai karakteristik lokal dan berkualitas baik, serta memperoleh dukungan kemitraan dari pihak swasta, masyarakat setempat dan pemerintah. Dan yang juga sangat penting, adalah sangat memungkinkan untuk dikembangkan dari segi biaya. Penelitian ini dilakukan di SMAN 2 Merlung yang terletak di Kecamatan Merlung Kabupaten Tanjung Jabo Barat, Propinsi Jambi. SMAN2 Merlung merupakan sekolah yang dipilih untuk dijadikan model Pelita Sekolah Unggulan oleh Yayasan Bhakti Tanoto. Ada beberapa alasan sehubungan dengan pemilihan tersebut, yaitu: 1) SMAN2 Merlung sudah memasukkan Perkebunan Kelapa Sawit sebagai mata pelajaran muatan lokal di dalam kurikulum mereka, 2) inisiatif memasukkan Perkebunan Kelapa Sawit dalam mata pelajaran muatan lokal datang dari mantan kepala sekolah SMAN 2 yang untuk selanjutnya didukung oleh para guru dan masyarakat setempat, dan 3) pengembangan silabus dan materi ajar, serta ketersediaan pengajar mata pelajaran Perkebunan Kelapa Sawit dilakukan oleh staf PT Inti Indosawit Subur. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memetakan kondisi pendidikan di SMAN 2 Merlung pada umumnya, dan khususnya efektifitas pelaksanaan kurikulum muatan lokal tentang Budi Daya Kelapa Sawit - termasuk di dalamnya memetakan kekuatan dan kelemahan, serta mengidentifikasi berbagai sumber daya internal maupun eksternal yang mendukung keberhasilan pelaksanaan kurikulum muatan lokal di SMAN 2 Merlung. Penelitian ini juga bertujuan untuk memetakan kehidupan masyarakat desa yang tinggal di sekitar SMAN2 Merlung, termasuk di dalamnya karakteristik kehidupan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, kebutuhan dan pandangan masyarakat akan pendidikan serta sumber daya yang dimiliki desa-desa di sekitar SMAN 2 Merlung. Pelajaran berharga yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk mengembangkan dan mereplikasi program Pelita Sekolah Unggulan yang relevan, kontekstual dan berkelanjutan dengan memanfaatkan kemitraan publik dan privat.Sebelum terjun ke lapangan untuk melaksanakan peneltiian, tim peneliti melakukan scooping untuk bersilaturahmi dengan berbagai pihak terkait serta memperoleh gambaran awal dari situasi dan keadaan lapangan yang sesungguhnya. Scooping juga dipergunakan untuk memastikan bahwa pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yang tertuang dalam kuesioner sesuai dengan karakteristik sosial masyarakat setempat yang akan diteliti. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, tim peneliti menggunakan kuesioner untuk panduan dalam wawancara terstruktur dengan guru dan orang tua. Selain itu tim peneliti juga menggunakan daftar pertanyaan untuk dijadikan panduan dalam focus group discussion dengan siswa yang bersekolah di SMAN2 Merlung dan ikut pelajaran Budi Daya Kelapa Sawit dari staf PT Inti Indosawit Subur, dan wawancara mendalam dengan kepala sekolah, pimpinan dan staf PT Inti Indosawit Subur, dan para tokoh masyarakat setempat. Untuk survei desa, penelitian ini dilaksanakan di lima desa transmigrasi yaitu Desa Tanjung Benanak (SP 3), Desa Bukit Harapan (SP4), Desa Pinang Gading (SP5), Desa Adi Purwa (SP6), Desa Intan Jaya (SP7), dan tiga perumahan karyawan (basecamp) (BC 1, BC2 dan BC3) PT Inti Indosawit Subur (IIS). Kedelapan wilayah pemukiman ini menjadi area penelitian karena ke delapan desa tersebut bersinggungan dengan perkebunan kelapa sawit milik PT Inti Indosawit Subur. Responden dari penelitian ini adalah orang tua dari siswa yang bersekolah dan yang tidak bersekolah di SMAN 2 Merlung yang tinggal di kedelapan desa tersebut. Responden dari penelitian adalah transmigran dan karyawan PT Inti Indosawit Subur yang menempati pemukiman yang disediakan perusahaan. Mereka tinggal di rumah, baik milik sendiri maupun yang disediakan perusahaan. Mereka yang merupakan transmigran, kebanyakan masih menempati tanah jatah sebagai transmigran seluas 5000m2. Namun ada juga yang merupakan pendatang dan menempati tanah jatah eks transmigran atau pendatang yang tidak memiliki tanah sehingga harus menempati tanah milik desa yang dapat digunakan bersama (tanah restan). Di atas tanah-tanah ini, penduduk membangun rumahnya masing-masing. Luas tanah yang ditempati bervariasi, namun pada umumnya berukuran 120m2 atau lebih kecil. Dari materi yang digunakan untuk tembok, lantai, dan atap, kualitas rumah yang dihuni cukup beragam. Namun demikian, yang paling umum dijumpai adalah rumah beratap seng, berdinding tembok, dan lantai terbuat dari semen. Di samping itu juga banyak dijumpai rumah beratapkan seng, berdinding kayu, dan lantai terbuat dari semen. Sambungan listrik PLN belum ada di Merlung, sehingga warga mengandalkan listrik dari genset desa (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel/PLTD). Sebagian warga yang cukup mampu memiliki cadangan genset pribadi untuk digunakan bila genset desa rusak. Untuk konsumsi air, kebanyakan warga mengandalkan sumur yang merupakan penampungan dari air hujan dan disalurkan melalui pompa air ke dalam rumah. Letak geografis yang berakibat pada buruknya transportasi dan belum adanya sarana listrik merupakan keluhan utama warga yang dirasakan sangat membebani secara ekonomis. Kehidupan ekonomi masyarakat cukup bervariasi. Ada warga yang bekerja sebagai guru, PNS, membuka usaha; namun yang terbanyak bekerja di bidang perkebunan, baik sebagai pemilik atau pengolah kebun. Pemandangan di seputar Merlung didominasi oleh perkebunan sawit atau karet. Sangat jarang terlihat lahan sawah atau perkebunan sayur-sayuran di wilayah Merlung. Minimnya lahan yang digunakan untuk konsumsi, menyebabkan ketergantungan warga terhadap pasokan bahan pokok dari wilayah lain, terutama kota Jambi. Dengan jarak yang cukup jauh dari Jambi ke Merlung, maka masyarakat harus membayar kebutuhan pokok sehari-hari cukup mahal.Dari hasil penelitian ini biaya yang dibutuhkan untuk kebutuhan sehari-hari berkisar dari Rp.500.000 sampai dengan Rp. 2 juta per bulan. Namun demikian ada pula yang mengeluarkan dana lebih dari Rp. 3 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa pos pengeluaran yang tinggi adalah biaya listrik, karena harga yang ditetapkan adalah harga listrik swadaya yang diusahakan individu atau pengurus koperasi setempat, yang lebih tinggi dari harga PLN. Harga biaya meter dan biaya baku untuk listrik bebeda-beda di setiap desa. Kisaran pengeluaran warga untuk listrik antara Rp. 150.000 - Rp. 450.000 per bulan untuk listrik yang hanya menyala dari pukul 17.30 hingga 23.00. Aspirasi orang tua terhadap pendidikan cukup tinggi, paling tidak anak di sekolahkan sampai SMA. Di Kecamatan Merlung ada dua SMA negeri dan satu SMK negeri. Pada umumnya orang tua menyekolahkan anak-anak mereka di Merlung, dan hanya mereka yang mampu mengirim anaknya bersekolah di Kota Jambi atau ke pulau Jawa. Separuh dari orang tua mengharapkan anaknya bekerja sebagai guru dan pekerja di bidang kesehatan (dokter atau bidan) dan hanya sedikit yang mengharapkan anaknya bekerja di bidang perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka tinggal di area perkebunan kelapa sawit tidak banyak dari mereka yang mengharapkan anaknya bekerja di bidang perkebunan atau meneruskan usaha orang tuanya di bidang perkebunan kelapa sawit. Beberapa hal penting yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini adalah:

  1. Para orangtua yang kebanyakan adalah lulusan SD atau SMP berharap agar anak-anaknya mencapai jenjang pendidikan setinggi mungkin. Untuk mereka, bila kemampuan ekonomi memadai, menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi adalah sebuah keharusan. Sementara bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung, aspirasi terhadap pendidikan juga tinggi, namun bukan untuk alasan prestige. Bagi mereka, tingkat pendidikan anak yang lebih tinggi adalah batu loncatan bagi usaha mendapatkan pekerjaan yang layak dan gaji yang lebih baik. Harapan yang tinggi agar anaknya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin dan bermutu membuat orangtua berusaha mengatasi berbagai macam hal yang menjadi kendala dalam pendidikan. Sarana transportasi antar desa yang buruk (terutama sesudah hujan) atau listrik yang terbatas tidak menjadi penghalang bagi orangtua untuk menyekolahkan anak di sekolah yang dianggap bermutu. Perasaan was-was orangtua yang mendapati anak harus melalui jalan buruk ke sekolah dapat diimbangi oleh perasaan bangga karena anak-anak mereka mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari orangtuanya.
