Jakarta, 2 Juli 2022 - Perkumpulan Alumni Kedokteran (Pelataran) bersama dengan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya menyelenggarakan webinar dengan tema “Pembuktian dan Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Sistem Peradilan Indonesia” yang diadakan secara online, (1/7).
Diskusi hangat melalui Zoom Meeting ini dihadiri oleh sejumlah narasumber serta moderator yang merupakan alumni dari Fakultas Kedokteran dan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya. Hal tersebut merujuk pada beberapa kasus di Indonesia yang melibatkan beberapa korban kekerasan hingga pelaku kekerasan, tentunya dibutuhkan ahli yang profesional dalam menyelesaikan dan menemukan titik terang dari permasalahan yang terjadi, seperti aparat kepolisian, hakim, hingga ahli forensik untuk menemukan bukti dari kasus-kasus yang sedang ditangani pihak tertentu.
“Dalam perspektif seorang dokter yang berkedudukan sebagai kedokteran forensik dalam rangka membuktikan perkara pidana, dokter tersebut perlu memahami ilmu-ilmu kedokteran kehakiman, maksudnya adalah mereka perlu memahami ilmu kedokteran yang mengkhususkan dalam memberikan bantuan guna kepentingan peradilan, yaitu di dalam perkara-perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, “ terang Alumni Fakultas Hukum Unika Atma Jaya tahun 1995, Melda Lolyta Sihite, S.H., M.Hum.
Alumni Fakultas Hukum Unika Atma Jaya tahun 1995, Melda Lolyta Sihite, S.H., M.Hum. dalam acara “Pembuktian dan Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Sistem Peradilan Indonesia” yang diadakan secara online, (1/7).
Melda menambahkan Ilmu Kedokteran Forensik tentu sangat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana yang terjadi, dan bidang hukum serta kedokteran tidak dapat dipisahkan dalam rangka pembuktian atas kesalahan seseorang. Hal ini karena tidak seluruh ilmu pengetahuan tersebut dikuasai sepenuhnya oleh Hakim. Maka dari itu, kejahatan terhadap tubuh atau jiwa manusia sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi. Dalam Dasar Hukumnya turut tercantum dalam Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terutama pada Pasal 133 s.d. Pasal 135 KUHAP dan Pasal 179 KUHAP.
Tidak hanya itu, dokter forensik sebagai ahli dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan tubuh manusia sebagai barang bukti, Melda mengungkapkan bahwa hukum tidak dapat menyidangkan perkara tersebut hanya dengan pengetahuannya di bidang hukum saja. Oleh karena itu, hakim memerlukan seseorang yang mempunyai pengetahuan di bidang anatomi, dalam hal ini mereka yang termasuk dari tim forensik tersebut.
“Bukti tersebut juga dapat dituangkan dalam bentuk tulisan atau surat yang dinamakan Visum et Repertum yang merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan ditemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Dalam konteks Visum et Repertum, kedudukannya dalam proses peradilan pidana adalah sebagai alat bukti surat, “ jelas Hakim Pengadilan Negeri tersebut.
Hal senada turut diungkapkan oleh Dokter Spesialis Forensik & Medikolegal Rumah Sakit Bhayangkara Bandung sekaligus Alumni Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya tahun 2000, dr. Nurul Aida Fathya, Sp.FM., M.Sc. yang berpendapat bahwa berdasarkan KUHAP Pasal 187(c), surat keterangan tersebut harus berasal dari seorang ahli. Seorang ahli memuat pendapatnya berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
“Laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik ini harus memuat hasil pemeriksaan terhadap benda bukti, baik berupa korban hidup maupun korban mati atau bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuan, di bawah sumpah untuk keperluan peradilan. Jenis Visum et Repertum sendiri terdiri dari perlukaan, psikiatri, kesusilaan, dan korban mati, “ tambah Nurul.
Tidak hanya memberikan bukti berupa surat keterangan, dari pengalaman dokter forensik ketika diminta oleh aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian secara verbal di lokasi pengadilan secara langsung, seorang alumni Fakultas Kedokteran dan Dokter Spesialis Forensik & Medikolegal RSCM-FKUI Jakarta, dr. Yudy, Sp.FM., turut mengatakan setiap dokter ahli forensik diwajibkan untuk melakukan pengambilan sumpah atau janji ahli, sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing yang dilanjutkan dengan persidangan yang sedang berlangsung dengan memperhatikan etika bersaksi.
Alumni Fakultas Kedokteran dan Dokter Spesialis Forensik & Medikolegal RSCM-FKUI Jakarta, dr. Yudy, Sp.FM. dalam acara “Pembuktian dan Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Sistem Peradilan Indonesia” yang diadakan secara online, (1/7).
“Sebagai seorang dokter forensik yang berperan sebagai seorang saksi di bidang medis, seluruhnya diwajibkan untuk berperilaku dan bertutur kata sopan serta menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita juga harus datang sesuai dengan undangan yang diterima dan berpakaian rapi juga sopan layaknya acara formal. Ungkapkan sesuai fakta tanpa terbawa emosi atau bahkan berkata kasar serta bersikap memihak terhadap salah satu pihak. Pentingnya adalah kita harus berbicara secara formal dan selalu berperilaku hormat, “ jelas Sekretaris KSM Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSCM ini.
Tidak hanya itu, dr. Yudy juga berpesan kepada setiap professional agar wajib membantu proses peradilan dengan kemampuan terbaiknya karena setiap kasus memiliki keunikannya masing-masing, sehingga dengan pengalaman mengatasi setiap kasus tersebut dapat dijadikan sebagai guru terbaik yang mengajari setiap hal baru bagi dokter-dokter forensik yang sedang bertugas. Persiapkan juga diri sebaik-baiknya sebelum menjalani persidangan dan tetap hormati setiap proses hukum yang sedang dijalani.