ASK
ME

REGISTER
NOW

PRESIDEN MEMINTA MAAF

07/04/2013 00:00:00

Penulis/peneliti : Alois A. Nugroho

 

Jurnal : Suara Pembaruan

 

Volume :25 Juni 2013

 

Tahun : 2013

 

 

Pemerintah Indonesia menyampaikan permintaan maaf kepada Singapura dan Malaysia akibat bencana asap dari Provinsi Riau yang menyebar ke kedua negara tetangga itu. Permintaaan maaf itu disampaikan oleh Presiden dalam konferensi pers yang diadakan di Istana Presiden, Jakarta, pada Senin 24 Juni 2013 (Suara Pembaruan, 25/6/2013).

 

Stasiun televisi Singapura, Channel News Asia(CNA), pada hari yang sama memberitakan bahwa pemerintah Singapura menyambut baik permintaan maaf pemerintah Indonesia. Lebih dari itu, pemerintah Singapura juga siap,  bila  diminta pemerintah Indonesia untuk membantu mengatasi  bencana asap. CNA  juga memberitakan bahwa pemerintah Malaysia pun bersedia memaafkan Indonesia dan mengharapkan tindak lanjut  efektif dari pihak Indonesia.

 

Padahal, Indonesia adalah pihak yang relatif lebih besar dan kuat. Indonesia mempunyai wilayah yang jauh lebih luas, mempunyai penduduk yang jauh lebih banyak, mempunyai kebudayaan yang jauh lebih beraneka dan mempunyai sumber daya alam yang jauh lebih kaya.  Tidak mengherankan,  bila sementara pihak menganggap permintaan maaf Presiden itu terlalu terburu-buru. Semestinya, diplomasi dan negosiasi yang intensif harus dilakukan lebih dahulu.

 

Perang adalah medan diplomasi dalam bentuk lain, kata Carl von Clausewitz (1780-1831). Diplomasi adalah medan perang dalam bentuk lain, kata Michel Foucault (1926-1984). Maka “raksasa” yang meminta maaf sebelum ada perundingan  dapatlah diibaratkan petinju favorit  yang terburu-buru “melempar handuk”.

 

Tetapi cara berpikir demikian adalah cara berpikir dalam budaya komunikasi politik yang sudah ketinggalan zaman. Dalam pengamatan Nicolaus Mills (“The New Culture of Apology”, 2001), sesudah berakhirnya Perang Dingin pada akhir dasawarsa 1980an, permintaan maaf oleh pihak yang lebih kuat semakin merupakan hal  lumrah. Dulu, peristiwa semacam itu akan dianggap sebagai tanda kelemahan atau kepengecutan.  Kini sebaliknya, permintaan maaf oleh pihak yang kuat justru dianggap sebagai tanda kekesatriaan dan keberanian untuk mengakui kesalahan.

 

Tiga sisi maaf

 

Permintaan maaf ialah tindak komunikasi yang sejatinya memiliki tiga sisi. Tiga sisi itu ialah sisi faktual, sisi moral dan sisi karakter.

 

Dilihat dari sisi faktual, permintaan maaf Presiden itu mengandung pengakuan atas kenyataan bahwa memang benar  telah terjadi kebakaran hutan meluas di wilayah Indonesia, yakni Provinsi Riau. Asap dari bencana kebakaran itu terbawa angin ke Singapura dan Malaysia. Asap itu mengandung partikel-partikel amat halus yang lebarnya hanya selebar rambut dibelah tiga puluh. Namun tebalnya asap membuat konsentrasi partikel itu mencapai titik yang membahayakan kesehatan.  Udara yang tercemar oleh partikel itu dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan iritasi mata, hidung, tenggorokan dan paru-paru.

 

Di Singapura, kegiatan rutin menjadi terhambat. Permintaan obat tetes mata naik drastis.  Masker dicari. Orang-orang lanjut usia dan para penderita asma sangat membutuhkan pertolongan. Pada 26 Juni 2013, Channel News Asia bahkan memberitakan  bahwa di Malaysia ada seorang manula meninggal dunia sebagai akibat “ekspor” asap yang tidak disengaja ini.

 

Dilihat dari sisi moral, permintaan maaf Presiden mengandung pengakuan bahwa merugikan para penduduk negara lain karena dampak langsung kebakaran yang tak tertangani dengan baik di negeri sendiri adalah hal yang buruk. Prinsip etika yang mendasari permintaan maaf ini ialah prinsip “non-maleficence”,  yang berbunyi “do no harm”. Kita wajib untuk tidak mencederai atau menimbulkan kerusakan dan kerugian pada orang lain.

 

Fakta menunjukkan bahwa banyak penduduk di Singapura dan Malaysia sudah mengalami gangguan kesehatan atau setidaknya terhambat dalam melakukan kegiatan rutin mereka, karena asap dari kebakaran luas di wilayah Indonesia. Permintaan maaf Presiden itu semakin perlu dilakukan, karena sebelumnya telah ada pejabat-pejabat tinggi Indonesia yang memberi komentar negatif terhadap reaksi negara tetangga atas kabut asap made in Indonesia itu. Cedera fisik yang diakibatkan oleh asap ternyata masih ditambah dengan “cedera batin” yang disebabkan oleh apa yang oleh Perdana Menteri  Singapura sempat dijuluki sebagai “diplomasi megafon”.

 

Dilihat dari sisi karakter, bangsa yang meminta maaf sebenarnya mempertaruhkan kredibilitasnya. Singapura dan Malaysia menerima permintaan maaf yang diucapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Itu artinya, Singapura dan Malaysia menganggap bahwa permintaan maaf itu tulus, otentik, ke luar dari hati sanubari. Sebab bisa saja, permintaan maaf itu cuma ucapan manis di bibir, alias munafik, sekadar untuk memperbaiki atau meningkatkan  citra.

 

Oleh karena itu, ketulusan permintaan maaf Presiden akan dilihat dari tindak lanjut atau perilaku kita sesudah permintaan maaf itu. Apakah kebakaran di Riau yang terjadi sekarang akan segera dipadamkan? Apakah pada tahun-tahun mendatang, kejadian serupa akan dicegah secara proaktif, misalnya dengan penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu?                 

 

Memang, dua dari tiga kriteria permintaan maaf yang baik sudah dipenuhi.  Namun yang ketiga masih harus dilihat ke depan, apakah permintaan maaf itu tulus atau munafik. Tindak lanjut atas permintaan maaf dalam musibah kabut asap ini akan menjadi cermin bagi karakter atau watak kita sebagai bangsa.  Spiegeltje, spiegeltje, is onze natie oprecht?   (Cermin, cermin, apakah bangsaku ini tulus?).

__________________________________________________________________________________

Penulis adalah guru besar filsafat dan etika di Fiabikom dan staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya