ASK
ME

REGISTER
NOW

Belajar dari Jerman dalam Merajut Toleransi dan Kebebasan Beragama

5/10/2019 12:00:00 AM

Jakarta, 10 Mei 2019— Sering kita temui dalam berbagai wacana dan orasi bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan kebudayaan. Menurut sensus BPN tahun 2010 tercatat di Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku etnik atau suku bangsa, yang tentu, memiliki tradisi, cara hidup dan bahkan kepercayaan tersendiri. Masyarakat perlu secara sadar untuk menerima keberagaman itu dan tidak mendiskriminasikan satu kelompok tertentu.

 

Beberapa waktu lalu sempat ramai diberitakan oleh media, bahwa penganut aliran kepercayaan (atau penghayat) di Bandung, memasuki tahap baru dalam memperjuangkan hak kepercayaan mereka. Setelah hampir lebih dari satu dekade berjuang, kolom agama dalam KTP mereka tidak lagi tertulis salah satu agama mayoritas atau dikosongkan, tapi kini tertulis: Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.

 

Suasana Science Talk “Freedom of Religion and Tolerance in a Pluralistic Society - the Example of Germany” pada Kamis (2/5) di Kampus 1 Semanggi, Unika Atma Jaya.

 

Meski begitu keputusan ini masih mendapat pertentangan dari berbagai kelompok, yang berpendapat bahwa keputusan ini akan menuntun kepada masalah dan penolakan. Padahal jauh sebelum ini, warga penghayat sudah mendapat diskriminasi dengan cap tidak beragama atau tak ber-Tuhan oleh masyarakat, meski sebetulnya hak memilih dan menjalankan kepercayaan dilindungi oleh Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

 

Belajar dari Republik Federal Jerman dan sejarah panjang mereka mengenai kebebasan beragama dan nilai toleransi, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya menggandeng DAAD (The German Academic Exchange Service) menyelenggarakan Science Talk bertajuk "Freedom of Religion and Tolerence in a Pluralistic Society - the Example of Germany", pada Kamis (2/5) di Kampus 1 Semanggi.

 

Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia, H.E Dr. Peter Schoof, membuka Science Talk “Freedom of Religion and Tolerence in a Pluralistic Society – the Example of Germany” pada Kamis (2/5).

 

Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia, H.E Dr. Peter Schoof, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa topik mengenai demokrasi, kepercayaan, kebebasan, toleransi perlu untuk dipahami bersama pada masa-masa ini, bukan hanya untuk Indonesia tapi juga secara global oleh semua orang. Menurutnya topik ini masih dan akan terus relevan untuk semua, mengingat kejadian menyangkut diskriminasi agama dan kelompok etnik belakangan, "I think if we look at the world today, very unexpected turbulence that we experience. It is very important to understand that we face the same issues," ujarnya.  

 

Seperti halnya Indonesia, pemerintah Jerman pun menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk kepercayaan apapun yang dirasa paling benar. Pemerintah Jerman, melalui perangkat Undang-undang, memastikan bahwa tidak ada kepercayaan tertentu, meski mayoritas dalam masyarakat, akan mendominasi dan nantinya akan dimaklumkan oleh pemeluk kepercayaan lain. Prof. Dr. Thomas Schmitz, menyampaikan bahwa Jerman bukan negara Kristiani melainkan Pluralis.

 

Prof. Dr. Thomas Schmitz dalam Science Talk “Freedom of Religion and Tolerence in a Pluralistic Society – the Example of Germany” pada Kamis (2/5).

 

“Germany is not a Christian state with a Christian value system but only stongly influenced by its Christian History. The fundamental values of Germany are those of the free and democratic constitutional state based on the rule of law, namely human dignity and human rights, democracy, rule of law and social solidarity and coherence,” tutur Prof. Schmitz.

 

Prof. Dr. Thomas Schmitz mengungkapkan bahwa bagi pemerintah Jerman kebebasan untuk memeluk kepercayaan apapun adalah hak mendasar tiap rakyatnya. Hak kebebasan itu seperti, baik pemerintah dan/ atau kelompok masyarakat bahkan orang tua, tidak boleh melarang, mencegah atau dengan sengaja membuat seseorang untuk melakukan/ memakai atribut dan kebiasaan kepercayaan tertentu, agar masuk dalam kelompok kepercayaan itu atau meski ia sudah dibesarkan dalam suatu kepercayaan dan dengan alasan apapun.

 

Akan tetapi, kebebasan tersebut tidak dibiarkan begitu saja tapi diberikan batasan agar memunculkan keteraturan dan keadilan. Maka dalam hal ini pemerintah sebagai institusi diminta netral dan tidak terasosiasi dengan simbol kepercayaan manapun, "It‘s a fundamental right. The constitutional order of the state ranks above religion not religion above the state," ucap Prof. Schmitz. (HCR)