ASK
ME

REGISTER
NOW

BRICS dan Fragmentasi Global




Ketegangan geopolitik dan potensi pergeseran episentrum global harus dimanfaatkan demi kepentingan domestik. Semoga ketegangan politik internal sepanjang Pemilu 2024 tak mengalihkan fokus kita pada kesejahteraan rakyat.

Jakarta, 29 Agustus 2023 – Beware what you wish! Pernyataan ini relevan untuk Jim O’Neill yang pada 2001 memopulerkan istilah BRIC—Brasil, Rusia, India, dan China. Kala itu O’Neill yang bekerja di firma investasi besar Goldman Sachs melontarkan gagasan mengenai potensi negara berkembang yang perlu diperhitungkan dalam peta investasi global.

Gagasan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh menteri luar negeri keempat negara dalam pertemuan informal di sela-sela pertemuan G8 di St Petersburg, Rusia, Juli 2006. Dengan cepat, mereka menyepakati terbentuknya kelompok BRIC dan pertemuan resmi perdana digelar para menteri luar negeri di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September 2006. Pertemuan puncak pertama digelar Juni 2009 di Yekaterinburg, Rusia. Pada 2010, mereka sepakat menambahkan Afrika Selatan sebagai anggota baru.

O’Neill mengaku tak pernah membayangkan istilah yang dilontarkannya menjadi gerakan politik yang diperhitungkan. Meski begitu, O’Neill tak menampik bahwa gagasan BRIC berbasis pada hipotesis, konstelasi (investasi) global akan berubah, di mana kelompok negara berkembang semakin penting peranannya.

Sebenarnya saat itu Indonesia disebut sebagai kandidat negara yang bisa masuk dalam kategori BRIC, menjadi BRIIC dengan menambahkan Indonesia setelah India.

Gagasan BRIC berbasis pada hipotesis, konstelasi (investasi) global akan berubah, dimana kelompok negara berkembang semakin penting peranannya.

Dalam pertemuan puncak ke-15 di Afrika Selatan pada 22-24 Agustus 2023, BRICS mengumumkan penambahan enam negara baru, yaitu Argentina, Mesir, Etiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Presiden Joko Widodo yang hadir dalam pertemuan menyatakan Indonesia berteman dengan mereka, tetapi belum akan bergabung sebagai anggota. Langkah tersebut tepat mengingat kelompok ini masih bersifat cair dan masa depannya belum jelas.

Pergeseran episentrum
Potensi ekonomi kelima negara BRICS memungkinkan mereka menjadi kelompok berpengaruh di masa depan. Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan menguasai sekitar 30 persen wilayah dunia, 42 persen penduduk, 23 persen perekonomian, dan 18 persen perdagangan global.

Dalam perkembangan terkini, dengan fragmentasi ekonomi di tengah meningkatnya tegangan geopolitik, peranan BRICS telah melewati kelompok G7 yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Italia, dan Kanada.

Pada saat BRIC dilontarkan O’Neill pada 2001, kelompok negara maju G7 masih menguasai 45 persen perekonomian global dan kelompok keempat negara itu baru berkontribusi sekitar 20 persen. Namun, pada 2022, BRICS menguasai 31,5 persen perekonomian global, sementara G7 hanya 30 persen. Dengan penambahan anggota baru, pada 2030 diperkirakan kelompok negara Selatan ini akan menguasai lebih dari 50 persen perekonomian dunia.

Pada 2022, BRICS menguasai 31,5 persen perekonomian global, sementara G7 hanya 30 persen.

Proyeksi itu sejalan dengan kalkulasi Dana Moneter Internasional dalam World Economic Outlook (April 2023) yang menunjukkan Asia berkontribusi 70 persen terhadap pertumbuhan global tahun ini. China berkontribusi 34,9 persen, India 15,4 persen, dan Indonesia 4,4 persen.

Pada 2009, firma investasi CLSA melontarkan gagasan Chindonesia atau China, India, dan Indonesia sebagai calon raksasa ekonomi global. Gagasan ini tidak berkembang karena tidak ada kepentingan politik yang menggerakkannya. Berbeda dengan BRIC yang kemudian menyolidkan sentimen politik sehingga memainkan peran penting.

