ASK
ME

REGISTER
NOW

AIDS dan Pendidikan Kedokteran

1/22/2007 12:00:00 AM
Oleh: Irwanto

Studi 1: pengetahuan dan sikap mahasiswa kedokteran terhadap epidemi HIV/AIDS

Studi 2: Perspektif beberapa profesional mengenai pendidikan kedokteran di Indonesia dalam menghadapi tantangan infeksi HIV/AIDS.

Tahun 1995

Pada penelitian sebelumnya (Suci, 1993) mengindikasikan bahwa mhasiswa kedokteran memperlihatkan pengetahuan mengenai epidemic HIV/AIDS yang rendah. Hal ini juga menyatakan bahwa mahasiswa memperoleh informasi mengenai HIV/AIDS kebanyakan dari media massa.

Studi yang pertama di disain untuk menguji hipotesis yang sama terhadap 356 mahasiswa kedokteran semester enam dan delapan. Sampel diambil secara acak dari universitas-universitas yang ada di Jakarta. Sebuah alat yang digunakan untuk mengukur pengetahuan dan sikap mereka terhadap epidemic dilakukan melalui survey. Sebagai tambahan sebuah FGD yang meliputi 27 mahasiswa yang mewakili masing-masing universitas dilakukan. Survey ini menemukan bahwa mahasiswa mempunyai pengetahuan akan definisi konsep (97.13%), etiology (84.24%), definition of risk (78.77%) dan tindakan preventif (73.05%) terhadap HIV/AIDS. Bagaimanapun juga, mereka tetapa menunjukkan pengetahuan yang rendah terhadap gejala klinis (clinical symptomatology) (51.41%), dan fakta demografis (43.30%). Dengan one-way ANOVA dan tehnik multiple regression, pengetahuan mahasiswa akan HIV/AIDS berkorelasi dengan sikap mereka (r = .33, p < = .001). Hanya ada satu variabel latar belakang sebagai contoh, pendidikan ayah yang secara positif berkorelasi dengan pengetahuan mahasiswa akan HIV/AIDS (Beta = .13, p<.05).

Selama dilakukan FGD, beberapa issue teridentifikasi. Para mahasiswa mengakui bahwa mereka takut akan HIV/AIDS tersebut dan mereka kurang akan pengetahuan untuk mencegah dan mengatasi infeksi HIV/AIDS. Beberapa mahasiswa bahkan mendesak untuk perlunya untuk mengisolasi individu yang terinfeksi. Ada persetujuan yang meliputi bahwa mereka perlu untuk belajar mengenai infeksi HIV/AIDS. Hal ini merupakan tanggungjawab professional sebagai seorang calon dokter untuk memperoleh penjelasan secara menyeluruh tentang infeksi, pencegahan dan treatment terhadap HIV/AIDS. Bagaimanapun juga mereka tidak diberikan pelatihan yang sesuai mengenai HIV/AIDS di kampus mereka. Mereka merasa bahwa pemerintah harusnya membantu untuk menyediakan pelatihan khususnya dalam gejala-gejala klinis (clinical symptomatology) dan treatment. Walau pun ada dukungan yang kuat untuk menyesuaikan kurikulum, perencanaan kurikulum tidak mempunyai konsep yang jelas untuk melakukannya. Kebanyakan dari para mahasiswa, khususnya yang berasal dari sekolah private mengatakan bahwa mereka terlalu banyak menghabiskan waktu untuk materi yang tidak yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dan materi untuk ujian pemerintah. Para pemberi materi kadang juga mengeluh bahwa mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk memberikan semua materi ajaran.

Studi kedua ditujukan untuk mengetahui pemikiran dan ide-ide dari profesi yang berbeda tentang pelatihan HIV/AIDS bagi dokter. Para panelis dipilih berdasarkan pengalaman pertama mereka dalam berhadapan dengan individu yang terinfeksi. Delapan dokter, lima psikolog dan seorang pekerja sosial akhirnya dipilih. Pengalaman pertama mereka dengan individu yang terinfeksi adalah pada period 1983 – 1993 di Indonesia dan di luar negeri. Mereka ditanya mengenai bagaimana perasaan mereka ketika kontak dengan individu yang terinfeksi HIV/AIDS untuk pertama kali, alasan mereka untuk menjangkau ODHA, serta persiapan professional yang mereka lakukan untuk memberikan treatment dan konseling bagi ODHA. Jawaban mereka digunakan untuk memformulasi pertanyaan untuk FGD fase kedua. Dua Dokter, dua psikolog, dan satu pekerja sosial turut berpartisipasi dalam fase ini. Berdasarkan pada hasil, wawancara mendalam dilakukan dengan beberapa figur kunci dalam profesi medis.

Para partisipan setuju bahwa kurikulum kedokteran harus disesuaikan kembali untuk menghadapi epidemic HIV/AIDS. Hal ini harus dilakukan dengan melihat kurikulum kedokteran dari luar negeri, melengkapi mahasiswa dengan konseling yang efektif dan tehnik komunikasi untuk mengetahui pengetahuan akan seks dan seksualitas, mengurangi materi pendidikan kedokteran yang irrelevant, memperbaiki tujuan dan objektif dari pendidikan kedokteran, dan lebih memberikan penekanan pada pendekatan problem-based. Para partisipan juga mengetahui bahwa mahasiswa juga butuh untuk mendapatkan pengetahuan lebih mengenai individu yang mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit tersebut.