Jakarta -
Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, bekerja sama dengan para pakar dan
pemangku kepentingan, mengadakan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) pada Selasa,
20 Agustus 2024, FGD tersebut membahas Model Privasi dan Human-Computer
Interaction (HCI) dalam Teknologi Imersif Berbasis Data Biometrik.
FGD ini merupakan
langkah penting dalam penelitian berkelanjutan mengenai Perlindungan Data
Biometrik dalam penggunaan Extended Reality (XR) di Indonesia, yang
dipimpin oleh Dr. jur. Sih Yuliana Wahyuningtyas, S.H., M.Hum. Acara ini
dihadiri oleh para ahli, akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai sektor
yang terlibat dalam pengembangan teknologi dan perlindungan data pribadi.
Diskusi ini menyoroti model privasi dan human-computer interaction (HCI) dalam
teknologi imersif berbasis data biometrik di berbagai sektor, serta tantangan
privasi dan etika yang menyertainya.
Dalam paparannya
mengenai hasil penelitian, Dr. Wahyuningtyas dan Tim Peneliti mengemukakan
bahwa selain selain mampu mengidentifikasi physiological dan behavioural
measurements, dalam perkembangannya, teknologi termasuk teknologi imersif,
telah menggunakan pula emotion recognition interface. Selain membawa
banyak manfaat, terdapat sejumlah risiko yang diidentifikasi dari penggunaan
teknologi imersif berbasis data biometrik. Hal ini termasuk semakin menonjolnya
ketimpangan posisi, dengan individu yang makin rentan untuk kehilangan kendali
atas data biometriknya pada satu sisi, dan pengendali data dengan kemampuan
mengendalikan data sedemikian hingga dapat mempengaruhi subyek data untuk
memberikan data pribadi termasuk biometriknya, yang dapat berdampak pada
pembatasan atas pilihan dan akses, seringnya tanpa disadari.
Merespon risiko
tersebut, Tim Peneliti mengusulkan untuk diterapkannya model privasi dengan
konsep privacy by design dan
penggunaan privacy-enhancing technologies (PETs). PETs dapat bermanfaat
untuk memfasilitasi kepatuhan terhadap prinsip-prinsip pelindungan data
pribadi, membangun akuntabilitas dan tanggung jawab pengendali data, menjadi
instrumen untuk melindungi privasi dengan berkembangnya teknologi dan metode
pemrosesan data, memfasilitasi data sharing yang aman, dan menopang
keamanan data.
Dalam tanggapan
dan paparannya, Prof. Sinta Dewi Rosadi menekankan pentingnya perlindungan
privasi dalam penggunaan data biometrik, terutama di era digital yang terus
berkembang. Meskipun teknologi ini menawarkan berbagai manfaat, ia menekankan
perlunya regulasi yang kuat dan mekanisme perlindungan data yang ketat,
terutama untuk teknologi yang semakin kompleks.
Dari masyarakat
dan industri terkait Alia Yofira Karunian (PurpleCode Collective) membahas
dampak teknologi imersif terhadap privasi dan identitas gender.
Ia menjelaskan
bahwa meskipun teknologi ini dapat menciptakan ruang aman bagi pengguna untuk
berekspresi secara anonim, tantangan seperti pelecehan di ruang virtual dan
fenomena privacy paradox tetap ada. Lebih lanjut, Martius, Asisten Wakil
Presiden Data Protection Awareness & Stakeholder Management PT
Telekomunikasi Indonesia, menjelaskan bagaimana Telkom menggunakan kecerdasan
buatan (AI) untuk memproses data biometrik dalam berbagai layanan. Ia juga
menekankan pentingnya kebijakan perlindungan data pribadi dan berbagai
pendekatan teknis yang diterapkan oleh Telkom untuk memastikan kepatuhan
terhadap regulasi yang berlaku. Eugenius Kau Suni, seorang pengguna teknologi
VR/XR, berbagi pengalaman terkait penggunaan teknologi Virtual Reality (VR) dan
Extended Reality (XR). Ia menekankan pentingnya pengelolaan dan perlindungan
data biometrik yang efektif untuk mencegah pelanggaran privasi dan
penyalahgunaan data.
Sejalan dengan
pandangan akademisi dan industri terkait, seebagai salah satu pemangku
kepentingan, pemerintah dalam hal ini diwakili oleh beberapa pembicara, antara
lain Bapak Arif Wahyudi, Kepala Subtim Kerjasama PDP Kementerian Komunikasi dan
Informatika, menggarisbawahi urgensi regulasi khusus terkait data biometrik di
Indonesia. Meskipun Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah
disahkan, diperlukan aturan turunan yang lebih spesifik untuk memastikan
perlindungan optimal terhadap data ini. Ia juga menekankan pentingnya Data
Protection Impact Assessment (DPIA) dan peran krusial Data Protection
Officer (DPO) dalam memastikan kepatuhan terhadap kebijakan PDP. Lebih
lanjut Dr. Rifan Ardianto, Direktur Perdagangan melalui Jasa Sistem Elektronik
dan Perdagangan Jasa, Kementerian Perdagangan RI, menguraikan tantangan dalam
adopsi teknologi imersif di Indonesia, seperti biaya tinggi, keterbatasan
infrastruktur, dan rendahnya literasi digital masyarakat.
Kementerian
Perdagangan saat ini tengah mengembangkan regulasi teknis serta program
literasi untuk mendukung adopsi teknologi ini, dengan fokus pada pembangunan
ekosistem yang aman dan inklusif. Beliau juga memaparkan pentingnya regulatory
sandbox sebagai kerangka kerja untuk pengujian kelayakan teknologi dalam
suatu lingkungan yang terbatas dalam konteks regulasi. Selain itu, Anto
Satriyo Nugroho, Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber
BRIN, menekankan pentingnya standar nasional dalam penggunaan data biometrik,
seperti SNI ISO/IEC 19794-2 yang mengatur format pertukaran data biometrik. Ia
juga menyoroti tantangan dalam sistem berbasis biometrik, termasuk keandalan
teknologi pendeteksian keaslian (liveness detection) yang perlu terus dikembangkan
guna mencegah penyalahgunaan data.
Dalam diskusi,
para peserta menekankan pentingnya melibatkan semua kelompok terkait dalam
pengembangan teknologi untuk mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan,
seperti yang terjadi dengan platform Twitter yang menjadi platform
disinformasi. Tujuan dari teknologi bisa saja bergeser dari rencana awalnya.
Desain dan implementasi teknologi seperti XR harus memperhatikan dampak dunia
nyata, agar tidak memperkuat masalah sosial seperti kekerasan atau rasisme di
dunia virtual. Rifqi Rahman dari the Safer Internet Lab (SAIL)/the
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengemukakan kerangka
pikir social construction of technology yang menekankan pada mengenai
bagaimana manifestasi kehidupan sosial di dunia nyata yang sudah terbangun ke
dalam dunia virtual dengan munculnya teknologi baru.
Peserta juga
membahas apakah UU PDP dan turunannya cukup untuk mengatasi semua aspek terkait
data biometrik, mencatat bahwa GDPR di Uni Eropa memiliki direktif khusus untuk
data semacam itu. Di Indonesia, diperlukan regulasi serupa yang lebih detail. Diskusi
juga berkembang ke aspek privasi yang lebih luas, termasuk privasi tubuh dan
teritorial. Contohnya, kasus Pokémon Go menunjukkan bagaimana teknologi imersif
dapat menimbulkan masalah privasi teritorial. Peserta menekankan pentingnya
persetujuan yang diinformasikan (informed consent) dan regulasi yang
efektif untuk melindungi identitas digital seperti nomor telepon dan email.
UU PDP diakui
sebagai langkah penting, namun masih terdapat kekosongan, terutama dalam
konteks data biometrik yang sering kali digunakan untuk identifikasi. Dalam
sektor pariwisata, penggunaan data biometrik harus mematuhi prinsip
perlindungan data pribadi. Pertanyaan seputar kategori data biometrik dan
perlunya kerangka regulasi yang jelas masih menjadi topik utama dalam diskusi
ini.
Artikel juga dapat dilihat di https://index.okezone.com/read/2024/09/11/65/3061518/universitas-atma-jaya-gelar-diskusi-perlindungan-data