  2. Salah satu program pendidikan yang khas SMAN 2 Merlung, adalah muatan lokalnya yang mengajarkan materi perkebunan sawit. Materi yang dikembangkan bersama antara PT IIS dengan pihak SMAN 2 ini didasarkan atas potensi alam yang mewarnai wilayah Kecamatan Merlung. Perkebunan kelapa sawit di wilayah Kecamatan Merlung tersebar di hampir seluruh wilayah. Kelapa sawit juga merupakan jantung hidup masyarakat Merlung, di mana sebagian besar masyarakatnya hidup dari perkebunan kelapa sawit, baik sebagai pemilik lahan atau pekerja di lahan. Kesesuaian antara potensi alam Merlung dengan materi mulok yang diajarkan membuat program mulok ini berkembang dengan cukup baik. Materi yang didapat siswa di pelajaran mulok ini relatif mudah untuk dipahami karena umumnya para siswa dapat mengaitkan materi itu secara langsung dengan pengetahuan dasar yang mereka dapatkan dari lingkungan mereka sejak kecil. Kendala pengajaran mulok seperti kurangnya lahan atau peralatan untuk praktik yang dimiliki sekolah dapat diatasi karena masyarakat setempat memiliki lahan atau peralatan yang dapat digunakan untuk praktik. Kehadiran materi muatan lokal perkebunan kelapa sawit dinilai bermanfaat terutama oleh orangtua yang bekerja atau memiliki kebun sawit. Hal ini karena materi mulok digunakan sebagai media komunikasi dan penyelesaian masalah di kebun sawit. Orangtua yang menghadapi masalah di kebun sawit menitipkan pertanyaan pada anak-anak mereka dan disampaikan pada pengajar yang adalah asisten plasma di PT IIS. Demikian pula anak-anak secara aktif menanyakan dan menjadi pengawas mutu pemeliharaan kebun sawit dengan menyampaikan kepada orangtua apa yang disampaikan para pengajar mulok.
  3. Potensi untuk membentuk sinergi yang menghasilkan simbiosis mutualisme antar pihak ini secara cermat dilihat oleh mantan Kepala SMAN 2 Merlung, Bapak Agus. Beliau secara cermat melihat potensi alam dan masyarakat. Atas inisiatif dan komunikasi Bapak Agus inilah program muatan lokal kelapa sawit dapat terwujud. Usaha beliau juga yang membentuk kesadaran masyarakat, sehingga masyarakat mendukung program mulok ini. Bapak Agus bukan hanya sekedar menjadi penghubung antar pihak terkait, namun juga memberikan bantuan yang diperlukan oleh pihak pengajar mulok. Para pengajar mulok, yang tidak memiliki latar belakang pendidik, dibantu dalam penyusunan materi perkebunan kelapa sawit sesuai dengan standar pendidikan. Hasil dari usaha ini adalah tersedianya sebuah modul pengelolaan kelapa sawit yang komprehensif. Selain itu, materi mulok ini juga secara resmi telah masuk dalam kurikulum sekolah.