Peran negara maju dalam perekonomian global semakin mundur, sementara negara berkembang kian penting. Fenomena ini telah terjadi sejak krisis finansial global 2007-2009 yang diperparah krisis akibat pandemi Covid-19.

Produktivitas ekonomi
Persoalan umum di negara maju, pertumbuhan relatif rendah, tetapi beban hidup saat ini (inflasi) dan masa depan (tingkat utang) melonjak tinggi. Telah terjadi kemerosotan dalam produktivitas ekonomi. Hal ini dalam jangka panjang akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Konsekuensinya, masyarakat di negara maju perlahan akan menjadi semakin miskin. Sebaliknya, masyarakat di negara berkembang perlahan akan menjadi semakin kaya.

Studi Bank Dunia tentang produktivitas menunjukkan kelompok negara maju mengalami kemerosotan produktivitas lebih tajam ketimbang kelompok negara berkembang akibat faktor demografi. Negara berkembang memiliki potensi lebih baik karena produktivitas tenaga kerjanya masih berpotensi ditingkatkan, sementara di negara maju sudah mentok karena penduduknya menua.

Masyarakat di negara maju perlahan akan menjadi semakin miskin. Sebaliknya, masyarakat di negara berkembang perlahan akan menjadi semakin kaya.

Meski kelompok negara berkembang mempunyai potensi bertumbuh di masa depan, tak serta-merta BRICS akan menggantikan G7 atau kelompok negara maju (OECD) yang beranggotakan 34 negara. Motif perluasan anggota BRICS menjadi 11 negara dan akan terus ditingkatkan berorientasi menjadi seperti OECD atau bahkan ”PBB versi Selatan”.

Di tengah fragmentasi geopolitik yang tajam seperti ini, kerja sama multilateral memiliki dimensi politik lebih besar ketimbang pertimbangan ekonomi. Dalam konteks BRICS, semangat mereka yang utama adalah memberi alternatif bagi dominasi negara maju. Namun, di antara mereka sendiri sebenarnya tersimpan potensi konflik cukup besar, seperti antara China dan India.

Apalagi, sejarah tak bergerak seperti garis lurus. Merosotnya peran Amerika Serikat tak serta-merta menempatkan China sebagai pengganti. Perekonomian China berpotensi mengalami perlambatan struktural, seperti yang dialami Jepang pada akhir 1980-an.

Ada indikator serupa, seperti mangkraknya siklus kredit dalam skala besar di sektor properti. Kebangkrutan raksasa properti China, Evergrande, terjadi bersamaan dengan kecenderungan penurunan harga (deflasi) sebagai indikator dini perlambatan struktural. Banyak pengamat bahkan memperkirakan China akan mengalami jebakan deflasi seperti Jepang (Japanese deflationary-trap).

Sejarah tak bergerak seperti garis lurus. Merosotnya peran Amerika Serikat tak serta-merta menempatkan China sebagai pengganti.

Kehadiran Presiden Joko Widodo di pertemuan puncak BRICS di Afrika Selatan tanpa menjadi anggota sudah tepat. Pertama, masa depan BRICS dengan penambahan anggota baru belum jelas. Merujuk pada pengalaman G20, efektivitas tidak ditentukan dari besarnya potensi ekonomi, tetapi dari besarnya realisasi kesepakatan yang bertumpu pada asas kemanfaatan yang saling menguntungkan di antara anggota. Jika tidak ada manfaat langsung, keanggotaan di kelompok besar tidak akan efektif.

Kedua, Indonesia tengah memerankan keketuaan ASEAN, di mana peluangnya lebih jelas. Fokus pada ASEAN akan lebih produktif ketimbang sibuk di organisasi besar yang belum jelas arahnya di masa depan. Ketiga, dalam posisi sebagai Ketua ASEAN, Indonesia bisa berperan sebagai ”penyeimbang” dari fragmentasi politik antara negara maju dan berkembang atau kelompok Utara dan Selatan.

Esensinya, ketegangan geopolitik dan potensi pergeseran episentrum global harus dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan domestik. Semoga ketegangan politik internal sepanjang Pemilu 2024 tidak akan mengalihkan fokus kita untuk tetap berperan dalam konstelasi global guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih makmur di masa depan.


Analisis Ekonomi oleh Dr. Agustinus Prasetyantoko, Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Artikel ini diterbitkan oleh Kompas.id