ASK
ME

REGISTER
NOW

Jeratan Hutang dalam Perdagangan Manusia

2/28/2007 12:00:00 AM


Penulis/Peneliti : George Martin Sirait, Yustina Rostiawati, Irwanto, Asmin Fransiska, Nia Sujani Yunasri

Studi Kasus di Dua Bentuk Trafiking pada Perempuan dan Anak

Tahun : 2007

Salah satu pola yang kerap digunakan untuk memperdagangkan orang (trafiking) adalah melalui jeratan hutang. Dari 16 kasus yang dipelajari, jeratan hutang umumnya berawal dari pembayaran di depan (advance) oleh pihak tertentu atas seluruh atau sebagian biaya rekrutmen serta pemberangkatan buruh ke tempat tujuan kerjanya. Selain itu, jeratan hutang juga bisa terjadi karena hutang (anggota) keluarga kepada pihak tertentu. Untuk mencicil atau melunasi hutang tersebut, salah satu anggota keluarga terpaksa dipekerjakan kepada pemberi hutang. Jika dilihat dari para pihak yang terlibat dalam relasi kerja tradisional, yakni antara majikan-buruh tapi juga antara buruh dengan pihak ketiga, entah itu sponsor/calo/PJTKI atau pihak perbankan.

Sementara jika dicermati komponen hutang yang dibebankan, ada sedikit variasi antara buruh migram dan korban eksploitasi seksual. Untuk buruh migran, komponen hutang paling dominan pada biaya-biaya yang terkait langsung dengan keberangkatan ke tempat tujuan kerja. Sementara untuk mereka yang dieksploitasi secara seksual, komponen hutang mencakup baik biaya-biaya selama perekrutan maupun biaya hidup selama bekerja, antara lain konsumsi, kosmetik, keamanan dan ganti rugi kepada pemilik/pengelola pub jika tamu tidak membayar biaya booking-an. Selain itu, pemberian-pemberian langsung kepada pihak keluarga korban - walau tanpa sepengetahuan dan sepersetujuannya- kerap juga dimasukkan sebagai hutang.

Komponen hutang ini kerap diklaim secara sepihak sebagai hasil "perjanjian". Dari kasus-kasus yang didalami hanya sebagian kecil pekerja yang memiliki perjanjian hutan-piutang tertulis. Sebagian besar dari mereka "terikat" dalam perjanjian lisan. Dalam perjanjian secara lisan ini, unsur-unsur dari sahnya suatu perjanjian seringkali dilanggar oleh calo/agen/atau majikan. Dalam 16 kasus yang diteliti, perjanjian kerja yang dilakukan antara pekerja dengan calo/agen/majikan semuanya tidak memenuhi unsur-unsur dari sahnya suatu perjanjian. Hal ini berimplikasi kepada kebebasan untuk berkontrak. Dari 16 kasus hanya 6 kasus yang memenuhi unsur kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak menjadi salah satu tolak ukur dalam melihat apakah posisi pekerja sama dengan posisi calo/agen atau majikan. Jikalau posisi tawar ini tidak ada maka kecenderungannya akan menyebabkan buruh tidak mempunyai yang semestinya atau bahkan diperlakukan secara subordinasi.

Sekalipun pada awalnya ada kebebasan berkontrak, 16 kasus yang diteliti menggambarkan terpenuhinya unsur-unsur sahnya suatu perjanjian. Sehingga dapat dilihat bahwa, dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat sahnya suatu perjanjian membuat potensi kasus jeratan hutang sangat tinggi dan dapat menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan hak asasi pekerja yaitu adanya kekerasan, terbatasnya kebebasan bergerak dan kondisi kerja yang tidak layak bagi buruh.

Akan tetapi, sekalipun terdapat pemenuhan unsur-unsur dari perjanjian, tidaklah otomatis seorang pekerja memperoleh hak-haknya sebagai pekerja, manakala pekerja mengalami kasus jeratan hutang yang berimplikasi kepada pelanggaran hak asasinya, yang salah satunya terungkap dalam kondisi kerja.

Di antara pelbagai elemen kondisi kerja, upah merupakan faktor yang paling menjelaskan keterkaitannya dengan jeratan hutang. Pada kasus buruh migran, karena yang bersangkutan dianggap masih "berhutang" entah kepada majikan atau calo, kerja mereka tidak dihargai alias tidak dibayar. Hal yang mirip terjadi pada mereka yang dieksploitasi secara seksual. Upah bulanan yang merupakan akumulasi premi dari setiap botol minuman yang berhasil terjual sesungguhnya tidak mencerminkan nilai pekerjaan yang mereka lakukan. Ada indikasi perendahan nilai kerja (undervalue) buruh yang bersangkutan sementara nilai hutang dilebih-lebihkan. Selain upah, tindakan-tindakan eksploitasi dan kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjelaskan kondisi kerja yang buruk tersebut.

Selain itu, pembatasan pada kebebasan bergerak 9freedom of movement) juga merupakan efek dari jeratan hutang. Pembatasan kebebasan bergerak ini muncul dalam beberapa bentuk, antara lain: penahanan fisik (penyekapan, tidak boleh keluar/pindaj kerja dalam waktu tertentu, tidak boleh pulang), penahanan dokumen pribadi (berupa paspor untuk buruh migran), dan ancaman-ancaman yang membuat korban ketakutan (antara lain ancaman untuk mengambil kembali aset keluarga yang pernah diberikan).

Sialnya, walaupun dalam praktik banyak pihak yang menerapkan jeratan hutang, namun tidak ada satupun ketentuan dalam perundang-undangan Indonesia yang mendefinisikan jeratan hutang, sebagaimana yang didefinisikan oleh Konvensi PBB mengenai Perbudakan. Tidak ada pula peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara jelas melarang jeratan hutang.

Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan, yakni antara lain mengintegrasikan praktik jeratan hutang sebagai salah satu bentuk tindakan kriminal dalam (rancangan) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO); mentransformasi hukum yang lebih melindungi korban jeratan hutang; menghidupkan lembaga-lembaga (Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Negeri) yang dapat menjadi remedi bagi korban jeratan hutang; meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang berhubungan dengan penyelesaian kasus jeratan hutang. Selain itu perlu juga diupayakan untuk memeperbanyak pilihan sumber-sumber pembiayaan yang tanpa bunga atay setidaknya dengan suku bunga terendah dan wajar; serta monitoring terhadap agen penyalur tenaga kerja yang didindikasikan seringkali terlibat dalam praktik jeratan hutang.

Di tingkat aksi perlunya kampanye sistematis mulai tingkat nasional hingga lokal (desa)yang menyatakan bahwa praktik jeratan hutang yang bertujuan eksploitatif merupakan tindakan kriminal; advokasi perburuhan yang berdimensi penyadaran, penanganan maupun remedi; serta pelatihan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) agar lebih peka terhadap praktik-praktik jeratan hutang yang kerapkali terjadi dengan modus operandi yang sangat halus namun eksploitatif. Dalam jangka panjang, program-program pemberdayaan masyarakat dan pihal-pihak terkait berkenaan dengan isu trafiking dan jeratan hutang perlu juga diluncurkan.

ISBN: 979-979-8827-51-8