Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya mengadakan kuliah umum ““Efektivitas Penanganan Hukum dan Ekonomi Dalam Kasus Mega Korupsi : Studi Kasus Jiwasraya”, Rabu, (26/1). Dihadiri secara langsung oleh Menteri BUMN, Erick Thohir, B.A., M.B.A maupun secara daring oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M.
Jakarta, 26 Januari 2022 – Tidak dapat dipungkiri sebagian masyarakat Indonesia perhatiannya terpusat pada penegakan dan pengungkapan kasus korupsi khususnya kasus mega korupsi. Hal tersebut menyangkut kerugian negara yang besar dan merugikan banyak korban.
Salah satunya tema yang diangkat dalam kuliah umum bersama Menteri BUMN, Erick Thohir, B.A., M.B.A dan Jaksa Agung Republik Indonesia, Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M. dengan mengangkat studi kasus mengenai kasus Jiwasraya.
Proses penanganan kasus mega korupsi khususnya Jiwasraya yang merupakan hal baru menjadi sangat penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat umum. Bagaimana proses penanganan kasus mega korupsi dilakukan dengan tegas baik dari aspek hukum maupun ekonomi menjadi sangat penting untuk di bahas.
Total kerugian diperkirakan mencapai Rp37 Triliun, hal itu dinyatakan oleh Manajemen melalui Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko. Investigasi terhadap kasus Jiwasraya pun dilakukan dengan melibatkan internal Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, hingga Kejaksaan Agung (Kejagung).
Menteri BUMN, Erick Thohir, B.A., M.B.A mengungkapkan penyelesaian kasus PT Jiwasraya menjadi komitmen bagi BUMN. Hal itu menyangkut kepercayaan besar terhadap industri asuransi dan dana pensiun ke depannya.
Jiwasraya itu milik negara jelas ada payung hukumnya, kalau beberapa asuransi lain tidak mutual fund, dan mutual fund ini lebih kompleks karena tidak tahu siapa pemiliknya, Ini menjadi kejadian yang besar di beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan, kasusnya banyak seperti ini, “ ungkapnya.
Artinya negara harus hadir dan negara harus menyelesaikan bagaimana pemegang polis-polis itu dibantu dalam arti konteks tidak sempurna namun tetap harus diselesaikan.
"Tidak mungkin juga kami meminta 100 persen penggantiannya, negara hadir dan bertanggung jawab dimana bisnis daripada asuransi ini adalah bisnis kepercayaan. Kalau bisnis kepercayaan ini tidak dipulihkan lagi, tidak dikembalikan kepercayaannya maka industri asuransi ini akan hancur," jelas Menteri BUMN.
Meski demikian, dalam proses restrukturisasi Jiwasraya masih banyak kekurangan. Lantaran, masih ada nasabah yang tersakiti akibat penipuan para oknum-oknum Jiwasraya. Akan tetapi, terdapat sisi baiknya ada kejelasan hukum bagi nasabah yang merasa tertipu dalam membeli produk Asuransi Jiwasraya.
Erick Thohir mengatakan ia sempat diundang Holding BUMN Asuransi IFG dalam tahap penyelesaian Jiwasraya, Menteri BUMN memohon maaf bahwa apa yang dilakukan ini tidak sempurna. Pasti ada yang tersakiti karena ada penipuan di kasus Jiwasraya.
"Namun yang membedakan kita dengan kasus-kasus korupsi yang lain, bahwa kasus Jiwasraya ini ada solusi bagi yang dirugikan. Bukan pending kasus yang tidak ada penjelasannya, dan ini yang tersakiti berapapun yang dikembalikan itu jelas hitam di atas putihnya," ujar Erick Thohir.
Hal tersebut semakin ditegaskan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M, yang mengungkapkan bahwa kasus mega korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang dilakukan Heru Hidayat selalu Komisaris Utama PT Trada Alam Minera (TRAM) merugikan negara di luar nalar.
Selain negara, kerugikan juga dialami oleh para nasabah. Sanitiar Burhanuddin memberi ketegasan yakni hukuman mati menjadi jawaban tepat untuk mencapai keadilan dan emansipasi publik.
