ASK
ME

REGISTER
NOW

"The Role of Public Relations in Promoting Tourism in Thailand"

09/14/2014 00:00:00

Public Lecture: Professor Parichart Sthapitanonda (Department of Public Relations, Chulalongkorn Univeristy)

 

Selamat Pagi….Sawasdee khaa….adalah ungkapan pertama yang diucapkan Prof Sho, panggilan dari Professor Parichart Sthapitanonda, yang pada Senin pagi tanggal 8 September 2014 menjadi pembicara dalam kuliah umum bertemakan Peranan Public Relations dalam Mempromosikan Bisnis Wisata. Kuliah umum ini diselenggarakan oleh Prodi Komunikasi UNIKA Atma Jaya dalam rangka Lustrum ke-lima, yang jatuh di tanggal 11 Juli 2014. Kelas dibuka untuk tiga peminatan yang ada di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, yaitu Prodi Bisnis, Prodi Komunikasi dan Prodi Hospitality. Topik yang dibawakan memiliki irisan yang relevan dengan ketiga prodi. Prof Sho sendiri merupakan Associate Professor dari Faculty of Communication Arts, University of Chulalonkorn di Bangkok, Thailand.

 

Sebagai pembukaan Prof Sho menanyakan langsung kepada para mahasiswa yang berpartisipasi dalam kuliah umum mengenai kesan mereka terhadap Thailand. Pendapat dari mahasiswa cukup beragam, ada yang menyatakan “Thailand memiliki pemandangan yang indah”, “Terkenal dengan gajahnya”, “Lady-boy” dan “Banyak kuil”. Pernyataan tersebut dilontarkan baik oleh mahasiswa yang pernah mengunjungi Thailand maupun yang belum. Masuk ke topik utama, bahwa persepsi mendahului fakta.  Oleh karena itu, aktivitas public relations (PR) perlu dilakukan bersama-sama dengan persiapan di lapangan. Dan sesungguhnya, orang Asia lebih dahulu menerapkan PR, di mana orang Asia secara umum berusaha melihat “positive side”. Terlihat dari jawaban para mahasiswa yang bernada positif terkait persepsi tentang Thailand.

 

 

Persepsi dalam konteks pariwisata adalah impresi yang diperoleh melalui pengalaman ataupun informasi tersedia. Padahal informasi yang tersedia tersebut belum tentu mencerminkan realita yang utuh dan sesungguhnya. Proses “PR-ing”di Thailand diinisiasi langsung oleh Raja Chulalongkorn (kakek dari Raja Bhumibol yang saat ini bertahta). Raja Chulalongkorn membangun dan membina hubungan dekat dengan berbagai pihak, salah satunya Indonesia. Hubungan tersebut terus-menerus dibina dan dihidupkan. Raja membangun pagoda di Thailand yang bentuknya mirip dengan Borobudur. Permaisuri memboyong tanaman air dari Jawa yang di Thailand disebut “Tanaman dari Jawa”, dikenal di Indonesia sebagai genjer atau water hyachint dalam bahasa Inggris. Tanaman yang ditanam di kolam dekat istana ini hanyut terbawa air saat banjir melanda Bangkok puluhan tahun yang lalu. Saat ini, tanaman tersebut ada di seantero Bangkok, bahkan menutupi sebagian besar perairan di Bangkok. Kemudian sebagai upaya mengatasi populasinya, tanaman ini kemudian dijadikan bahan untuk kerajinan tangan, seperti tas dan barang anyaman lainnya. Kedekatan dari kegiatan yang dibina Raja memubuat Thailand mengenal “Salad Kaek” atau Guest Salad, yang di Indonesia dikenal dengan nama Gado-Gado. Kemudian ada sate, meski di Thailand sate tersebut dalam satu tusuk terdiri dari beberapa jenis daging.  Keterhubungan ini menimbulkan kedekatan. Masyarakat (people), cerita atau kisah (story) dan keyakinan (believe) dapat menjadi strategi PR sepanjang dapat dikelola dengan baik.

 

 

Industri pariwisata adalah tentang keterhubungan. Prosesnya ada pada manusianya, dan dimulai dengan hubungan. Di mana keterhubungan tersebut dibina dengan mengidentifikasi persamaan-persamaan (anything that should we have in common). Dalam membangun kesadaran atau keterhubungan dengan beragam obyek wisata yang ada di Thailand, Kementerian Tranportasi Thailand memasang movieunit di setiap gerbong kereta, yang menayangkan berbagai obyek wisata yang ada di Thailand. Kegiatan PR menggunakan bahasa universal yaitu visualisasi. Visualisasi selalu memiliki makna yang sama untuk semua orang dari seluruh penjuru dunia.