  4. Namun demikian, untuk memastikan sustainability pelajaran mulok tersebut, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan khusus, yaitu ketergantungan pada guru mulok yang berasal dari perusahaan (PT IIS). Tambahan lagi, pengetahuan para guru tetap untuk materi perkebunan tentu di bawah pengetahuan para asisten PT IIS yang umumnya adalah Sarjana Perkebunan. Selisih pengetahuan itu bisa menjadi kendala karena guru mulok di sekolah perlu mendapat kepercayaan dari para orangtua siswa yang mayoritas bekerja di bidang perkebunan juga. Jika guru pengajar mulok tidak punya jam terbang yang cukup dalam mengelola kebun kelapa sawit, ada kemungkinan siswa dan orangtuanya kurang menghargai materi yang disampaikan melalui pelajaran mulok lagi. Jika para guru dari PT IIS ini tidak lagi dapat mengajar di SMAN 2 Merlung, sulit untuk meminta guru tetap sekolah tersebut menggantikannya. Hal yang juga penting adalah Perlu ada siswa yang berasal dari keluarga pemilik kebun dengan alat pertanian lengkap. Mengingat pelajaran mulok ini mengandalkan praktek (25% praktek bagi kelas 1, dan 50% praktek bagi kelas 2), dan sekolah belum memiliki lahan serta alat yang memadai bagi praktek seluruh siswanya, maka sangat perlu membina hubungan baik dengan orangtua siswa yang dapat meminjamkan lahan dan alat. Siswa pun perlu didorong untuk bekerja dalam kelompok supaya siswa yang tidak memiliki modal dapat turut memanfaatkan lahan dan alat dari temannya.
  5. Keberadaan tokoh terpercaya dari sekolah yang dapat merangkul keluarga siswa maupun warga setempat untuk selalu mendukung program-program sekolah menjadi sangat penting. Di SMAN 2 kebutuhan tokoh yang merangkul masyarakat ini diperlukan saat awal hendak menjalankan program baru. Namun karena sekarang program mulok sudah berjalan rutin, tokoh tersebut (yang seyogyanya adalah kepala sekolah) masih menjadi kebutuhan penting, tapi tidak lagi kebutuhan utama. Yang dibutuhkan sekarang adalah memelihara hubungan baik dan kepercayaan masyarakat pada sekolah. Terkait dengan pelaksanaan program mulok perkebunan kelapa sawit di SMAN 2 Merlung, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjaga kualitas program:
      1. Perkebunan Kelapa Sawit sebagai mata pelajaran muatan lokal di SMAN2 Merlung merupakan satu contoh konkrit mengenai mata pelajaran yang mempunyai karakteristik lokal atau konteks lokal. Hal ini ditunjukkan bahwa Perkebunan Kelapa Sawit merupakan ciri khas dari masyarakat setempat dan sumber daya ada di masyarakat, sehingga implementasinya menjadi lebih mudah, konkrit dan ada dalam kehidupann masyarakat setempat.
      2. Kerjasama antara PT IIS, SMAN 2, dan masyarakat Merlung dapat dijadikan contoh bagaimana mengembangkan program muatan lokal yang relevan dengan kehidupan masyarakat setempat. Untuk itu pengakuan oleh Dinas Pendidikan setempat dapat diberikan pada semua pihak terkait.
      3. Untuk keberlangsungan program di SMAN 2, perlu dipertimbangkan kembali apakah program tersebut dapat diberikan oleh sekedar guru setempat (dan bukan oleh pihak PT IIS). Perlu dipertimbangkan bahwa salah satu kekuatan program mulok yang sudah berlangsung adalah tenaga pengajar yang merupakan ahli dan bekerja di perkebunan sawit. Bila di masa yang akan datang program dilaksanakan oleh guru setempat yang bukan ahli di bidangnya, maka tentu menghilangkan salah satu nilai tambah program.
      4. Untuk melakukan replikasi program serupa di wilayah lain perlu dipertimbangkan 5 hal: potensi alam wilayah tersebut; kondisi siswa dan keluarga; kondisi sekolah; kesiapan PT untuk menyediakan tenaga profesional yang dapat diterima masyarakat; dan ada/tidaknya tokoh masyarakat yang mampu memberi dukungan untuk program. Salah satu yang sangat mencolok dalam program mulok di SMAN 2 Merlung adalah penilaian yang cukup positif oleh masyarakat terhadap program ini. Masyarakat melihat manfaat hadirnya program tersebut dan memberikan dukungan. Karena itu perlu dipikirkan bukan sekedar pelaksanaan program, namun bagaimana masyarakat di wilayah lain melihat kebermanfaatan program ini untuk mereka yang pada akhirnya terwujud dalam bentuk dukungan terhadap program tersebut.