ASK
ME

REGISTER
NOW

Unika Atma Jaya dan IKPI dalam Perpajakan dan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

3/12/2022 12:00:00 AM

 Webinar dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi anggota IKPI, hingga pelaku bisnis dengan jumlah peserta kurang lebih 300 orang untuk setiap webinar.

 

Jakarta, 10 April 2022 – Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya dan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyelenggarakan webinar khusus pada tgl 1 sampai 9 Maret 2022 terkait reformasi perpajakan dalam rangka memperkuat kemandirian dan pembiayaan pembangunan serta keadilan. Kegiatan ini dilaksanakan sebanyak 5 kali webinar dan dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi anggota IKPI, hingga pelaku bisnis dengan jumlah peserta kurang lebih 300 orang untuk setiap webinar.

 

Webinar series kerja sama ini dibentuk antara Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) dengan Akuntansi Unika Atma Jaya yang dimotori oleh Program Studi Magister Akuntansi dan IKPI, khususnya Departemen Pengembangan Profesional Berkelanjutan, Departemen Litbang, dan Focus Group Discussion.

 

 Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, Dr. Irenius Dwinanto Bimo menegaskan masukan dan hasil diskusi dari hasil webinar ini diharapkan juga dapat menjadi masukan yang kontruktif dalam implementasi peraturan dan program perpajakan.

 

"Melalui kerja sama ini, semoga dapat membantu pemerintah dalam mensosialisasikan peraturan dan program pajak yang terbaru kepada masyarakat luas. Masukan dan hasil diskusi dari hasil webinar ini diharapkan juga dapat menjadi masukan yang kontruktif dalam implementasi peraturan dan program perpajakan," ucap Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, Dr. Irenius Dwinanto Bimo dalam sambutannya.

 

Selain itu, Ketua Umum IKPI, Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax., dalam sambutannya menyampaikan bahwa data yang diperoleh Direktorat Jenderal Pajak dari berbagai Institusi, Lembaga, Asosiasi, maupun berbagai pihak lainnya serta dari pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar negara (AEOI), memperlihatkan bahwa masih banyak Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi yang belum patuh membayar Pajak Penghasilan sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang hanya berlangsung dari 1 Januari sampai 30 Juni 2022 mendatang ini seyogianya dimanfaatkan oleh para Wajib Pajak yang belum patuh membayar Pajak Penghasilannya selama ini.

 

 Ketua Umum IKPI, Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax.,  ungkap data yang diperoleh Direktorat Jenderal Pajak dari berbagai Institusi, Lembaga, Asosiasi, maupun berbagai pihak lainnya serta dari pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar negara (AEOI).

 

Webinar hari pertama dihadiri oleh pembicara Toto, S.E., M.H. (Pengurus IKPI) dan dimoderatori oleh Syafrianto, S.S.T., Ak., CA., BKP. (Konsultan Pajak dan Kuasa Hukum serta dosen pajak FEB Unika Atma Jaya) dengan menyampaikan, "Wajib Pajak hanya diminta mengungkapkan harta bersih yang belum dilaporkan saat mengikuti Tax Amnesty serta harta bersih yang diperoleh dalam tahun 2016 sampai 2020 tetapi belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 dengan hanya membayar PPh Final yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif umum PPh yang berlaku saat ini."

 

Menambah hal itu, Toto dan Syafrianto mengungkapkan bahwa selain terhindar dari pengenaan PPh Final yang lebih tinggi dan sanksi yang lebih besar (PPh Final 30% bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan dikenakan sanksi 200%), Wajib Pajak tidak akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kecuali jika belakangan setelah PPS berakhir, diketahui terdapat harta yang belum diungkap.

