ASK
ME

REGISTER
NOW

Unika Atma Jaya Gelar Diskusi Perlindungan Data

12/9/2024



Jakarta - Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, bekerja sama dengan para pakar dan pemangku kepentingan, mengadakan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) pada Selasa, 20 Agustus 2024, FGD tersebut membahas Model Privasi dan Human-Computer Interaction (HCI) dalam Teknologi Imersif Berbasis Data Biometrik.

 

FGD ini merupakan langkah penting dalam penelitian berkelanjutan mengenai Perlindungan Data Biometrik dalam penggunaan Extended Reality (XR) di Indonesia, yang dipimpin oleh Dr. jur. Sih Yuliana Wahyuningtyas, S.H., M.Hum. Acara ini dihadiri oleh para ahli, akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai sektor yang terlibat dalam pengembangan teknologi dan perlindungan data pribadi. Diskusi ini menyoroti model privasi dan human-computer interaction (HCI) dalam teknologi imersif berbasis data biometrik di berbagai sektor, serta tantangan privasi dan etika yang menyertainya.

 

Dalam paparannya mengenai hasil penelitian, Dr. Wahyuningtyas dan Tim Peneliti mengemukakan bahwa selain selain mampu mengidentifikasi physiological dan behavioural measurements, dalam perkembangannya, teknologi termasuk teknologi imersif, telah menggunakan pula emotion recognition interface. Selain membawa banyak manfaat, terdapat sejumlah risiko yang diidentifikasi dari penggunaan teknologi imersif berbasis data biometrik. Hal ini termasuk semakin menonjolnya ketimpangan posisi, dengan individu yang makin rentan untuk kehilangan kendali atas data biometriknya pada satu sisi, dan pengendali data dengan kemampuan mengendalikan data sedemikian hingga dapat mempengaruhi subyek data untuk memberikan data pribadi termasuk biometriknya, yang dapat berdampak pada pembatasan atas pilihan dan akses, seringnya tanpa disadari.

 

Merespon risiko tersebut, Tim Peneliti mengusulkan untuk diterapkannya model privasi dengan konsep privacy by design  dan penggunaan privacy-enhancing technologies (PETs). PETs dapat bermanfaat untuk memfasilitasi kepatuhan terhadap prinsip-prinsip pelindungan data pribadi, membangun akuntabilitas dan tanggung jawab pengendali data, menjadi instrumen untuk melindungi privasi dengan berkembangnya teknologi dan metode pemrosesan data, memfasilitasi data sharing yang aman, dan menopang keamanan data.

 

Dalam tanggapan dan paparannya, Prof. Sinta Dewi Rosadi menekankan pentingnya perlindungan privasi dalam penggunaan data biometrik, terutama di era digital yang terus berkembang. Meskipun teknologi ini menawarkan berbagai manfaat, ia menekankan perlunya regulasi yang kuat dan mekanisme perlindungan data yang ketat, terutama untuk teknologi yang semakin kompleks.

Dari masyarakat dan industri terkait Alia Yofira Karunian (PurpleCode Collective) membahas dampak teknologi imersif terhadap privasi dan identitas gender.

 

Ia menjelaskan bahwa meskipun teknologi ini dapat menciptakan ruang aman bagi pengguna untuk berekspresi secara anonim, tantangan seperti pelecehan di ruang virtual dan fenomena privacy paradox tetap ada. Lebih lanjut, Martius, Asisten Wakil Presiden Data Protection Awareness & Stakeholder Management PT Telekomunikasi Indonesia, menjelaskan bagaimana Telkom menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memproses data biometrik dalam berbagai layanan. Ia juga menekankan pentingnya kebijakan perlindungan data pribadi dan berbagai pendekatan teknis yang diterapkan oleh Telkom untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Eugenius Kau Suni, seorang pengguna teknologi VR/XR, berbagi pengalaman terkait penggunaan teknologi Virtual Reality (VR) dan Extended Reality (XR). Ia menekankan pentingnya pengelolaan dan perlindungan data biometrik yang efektif untuk mencegah pelanggaran privasi dan penyalahgunaan data.

