ASK
ME

REGISTER
NOW

Business Talk: Akankah Indonesia Resesi

9/21/2020 12:00:00 AM

Jakarta - Resesi menjadi teror bagi semua pemerintahan berbagai negara. Segala jurus dan ramuan paling manjur dipakai pemangku kebijakan agar negara mereka lolos dari jurang resesi ekonomi. Namun bak mimpi buruk tak terhindar, krisis akibat Covid-19 mengantarkan sejumlah negara masuk kedalam periode perlambatan ekonomi sejak kuartal II 2020 lalu.

 

Ekonom senior Indonesia, Dr. Aviliani menjelaskan bahwa negara-negara maju sudah lebih dulu mengalami resesi sejak Oktober atau November, yang ditandai dengan laporan pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal berturut-turut. Beberapa negara maju yang mengalami perlambatan tercatat memberlakukan kebijakan lockdown untuk mecegah penyebaran Virus SARS COV-2. Yang artinya terjadi pembatasan konsumsi pasar.

 

Bagi Indonesia, Dr. Aviliani melanjutkan, kegiatan konsumsi masyarakat yang terbatas sejak Maret akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB menjadi tanda awal terganggunya komponen struktur pertumbuhan. Sementara sebesar 58% dari PDB Indonesia merupakan kontribusi dari konsumsi rumah tangga.

 

Konsumsi masyarakat yang terganggu cenderung akan mempengaruhi investasi. Kondisi pasar yang tidak pasti membuat orang enggan untuk membelanjakan uangnya. Faktor lain adalah negara-negara memilih untuk tidak membuka pintu perdagangan internasional seperti kegiatan eksport dan import. Komponen yang juga penting pada kondisi ini adalah government spending atau belanja pemerintah.

 

Eknomon Senior dari INDEF menyampaikan kalau krisis kali ini berbeda dari krisis sebelumnya, pelaku UMKM menjadi bisnis yang lebih dulu terkena imbas krisis kesehatan Covid-19. Survey KADIN menyebut hingga 50% UMKM terdampak bahkan gulung tikar. Lalu 30% diantaranya mengalami penurunan penjualan hingga lebih dari 40%, dan sebagian lain mengalami pemutusan kontrak. Beda dengan Korporasi yang umumnya memiliki cadangan yang cukup, sehingga dapat bertahan walau penjualannya mengalami penurunan.

 

Aviliani menjelaskan bahwa ada transmisi dari sektor riil ke sektor perbankan, “Individu pun terkena dampaknya. Kenapa? Karena begitu individu itu tidak bekerja maka pendapatan turun, atau begitu mereka working from home pendapatan mereka juga berkurang karena tidak dapat uang makan, uang lembur dan lain-lain, maka dia kena dampak” jelas alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya ini.

 

Lantas apakah Indonesia akan mengalami resesi? Kepada mahasiswa Program Magister Administrasi Bisnis Unika Atma Jaya, ekonom kelahiran Malang ini menyebutkan bahwa Indonesia mungkin defisit pada triwulan ketiga, yang artinya resesi. Hal itu terlihat darilaporan perekonomian Indonesia yang minus 5,23 persen pada triwulan kedua, juga dana yang dikeluarkan pemerintah, khususnya dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) sampai dengan Agustus itu baru 25 persen. Padahal per September target pembelajaan diharapkan 75 persen.

 

“Tapi defisitnya tidak lagi ke 5,23% mungkin hanya 2%, mungkin 3% karena sudah mulai ada pelonggaran PSBB. Maka sebenarnya konsumsi sudah mulai meningkat, transportasi yang tadinya negatif paling besar juga sudah mulai berjalan. Jadi kalaupun resesi minusnya bisa lebih rendah. Kita relatif lebih baik (dibanding negara lain).” jelasnya dalam diskusi virtual MBA YEAR-END EVENT 2019/2020.

 

Meski begitu, resesi bukanlah sebuah akhir. Aviliana postif kalau kontribusi semua pelaku ekonomi harus ikut ambil andil agar Indonesia bisa bertahan pada triwulan keempat. “Akan positif walau dibawah satu persen.”

 

Aviliani menyebut resesi sebagai awal bagi perorangan atau perusahaan untuk melakukan konsolidasi, dan bagi perusahaan merancang strategi agar bisnis dapat tetap bertahan untuk kedepannya. Kunci untuk dapat menghadapi tantangan baik dari eksternal maupun internal adalah dengan perubahan yang terus menerus, khususnya adaptasi dengan teknologi dewasa ini.

 

“Kepastian itu adalah ketidak pastian. Ini yang harus jadi mindset baru kita semua. Kreativitas dan inovasi wajib dilakukan dalam usaha”

 

Kedepannya Aviliani melihat akan muncul tren baru yang harus jadi perhatian industri yakni tidak lagi melihat supply side melainkan melihat apa yang dibutuhkan (demand side). Ia menyebut kalau perusahaan perlu mengenal perubahan tren generasi milenial yang akan menjadi market utama masa depan, dimana nantinya pembeli tidak akan lagi membeli apa ditawatkan oleh industri tapi cendrung mencari apa yang mereka perlukan.

 

MBA YEAR-END EVENT 2019/2020 diselenggarakan oleh Program Studi (Prodi) Magister Administrasi Bisnis Unika Atma Jaya. Acara ini selain menyambut mahasiswa baru Batch 8 MAB, juga bertujuan melepas wisudawan MAB dan pengumuman Yudisium. Prodi MAB sendiri memiliki visi untuk menghasilkan professional yang mampu menjawab tantangan bisnis global.  Program ini menerapkan rancangan metode pembelajaran yang beragam untuk menghasilkan lulusan yang berjiwa entrepreneurial, memiliki wawasan bisnis global serta kepedulian sosial. (HCR)