JAKARTA – Toleransi yang rendah dan meningkatnya sikap
intoleran berdampak pada bahaya radikalisme dan kekerasan ekstremisme sehingga
berujung pada konflik destruktif yang memecah belah bangsa serta menyebabkan
tidak terpenuhinya hak-hak kelompok-kelompok keyakinan/agama untuk dapat
beribadah dan mempraktikkan nilai-nilai yang mereka yakini. Beberapa contoh
intoleransi yang terjadi adalah adanya pelarangan, penutupan, intimidasi dan
ancaman, dan diskriminasi berdasarkan agama/keyakinan.
Melihat besarnya
isu tersebut, Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya bersama dengan
Frans Seda Foundation (FSF) berkolaborasi menyelenggarakan Acara Bedah Buku
“Katolik di Tanah Santri”. Acara ini bertujuan untuk mengupas buku yang ditulis
oleh Deni Iskandar, seorang penulis muda yang menyoroti isu lintas agama. Acara
diselenggarakan di Perpustakaan Lt. 3, Kampus Semanggi pada Selasa
(02/07/2024).
Masalah
intoleransi terjadi dan kebanyakan dilakukan oleh kelompok mayoritas kepada
kelompok minoritas di suatu lokasi. Salah satu masalah yang menyebabkan hal ini
terjadi adalah rendahnya empati eksternal umat Islam serta ketidakmampuan untuk
membayangkan diri sebagai kelompok minoritas. Di samping itu, banyak guru atau
tokoh agama juga memiliki pemahaman intoleran. Padahal guru memiliki peran
strategis dalam pembangunan generasi muda untuk menjadi pemimpin bangsa. Tidak
hanya itu, pandangan intoleran dan kekerasan juga timbul karena pemahaman yang
keliru terhadap ajaran agamanya sendiri dan tidak siap menghadapi perbedaan
yang ada.
Dalam konteks itulah, potret kehidupan umat Katolik
di Labuan, Kabupaten Pandeglang, yang diangkat dalam buku “Katolik di Tanah
Santri” berdasarkan riset dari sang penulis, Deni Iskandar, ketika menjadi
mahasiswa di Prodi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi sebuah fakta menarik untuk didiskusikan dan
didiseminasikan kepada publik dalam forum bedah buku Frans Seda Collection
Discussion Series.
“Kehadiran umat Katolik di Labuan sendiri cukup
diterima oleh masyarakat pribumi Labuan. Hal itu ditandai oleh adanya sekolah
Katolik milik Keuskupan Sufragan Bogor yang didirikan pada tahun 1959 oleh
Yayasan Mardiyuana,” papar Deni Iskandar yang sempat “nyantri” di Vatikan
melalui program Nostra Aetate Foundation Disastery Interreligious Dialogue
(NAF-DID) pada 2023.
Konteks yang diangkat dalam buku tersebut
menunjukkan sebuah imaji nyata keberagaman yang hidup di bumi Indonesia dan
secara khusus kehidupan antarumat beragama, khususnya warga Katolik dan Islam,
di daerah yang dijuluki Kota Santri ini, dapat berjalan dengan sangat toleran
dan penuh kedamaian.
Lebih jauh lagi, buku ini juga dapat menunjukkan
bahwa antara umat Katolik dan Islam di Labuan tidak hanya hidup dengan suasana
toleran dan damai tetapi juga memperlihatkan bagaimana umat Katolik yang
notabene jumlahnya paling sedikit di antara pemeluk agama yang ada di Labuan
turut aktif berkontribusi dalam konteks hidup bermasyarakat di Labuan,
khususnya melalui sektor pendidikan.
Untuk memperkaya pembahasan, Frans Seda Foundation
mengundang Prof. Drs. Ismatu Ropi, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Rm. Simon Petrus Lili Tjahjadi, Pr., Ketua
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta sebagai narasumber dan pembedah
buku “Katolik
di Tanah Santri”. Kehadiran kedua tokoh cendekiawan
Islam dan Katolik sebagai pembedah ini memang didesain, agar proses diskusi dan
bedah buku yang dimoderatori oleh Rm. Agustinus Heri Wibowo, Pr., seorang FSF
Fellows TS 2018 yang juga adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar
Agama dan Kepercayaan KWI dan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan
Agung Jakarta dapat ditinjau dari dua sudut pandang, baik sudut pandang Islam
maupun Katolik.
Bagi Unika dan FSF sendiri, diskusi dan bedah buku
“Katolik di Tanah Santri” ini merupakan bagian dari ikhtiar untuk merawat
nilai-nilai, gagasan, dan semangat almarhum Frans Seda.
“Penyelenggaraan bedah buku dwibulanan ini adalah
salah satu bentuk implementasi cita-cita untuk menjadikan Frans Seda Collection
untuk menjadi “A Living Collection”. Frans Seda Collection sejatinya adalah
koleksi alm. Frans Seda yang dihibahkan bagi Unika Atma Jaya dan diresmikan
oleh Kardinal Ignatius Suharyo pada 1 Desember 2021 lalu”, tutur Stefanus
Ginting, Managing Director Frans Seda Foundation.