 

Sejalan dengan pandangan akademisi dan industri terkait, seebagai salah satu pemangku kepentingan, pemerintah dalam hal ini diwakili oleh beberapa pembicara, antara lain Bapak Arif Wahyudi, Kepala Subtim Kerjasama PDP Kementerian Komunikasi dan Informatika, menggarisbawahi urgensi regulasi khusus terkait data biometrik di Indonesia. Meskipun Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan, diperlukan aturan turunan yang lebih spesifik untuk memastikan perlindungan optimal terhadap data ini. Ia juga menekankan pentingnya Data Protection Impact Assessment (DPIA) dan peran krusial Data Protection Officer (DPO) dalam memastikan kepatuhan terhadap kebijakan PDP. Lebih lanjut Dr. Rifan Ardianto, Direktur Perdagangan melalui Jasa Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa, Kementerian Perdagangan RI, menguraikan tantangan dalam adopsi teknologi imersif di Indonesia, seperti biaya tinggi, keterbatasan infrastruktur, dan rendahnya literasi digital masyarakat.


 

Kementerian Perdagangan saat ini tengah mengembangkan regulasi teknis serta program literasi untuk mendukung adopsi teknologi ini, dengan fokus pada pembangunan ekosistem yang aman dan inklusif. Beliau juga memaparkan pentingnya regulatory sandbox sebagai kerangka kerja untuk pengujian kelayakan teknologi dalam suatu lingkungan yang terbatas dalam konteks regulasi. Selain itu, Anto Satriyo Nugroho, Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber BRIN, menekankan pentingnya standar nasional dalam penggunaan data biometrik, seperti SNI ISO/IEC 19794-2 yang mengatur format pertukaran data biometrik. Ia juga menyoroti tantangan dalam sistem berbasis biometrik, termasuk keandalan teknologi pendeteksian keaslian (liveness detection) yang perlu terus dikembangkan guna mencegah penyalahgunaan data.

 

Dalam diskusi, para peserta menekankan pentingnya melibatkan semua kelompok terkait dalam pengembangan teknologi untuk mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti yang terjadi dengan platform Twitter yang menjadi platform disinformasi. Tujuan dari teknologi bisa saja bergeser dari rencana awalnya. Desain dan implementasi teknologi seperti XR harus memperhatikan dampak dunia nyata, agar tidak memperkuat masalah sosial seperti kekerasan atau rasisme di dunia virtual. Rifqi Rahman dari the Safer Internet Lab (SAIL)/the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengemukakan kerangka pikir social construction of technology yang menekankan pada mengenai bagaimana manifestasi kehidupan sosial di dunia nyata yang sudah terbangun ke dalam dunia virtual dengan munculnya teknologi baru.

 

Peserta juga membahas apakah UU PDP dan turunannya cukup untuk mengatasi semua aspek terkait data biometrik, mencatat bahwa GDPR di Uni Eropa memiliki direktif khusus untuk data semacam itu. Di Indonesia, diperlukan regulasi serupa yang lebih detail. Diskusi juga berkembang ke aspek privasi yang lebih luas, termasuk privasi tubuh dan teritorial. Contohnya, kasus Pokémon Go menunjukkan bagaimana teknologi imersif dapat menimbulkan masalah privasi teritorial. Peserta menekankan pentingnya persetujuan yang diinformasikan (informed consent) dan regulasi yang efektif untuk melindungi identitas digital seperti nomor telepon dan email.

 

UU PDP diakui sebagai langkah penting, namun masih terdapat kekosongan, terutama dalam konteks data biometrik yang sering kali digunakan untuk identifikasi. Dalam sektor pariwisata, penggunaan data biometrik harus mematuhi prinsip perlindungan data pribadi. Pertanyaan seputar kategori data biometrik dan perlunya kerangka regulasi yang jelas masih menjadi topik utama dalam diskusi ini.

 

Artikel juga dapat dilihat di https://index.okezone.com/read/2024/09/11/65/3061518/universitas-atma-jaya-gelar-diskusi-perlindungan-data