 

Tetapi, tidak berhenti sampai di sana. Komunikasi yang baik perlu diimbangi dengan fasilitas yang baik, nyaman dan aman. Thailand juga memiliki Kantor Propaganda untuk mengkomunikasikan dan menjaga keterhubungan para calon wisatawan dengan berbagai obyek wisata yang ada di Thailand. Kesemua itu dilakukan dengan pedoman “facilities comes first”. Proses PR-ing dilakukan juga dengan mengidentifikasi standar global, bagaimana permintaan maupun investasi di bidang wisata. Proses ini menghasilkan kesimpulan bahwa Thailand harus menjadi penyedia wisata yang “simple, cheaper & safer”. Kemudian membangun infrastruktur pendukung, mendorong industri untuk membangun tempat penginapan, transportasi dan penyedia layanan lainnya. Kemudian PR menggunakan strategi “soft power” yang secara simultan mengidentifikasi, mengelola dan membuat berbagai pengalaman baru dari hal-hal yang sudah dimiliki. Hal ini dimulai dari menawarkan tempat-tempat menarik di Thailand kepada produser film internasional untuk dijadikan tempat pengambilan gambar. Fenomena yang mirip di Indonesia terjadi dengan Pulau Belitung, yang menjadi tujuan wisata terkenal setelah menjadi latar utama dalam film “Laskar Pelangi”.

 

Ketika ada pertanyaan mengenai prostitusi di Pattaya, Prof Sho menjelaskan bahwa sejarah tidak dapat dihapuskan. Di Thailand sendiri ada tiga tempat yang terkenal sebagai tempat prostitusi, disebut dengan 3P, yaitu Pattaya, Phatpho dan Phatbury. Tempat-tempat tersebut berkembang menjadi kawasan prostitusi terkait dengan sejarah Perang Dunia ke-2, di mana area tersebut sangat dekat dengan pangkalan militer asing yang bertugas di Asia Tenggara. Maka, yang perlu dilakukan adalah mengontrol situasi, memastikan apakah kondisinya aman, apakah legal atau illegal. Jika terbukti tidak aman dan illegal, maka petugas keamanan akan menindak baik penyedia jasa maupun orang-orang yang membeli jasa.  Saat ini, Thailand melakukan image spinning ke arah yang lebih baik. Pattaya dekat dengan kawasan bisnis, dan investasi asing cukup banyak di sana, maka Pattaya diarahkan menjadi “business destination” ataupun “ international cities”. Proses ini memang memerlukan waktu yang panjang dan harus digalakkan terus-menerus, untuk kasus Pattaya diperlukan kurang lebih sepuluh tahun. Pattaya sekarang ini menjadi tujuan wisata keluarga para turis dari Eropa Utara, Russia dan sekitarnya, terutama saat mengalami musim dingin.

 

 

 

Pertanyaan peserta berlanjut ke bagaimana cara memilih atau memutuskan apa yang mau dikembangkan, yang perlu divisualisasikan untuk menarik wisatawan. Prof Sho menjelaskan berdasarkan pengalamannya di Kementerian Transportasi, bahwa kita perlu fokus pada hal-hal yang paling kita bisa, kemudian perlu mengambil prioritas, kemudian melakukan perbaikan dari waktu ke waktu.

 

Sedangkan untuk kondisi Thailand saat ini yang sedang mengalami gejolak politik, Prof Sho menyatakan bahwa meski terjadi gejolak politik, baik masyarakat, pemerintah dan sektor swasta memahami dan sangat sadar pentingnya industri wisata Thailand. Oleh sebab itu, kemitraan dengan berbagai pihak di dalam negeri Thailand dilakukan untuk memisahkan isu politik dan keamanan dari kegiatan perekonomian, dalam hal ini wisata. Mereka sepakat untuk memprioritaskan hal-hal utama dan berbicara tentang hal yang sama. Caranya dengan memberitakan sisi positif dari gejolak ekonomi, contohnya seperti para wisatawan tetap dapat berjalan-jalan meski ada demonstrasi. Televisi pemerintah Thailand bahkan mengirimkan jurnalisnya ke berbagai negara, terutama di Asia, untuk memberitakan hal-hal apa saja yang disiarkan di negara-negara tersebut terkait gejolak politik Thailand. Di sini dapat diamati bahwa pemerintah selalu berusaha control the situation.

 

Penutup dalam kuliah umum ini, Prof Sho menyatakan bahwa “PR-ing” adalah tentang psichoanalysis, terkait dengan pemahaman individual tetapi dilakukan dalam skala yang luas. Kemudian yang juga menjadi bekal peserta kuliah umum hari itu adalah pernyataan bahwa “naming is framing”, bahwa penamaan membentuk persepsi dalam benak seseorang. Dan di sinilah kegiatan PR menjadi relevan (8/9/2014, Natalia).