ASK
ME

REGISTER
NOW

Kajian Sosial Program Tiga Desa PTFI

10/20/2015 12:00:00 AM

Tim Peneliti:

Lamtiur H. Tampubolon

Florencia Yuniferti Sare

S. Agus Widodo

Inka oktora

Apolonaris h. Sani

Christian Bagus

A. Bobby Pr.

Tito Panggabean

A. Cahyo Nugroho

 

Orang Amungme adalah etnis yang menempati Distrik Tembagapura. Wilayah mereka terbentang di antara pegunungan tinggi Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah seperti Bela, Alama, Aroanop, dan Waa. Selain orang Amungme, ada etnis-etnis lain juga yang menempati Pegunungan tersebut, yaitu Damal, Dani, dan Moni. Orang Amungme diketahui sebagai pemilik hak ulayat di kecamatan Tembagapura. Damal, Dani, dan Moni adalah etnis yang menempati wilayah Kembeli, kurang lebih 5 km jaraknya dari ibu kota kecamatan, yaitu kota Tembagapura. Mereka juga tersebar di antara Jembatan Utekini (Lama) dan daerah CampDavid (mile 71). Etnis Damal, Dani, Moni dan juga beberapa kelompok etnis lainnya menempati daerah Waa, yang berbatasan dengan wilayah Kembeli. Daerah ini ditempati oleh orang Amungme. Etnis Damal, Dani dan Moni boleh menempati daerah ini karena mereka mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang Amungme.[1]

Orang Amungme mulai membuka kontak dengan PT Freeport Indonesia sejak tahun 1967[2]. Sejak itu orang amungme berinteraksi dengan orang luar berasal dari Jawa, Manado, Toraja, Batak, Kei, Ambon, yang biasa disebut oyame[3]. Oyame ini berada di Distrik Tembagapura  karena mereka bekerja sebagai karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI) atau karyawan perusahaan kontraktor yang disewa oleh PTFI sebagai guru, tenaga medis, petugas keamanan, PNS (Pegawai Negeri Sipil), pendulang emas, pemilik kios, dan lain sebagainya.

Mata pencaharian orang Amungme umumnya bercocok tanam, yang hasilnya biasanya digunakan untuk kebutuhan mereka sendiri. Jenis tanaman yang mereka tanam adalah aneka jenis umbi, buah-buahan, sayur mayur dan lain-lain.[4]Setiap keluarga inti (nuclear/core family) mempunyai kebun sendiri, yang letaknya bisa dekat atau jauh dari rumah kediamanan mereka. Letak kebun di kampung-kampung di daerah Waa, Tsinga, dan Aroanop, biasanya cukup jauh dari area pemukiman penduduk karena kondisi tanah berbukit.

Pada tahun 2000, PTFI melakukan pembangunan infrastruktur bagi masyarakat Amungme yang tinggal di wilayah adat Waa, Aroanop, dan Tsinga sebagai kompensasi dari bencana tanah longsor yang terjadi di Banti akibat jebolnya Danau Wanagon pada tahun 1999. Program yang dikenal dengan nama Program Tiga Desa[5] (P3D)[6] ini merupakan program pembangunan sarana prasarana di bidang perumahan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sarana umum, yang mempunyai tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di ketiga desa tersebut. Dalam  Program Tiga Desa tersebut tercantum jumlah unit rumah yang dibangun, instalasi air minum, pembangunan rumah dinas, gereja, kandang babi, pasar, honai, jalan, jembatan, dan sebagainya. Menurut rencana, program tersebut dicanangkan untuk 10 tahun, sampai dengan 2010.

Namun hingga penelitian ini selesai di akhir tahun 2013, pembangunan infrastruktur dari Program Tiga Desa masih ada yang belum selesai. Bagi masyarakat Amungme, Program Tiga Desa dianggap belum berhasil, namun, tidak juga dikatakan secara tegas program ini gagal. Kenyataannya, masyarakat Amungme kerap melakukan protes/demo sehubungan dengan Program Tiga Desa ini. Untuk mengetahui berhasil/tidaknya program ini, PTFI meminta Unika Atma Jaya untuk melakukan kajian sosial mengenai Program Tiga Desa di Highlands dan melakukan studi dampak sosial yang mempengaruhi etnis Amungme di Highlands.



[1] Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di Bab 3.

[2] Penjelasan mengenai kontak orang amungme dengan orang luar lebih lanjut ada di Bab 3.

[3] Oyame, berasal dari bahasa amungkal, yang artinya O adalah air, Ya seberang dan Me orang (manusia seberang air).

[4] Penjelasan lebih lanjut mengenai kebun dapat dilihat pada Bab2 dan Bab 3.

[5] Menurut  Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Desa, disebutkan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan. Istilah ”desa” di dalam Program Tiga Desa ini tidak mengacu pada istilah desa seperti yang termaktub di dalam PP No. 57 Tahun 2005 tersebut.

[6] Lihat penjelasan mengenai Program Tiga Desa ini di bab 4.