ASK
ME

REGISTER
NOW

Artikel Karya Sdr. Okki Sutanto (Alumnus Magister Psikologi Angkatan 2014, Penulis dan Pemerhati Isu Sosial)


?FENOMENA

Tersihir Pesona "Tajir Melintir"

Modus yang dipakai para crazy rich atau kalangan tajir melintir, bukanlah hal baru. Donald Trump pun pernah melakukannya. Mereka bukan yang pertama, apalagi terakhir, kita harus mewaspadai modus-modus seperti itu.


DIDIE SW

 

Akhir-akhir ini masyarakat seakan tak henti disuguhkan pemberitaan seputar crazy rich atau mereka yang dianggap tajir melintir. Mereka digadang-gadang oleh media sebagai sosok inspiratif karena memiliki kekayaan fantastis di usia muda. Hidup di dunia yang penuh gemerlap. Mulai dari pakaian bermerk, mobil mahal, rumah mewah, donasi melimpah, hingga jet pribadi seakan menjadi barang wajib yang perlu dipertontonkan ke masyarakat.

 

Sebagian orang tentu bertanya-tanya, termasuk Prof Rhenald Khasali dalam video Youtube-nya, apa alasan sejumlah orang ini begitu mudah mengumbar harta? Di saat orang-orang super kaya yang sebenarnya cenderung memilih untuk hidup jauh dari ingar bingar media, menjaga privasi, dan tidak mencari validasi sosial berlebih. Tulisan ini mencoba menjelaskan fenomena ini dari tiga perspektif: psikologis, akses istimewa, dan ajang advertorial untuk rekrutmen.

 

Motif psikologis

Alasan pertama, mungkin bisa sedikit dijelaskan oleh teori hierarki kebutuhan yang disampaikan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow, manusia pada dasarnya memiliki piramida kebutuhan yang senantiasa ingin dipenuhi. Di tingkat paling bawah adalah kebutuhan mendasar, meliputi sandang, pangan, dan papan. Soal kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Jika kebutuhan mendasar ini sudah terpenuhi, orang akan mulai berupaya memenuhi kebutuhan berikutnya: psikologis. Memiliki relasi hangat dengan orang lain, pengakuan dari sekitar, juga status dan ketenaran.

 

Jika semua itu sudah terpenuhi, umumnya orang akan fokus ke pemenuhan kebutuhan yang berada di tingkat terakhir: aktualisasi diri. Tidak lagi fokus ke luar, tetapi fokus ke dalam. Menggali dan memenuhi potensi diri. Penerimaan dan kemawasan diri. Juga soal moralitas dan kebijaksanaan.

 

Sayangnya, tidak semua orang akan melewati perjalanan yang sama dan bisa mencapai tingkatan terakhir ini. Ada yang senantiasa terjebak di tingkat kedua: kebutuhan psikologis. Dan, hidupnya melulu hanya seputar itu: mencari validasi sosial, ketenaran, dan selalu ingin diakui dan dielu-elukan media dan masyarakat. Ini yang bisa jadi sedang terjadi pada sejumlah crazy rich tadi.

 

Secara instan memiliki kekayaan luar biasa, bisa jadi mereka ingin melakukan "balas dendam" atau kompensasi, melakukan beragam hal yang dulu tidak bisa mereka lakukan.

 

Dan ini sebenarnya wajar, mengingat usia mereka yang masih begitu muda. Status mereka seakan disulap, dari yang sebelumnya cuma orang biasa, kini menjadi pesohor. Secara instan memiliki kekayaan luar biasa, bisa jadi mereka ingin melakukan "balas dendam" atau kompensasi, melakukan beragam hal yang dulu tidak bisa mereka lakukan. Membeli hal-hal yang dulu tidak terjangkau. Memamerkan barang yang dulu hanya bisa mereka impikan.

Akses istimewa

Selain motif psikologis, motif yang kedua sedikit lebih kompleks. Mereka mempertontonkan kekayaan, untuk mendapatkan akses istimewa atau privilege. Akses istimewa ini bisa dalam hal sosial, finansial, ketenaran, pun lainnya. Para crazy rich Indonesia bukanlah yang pertama atau satu-satunya.