“Bukan perihal ego semata, hukuman penjara bahkan seumur hidup dinilai hanya memberikan efek jera kepada pelaku, namun tidak berlaku untuk masyarakat. Pertimbangannya dari nilai kerugian negara yang timbul di luar nalar. Bayangkan Jiwasraya Rp 16 triliun, Asabri Rp 22 triliun. Uang tidak sedikit dan banyak korban yang merugi timbul dari perbuatan tersebut, “ jelas Sanitiar Burhanuddin.
Ia menegaskan kembali bahawa gagasan hukuman mati bagi koruptor adalah bentuk manifestasi dalam pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Layaknya fenomena gunung es, ribuan perkara sudah diungkap dan dipidanakan, namun kualitas dan tingkat kerugian negara kian meningkat.
Hal ini layak direnungkan dengan pola sanksi pidana yang ternyata hanya menimbulkan efek jera untuk tidak diulangi, namun tidak sampai pada masyarakat. Dengan demikian koruptor silih berganti datang dan bertumbuh dimana-mana. Keputusan tuntutan pidana mati tersebut ditujukan untuk memenuhi keadilan substansi masyarakat.
Polemik ini yang mendorong Unika Atma Jaya dalam menyediakan ruang untuk diskusi sejauh mana proses penanganan kasus mega korupsi dilakukan dengan tegas baik dari aspek hukum maupun ekonomi.
Rektor Unika Atma Jaya, Dr. A. Prasetyantoko menyebut ini menjadi tindakan nyata Unika Atma Jaya dalam menjawab keresahan sebagian masyarakat Indonesia guna mengungkap penanganan kasus korupsi. Unika Atma Jaya menyediakan ruang untuk diskusi sejauh mana proses penanganan kasus mega korupsi dilakukan dengan tegas baik dari aspek hukum maupun ekonomi.
Menteri BUMN, Erick Thohir, B.A., M.B.A bersama Rektor Unika Atma Jaya, Dr.A. Prasetyantoko
“Tentunya hal ini menjadi keprihatinan bersama termasuk kalangan akademisi. Kita turut mendukung dan mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum dalam melakukan tindak pidana bagi pelaku. Selain penegakan hukum yang konkrit dan tegas, negara perlu hadir melakukan terobosan baru untuk menyelamatkan para korban, “ ujar Prasetyantoko.
Selain itu, Analis Hukum Unika Atma Jaya, Dr. Samuel M.P Hutabarat, S.H., M.Hum yang menyebut pentingnya restorative justice yakni pendekatan dari sisi korban perlu dilakukan oleh Jaksa yang harus dengan berani mengungkap kasus ini.
Samuel Hutabarat menyebut tidak semata mengenai kepastian hukum yang terus ditindaklanjuti, namun upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah dengan memiskinkan terpidana, adanya sanksi sosial bagi pelaku.
Analis Ekonomi, Luky A. Yusgiantoro, B.SC.M.SC,PH.D dan Analis Hukum,Dr. Samuel M.P Hutabarat, S.H., M.Hum saat memberikan kuliah umum
“Ditambah lagi dengan upaya penyitaan aset dan dijual. Hasil penjualan dapat digunakan untuk kepentingan publik atau dipergunakan untuk kepentingan korban, “ jelasnya.
Selain itu Analis Ekonomi Unika Atma Jaya, Luky A. Yusgiantoro, B.SC.M.SC,PH.D menyebut diperlukan perlu pencegahan dan penanganan. Ia menjelaskan pentingnya nilai dasar dan perlunya bertransformasi
“Bermula dari adanya kesalahan pengambilan keputusan pada internal organisasi, hingga menimbulkan permasalahan lain yang begitu kompleks. Tentu diperlukan adanya tata kelola perusahaan yang baik agar dapat memberikan nilai tambah kepada pemangku kepentingan baik untuk perusahaan swasta maupun BUMN. Kita perlu paham nilai dasar dan terus siap bertranformasi secara sinergi, “ tutup Luky A. Yusgiantoro.