ASK
ME

REGISTER
NOW

Belajar dari 15 Tahun Reformasi dan Siap Mengawal 15 Tahun Reformasi Mendatang

5/23/2013 12:00:00 AM

One a Million

Kalau kita berkata pada anak-anak muda  sekarang: “Sekarang tanggal 21 Mei lho!”. “So what?” atau “Terus Kenape?”. Itulah mungkin jawaban sigap dan singkat yang mereka lontarkan. Tanggal 17 Agustus, semua orang tahu, Hari Proklamasi Kemerdekaan Negara RI, 1 Juni,  Hari Lahirnya Pancasila, 28 Oktober, Hari Sumpah Pemuda, atau 20 Mei , Hari Kebangkitan Nasional, dan masih banyak hari lain yang lebih bersejarah. Tanggal 21 Mei, mungkin bukan hari yang istimewa bagi banyak orang, kecuali bagi yang berulang tahun pada tanggal tersebut. Padahal untuk generasi sekarang, khususnya generasi muda, semestinya tidak ada hari yang lebih bersejarah daripada tanggal 21 Mei. Kenapa? Bagi generasi muda, hari-hari yang disebutkan terdahulu diperingati sebagai hari bersejarah tanpa mereka mengalami sendiri peristiwa-peristiwa itu. Namun, 21 Mei merupakan hari Reformasi karena 15 tahun yang lalu, tepatnya 21 Mei 1998 menjadi titik awal era Reformasi, era dimana kita terbebas dari belenggu atau tirani otoritarianisme. Generasi muda kita sekarang mengalami detik-detik masuknya bangsa ini ke dalam era reformasi, bahkan tidak sedikit generasi muda yang terlibat aktif baik secara langsung maupun tidak langsung dalam prosesnya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila kita mengatakan bahwa Reformasi yang terjadi pada 15 tahun yang lalu, adalah hari bersejarah yang paling aktual atau up-to-date bagi generasi kita sekarang

 

Peringatan 15 tahun reformasi digagas oleh The Habibie Center, Universitas Paramadina, Indonesia Corruption Watch, Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan yang bekerja sama untuk mengadakan acara roadshow dengan tema “Belajar dari 15 tahun reformasi dan Siap Mengawal 15 tahun reformasi mendatang”.  Sesudah 15 tahun usia reformasi buah apa yang dapat kita petik dari Reformasi yang telah kita bayar dengan mahal tersebut. Menurut harian Kompas 21 Mei 2013, inti dari reformasi adalah upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Namun  jalannya reformasi mengecewakan. Kepercayaan terhadap partai politik dan parlemen telah disalahgunakan. Korupsi semakin marak. Politik bersifat transaksional. Evaluasi dan refleksi 15 tahun Reformasi merupakan bekal dalam menyongsong masa depan, khususnya 15 tahun ke depan dimana reformasi akan mencapai usia dewasa (30 tahun).  Melihat capaian yang relatif mengecewakan tersebut, sudah selayaknya perjalanan Reformasi ke depan perlu dikawal. Hal inilah yang mendasari diadakannya rangkaian acara peringatan 15 tahun Reformasi.

 

Unika Atma Jaya, sebagai salah satu Kampus Reformasi, terpilih menjadi salah satu tempat penyelenggaraan acara road show tersebut. Sub tema yang dipilih untuk penyelenggaraan acara di Unika Atma Jaya adalah  “Reformasi Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Hak Asasi Manusia”. Acara tersebut dikoordinir oleh LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarat Unika Atma Jaya dan bekerja sama dengan American Institute for Indonesian Studies). Sebenarnya acara pembukaan pekan peringatan 15 tahun reformasi ini baru akan dilaksanakan tanggal 22 Mei 2013 di Universitas Paramadina. Tapi Unika Atma Jaya menyambut gagasan tersebut dengan memulai rangkaian acara tepat pada Hari Reformasi, 21 Mei 2013 dan akan dilanjutkan pada tanggal 27 Mei 2013. Acara tahap pertama telah dilaksanakan dengan mengadakan pemutaran film yang berjudul “One in a Million” yang diadakan di Lantai 14 Gedung Yustinus, Unika Atma Jaya dan dihadiri oleh tidak kurang dari 130 orang.

 

Film ini mengisahkan kiprah seorang ibu bernama Mary Leigh Blek yang kehilangan putranya Matthew yang berusia 21 tahun. Matthew menjadi  korban penembakan senjata api oleh seorang anak berusia 15 tahun pada suatu perampokan. Film ini menggambarkan bagaimana perjalanan ibu tersebut bangkit dari trauma karena kehilangan putranya dan menjadi aktifis yang secara konsisten menyerukan agar undang-undang penggunaan senjata api di AS diamendemen sehingga AS menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Acara pemutaran film dilengkapi dengan penjelasan dari produser film tersebut, Prof. Mark Freeman dari San Diego State University. Prof. Freeman menyampaikan ada 4 strategi yang digunakan oleh ibu tersebut dalam memperjuangkan asipirasinya, yaitu: melalui media,  layanan konsultasi, aksi damai, dan perkumpulan korban trauma. Analogi dari film tersebut adalah pengalaman dari Ibu Maria Catarina Sumiarsih, ibunda dari Bernardus Realino Norma Irawan, (lebih dikenal dengan ‘Wawan’), mahasiswaUnika Atma Jaya yang tertembak ketika Wawan menjadi relawan pada salah satu peristiwa dalam awal era Reformasi, yaitu Tragedi Semanggi I. Ibu Sumarsih berkenan memberikan testimoni sesudah presentasi Prof Mark Freeman. Ibu Sumarsih menyampaikan perjuangan beliau sebagai ibu dari salah seorang korban kekerasan pada tragedi-tragedi yang terjadi pada tahun 1998, yaitu Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I, dan Tragedi Semanggi II. Ibu Sumarsih menyampaikan bahwa adanya pelanggaran hak asasi manusia karena peluru yang ditemukan pada tubuh Wawan adalah peluru tajam. Hanya ada satu hal yang ingin beliau cari, yaitu proses  hukum bagi orang yang bertanggung jawab atas korban-korban yang berjatuhan dalam tragedi-tragedi tersebut. Namun, sampai saat ini, belum ada upaya dari pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus ini. Tujuan reformasi belum tercapai karena masih adanya ketidakpastian di berbagai bidang, terutama di bidang politik, hukum, hak asasi manusia, sosial, dan ekonomi.

 

Diskusi yang dipandu oleh moderator Dr. Luciana, M.Ed. (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dilanjutkan dengan pembahasan dari Dr Tanete A. Pong Masak (Fakultas Ilmu Administrasi dan Bisnis Komunikasi), pakar perfilman Indonesia, yang membahas bagaimana film ini berbeda dengan film-film serupa yang dibuat di Perancis dan pembahasan dari Dr. Nani Nurrachman (Fakultas Psikologi) dari sudut pandang psikologi. Salah satu poin yang disampaikan oleh Dr. Nani Nurrachman adalah bahwa gerakan aktifis itu muncul karena adanya ethic of care dan akan lebih berhasil bila dilakukan oleh seseorang yang berwawasan luas. 

 

Laporan dan Foto: LPPM