 

Donald Trump pernah ketahuan melakukan telepon palsu ke Forbes pada tahun 1984. Ia melakukannya untuk bisa masuk ke dalam daftar Forbes 400, daftar orang terkaya di Amerika Serikat. Ia menggunakan nama samaran "John Barron", mengaku sebagai petinggi Trump Organization, untuk meyakinkan jurnalis Forbes akan fakta-fakta palsu tentang Trump. Aset dan kekayaannya dilambungkan, jauh melebihi fakta yang sebenarnya.

 

Jonathan Greenberg, jurnalis muda Forbes yang pada tahun 1984 dikecoh oleh Trump tersebut, menuliskan pengalaman dan bukti rekamannya di The Washington Post pada 2018. Ia menuliskan bahwa taktik yang digunakan Trump untuk terlihat sangat kaya, jauh melebihi realita sebenarnya, memberikan Trump banyak privilege penting di kemudian hari. Mulai dari atensi media, status, ketenaran, akses ke kalangan super kaya, kesepakatan-kesepakatan bisnis penting, pinjaman finansial dari perbankan, hingga akhirnya membuka jalan bagi Trump untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.

 

Apa yang dilakukan Trump masih terus terjadi hingga kini. Di Netflix, dua tayangan populer yakni The Tinder Swindler dan Inventing Anna menceritakan lebih detail tentang modus serupa. Yang pertama adalah film dokumenter tentang Simon Leviev, penipu ulung di aplikasi kencan yang menampilkan persona sebagai sosok super kaya dan pewaris bisnis berlian ternama. Yang kedua adalah serial yang diangkat dari kisah nyata tentang Anna Sorokin, wanita muda yang mengelabui dan menipu banyak orang kaya dengan berpura-pura menjadi pewaris kerajaan di Jerman. Mirip seperti Trump, mereka melakukan ini untuk mendapat akses ke lingkaran dalam orang-orang kaya, mendapat sorotan media, dikenal publik, hingga meraih keuntungan finansial. Mendapatkan berbagai privilege, dengan berpura-pura kaya.

                                                         NICOLE RIVELLI/NETFLIX

Julia Garner sebagai Anna Delvery dalam episode ke-104 film Inventing Anna.

 

Ajang advetorial

Motif terakhir, yang tidak kalah berbahaya, adalah ajang advertorial yang tujuannya rekrutmen. Mencari korban. Motif ini sudah terbukti dilakukan oleh dua afiliator binary option yang ditahan polisi: IK dan DS. Mereka mempertontonkan kekayaan mereka agar dianggap sebagai sosok berhasil, yang memiliki kunci sukses menuju kekayaan luar biasa. Dan masyarakat, yang mudah terpukau dengan hal-hal materialistik, akhirnya terbuai sosok demikian. Masyarakat pun terpengaruh untuk mencoba dan membeli produk atau layanan yang dipromosikan oleh crazy rich tadi, tanpa berpikir panjang.

 

Dalam ranah psikologi, dikenal konsep halo effects, sebuah bias kognitif saat impresi positif akan seseorang di satu aspek, turut memunculkan impresi positif di berbagai aspek lainnya. Misalnya, seorang murid yang pintar bahasa Inggris, dianggap sang guru juga pintar dalam pelajaran-pelajaran lainnya. Padahal, belum tentu demikian. Begitupun ketika kita melihat orang kaya, tak jarang muncul impresi bahwa orang tersebut juga baik hati, dermawan, jujur, pekerja keras, dan lain sebagainya. Maka apapun yang ia lakukan, kita mudah percaya.

 

Waspada

Uraian di atas berupaya menjelaskan sejumlah motif mengapa sebagian orang ingin dianggap super kaya dan berhasil. Kini dua orang yang sebelumnya digadang-gadang oleh media sebagai crazy rich sudah menjadi tersangka dan ditahan oleh kepolisian. Sudah selayaknya kita mewaspadai modus-modus serupa ke depan. Percayalah mereka bukan yang pertama, apalagi yang terakhir.

Tidak ada salahnya kita mengingat lirik dari lagu lawas Nicky Astria: dunia ini panggung sandiwara. Maka, mari kita belajar menjadi penonton yang cerdas. Jangan mudah percaya apa yang ditampilkan orang lain. Jangan-jangan, mereka sedang bersandiwara belaka.

 

Editor:

Yovita Arika

 

Artikel ini telah terbit di Artikel Opini Kompas, tanggal 26 Maret 2022: www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/24/tersihir-pesona-tajir-melintir