 

Dilanjutkan pada webinar kedua, topik Insentif Perpajakan dan SP2DK dihadiri oleh pembicara Parlin Sinaga, Ak, CA, MM, BKP (IKPI) dan Andang Wirawan Setiabudi, SE, M.Si., ME (Dosen FEB Unika Atma Jaya) serta dimoderatori Christianus Yudi Prasetyo, SE, M.Ak., (Dosen FEB Unika Atma Jaya) dengan menyampaikan bahwa Insentif Pajak adalah suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menarik investor maupun dalam rangka mencapai tujuan tertentu, terutama dalam masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah perlu memberikan stimulus agar perekonomian nasional tetap bertumbuh.

 

"Diterbitkannya PMK 3 Tahun 2022 tentang pemberian insentif terkait pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa pemerintah masih terus berkomitmen memberikan stimulus pada para pelaku usaha sehingga diharapkan Wajib Pajak dapat memanfaatkan dengan baik dan benar. Terkait SP2DK ini bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh Wajib Pajak, justru ini menjadi sebuah kesempatan bagi Wajib Pajak untuk memberikan klarifikasi apabila terdapat surat himbauan dari DJP; mengingat DJP telah memiliki sumber data yang memumpuni melalui AEOI ataupun ILAP," jelas para pembicara.

 

Selanjutnya, pada webinar ketiga, diangkat topik UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan mendatangkan pembicara Tauperta Siregar, Mak, CA, CPA, BKP selaku Pendiri Kantor Konsultan Pajak Tauperta & Partners, dan dimoderatori oleh Ronald, SE, MH, Ak, CA, CPMA, CPA, BKP, KH-PP selaku Konsultan dan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak serta Dosen FEB Unika Atma Jaya.

 

"UU HPP memiliki makna strategis dalam pengembangan ekonomi berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, terutama pasca pandemi Covid-19. Momentum dalam kembali membangun perekonomian termasuk menata ulang sistem perpajakan sehingga lebih kuat dalam menghadapi berbagai tantangan seperti pandemi dan perkembangan dinamika di masa yang akan datang," jelas Tauperta dalam webinar ini.

 

UU HPP merupakan kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis; sehingga melalui UU HPP ini diharapkan dapat mendukung penerimaan negara dari pajak melalui suatu bentuk pengaturan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum.

 

Pada webinar keempat, didatangkan T. Arsono, SE, Ak, MBA, LLM selaku Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, yang menyampaikan bahwa dalam ketentuan perpajakan, kita mengenal suatu asas yakni "Ultimatum Remedium", yaitu suatu asas di mana pemidanaan atau sanksi pidana merupakan upaya paling terakhir dalam penegakan hukum pajak. Atas dasar tersebut, kita dapat melihat "Schikking" telah banyak diatur dalam peraturan dan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

 

"Pelaksanaan schikking masih perlu dipahami secara baik. Pelaksanaan webinar ini merupakan upaya yang patut diapresiasi dan dilanjutkan secara berkesinambungan. Kerja sama antar IKPI dan Unika Atma Jaya ini sebagai wujud menghadirkan ‘sinar terang’ kepada masyarakat terkait ketentuan perpajakan," tambah Arsono dalam sambutannya.

 

Terakhir, pada webinar kelima, dihadiri oleh Dr. Meinie Susanty, MM., BKP selaku Partner SR Consulting dan MT Consulting dan dimoderatori oleh Caecilia Atmini, SE., MM. selaku Dosen FEB Unika Atma Jaya. Pada webinar ini disampaikan bahwa beberapa perubahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah dikeluarkan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada tgl 29 Oktober 2021. Beberapa perubahan seperti kenaikan tarif PPN menjadi 11% yang mulai berlaku pada tgl 1 April 2022 dan 12% yang mulai berlaku paling lambat tgl 1 Januari 2025 (UU HPP Pasal 7 ayat 11 huruf a dan b) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (UU HPP Pasal 7 ayat 4).

 

"Perluasan basis PPN diharapkan dapat menciptakan APBN yang sehat agar stabilitas ekonomi tetap terpelihara yang pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Stabilitas ekonomi yang terjaga akan mampu mempertahankan sustainable development Indonesia menuju negara maju pada tahun 2045 sebagai negara yang high income," tutup Meinie dan Caecilia pada webinar ini.