ASK
ME

REGISTER
NOW

DISKUSI BUKU: JAGAT DIGITAL

11/25/2019 00:00:00

Pada hari Senin 11 November 2019, Prodi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Aspikom menyelenggarakan acara bedah buku karya Agus Sudibyo yang berjudul “Jagat Digital”. Salah satu narasumber yang memberikan pencerahan pada saat ini bapak Irwan Julianto (mantan wartawan Kompas dan pengajar UMN) menuliskannya dalam laman facebook yang kemudian kami muat lagi dalam tulisan ini secara lengkap.

 

Senin 11 November siang lalu saya memperoleh kehormatan menjadi moderator acara bedah buku "Jagat Digital" karya Dr Agus Sudibyo di kampus Unika Atma Jaya Jakarta. Penyelenggara acara adalah Prodi Komunikasi Fiabikom Atma Jaya bersama ASPIKOM (Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi) Korwil Jabodetabek.

 

Setelah sambutan wakil ASPIKOM Jabodrtabek dan Wakil Dekan FIABIKOM Atma Jaya, saya memberikan pengantar singkat. Disusul paparan Dr Agus Sudibyo, dan dilanjutkan oleh empat pembedah buku yang menyampaikan pendapat mereka. Keempatnya adalah: Rikard Bagun (Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas), Semuel Pangerapan (Dirjen Aptika Kemenkominfo), Dr Dorien Kartikawangi (Kaprodi Komunikasi Unika Atma Jaya), dan Prof Effendi Gazali.

Di bawah ini ringkasan buku "Jagat Digital" yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia:

 

Transformasi digital seperti tercermin dalam derasnya penetrasi layanan media-sosial, mesin pencari dan situs ecommerce pada gilirannya menampakkan diri sebagai sebentuk aporia. Dia menawarkan pembebasan sekaligus secara laten memendam intensi penguasaan. Dia menyajikan kemungkinan deliberasi sekaligus memperlihatkan tendensi instrumentalisasi. Dia melahirkan peluang-peluang menjanjikan pada aras ekonomi kreatif sekaligus menciptakan struktur kapitalisme baru yang memusatkan surplus ekonomi digital global hanya pada segelintir perusahaan raksasa dari satu-dua negara saja.

 

Hal yang mendesak untuk dikemukakan kemudian adalah perspektif kritis dalam memandang fenomena digitalisasi ketika pada umumnya publik bersikap positivistik dalam memandang fenomena tersebut. Kita membutuhkan investigasi atas dimensi-dimensi “anti-demokrasi” fenomena digitalisasi yang telah terlanjur begitu lekat dengan term demokratisasi. Publik membutuhkan keseimbangan perspektif dalam memandang transformasi digital. Bahwa transformasi digitalisasi perlu dikaji dari perspektif positivistik maupun perspektif kritis, bahwa integrasi suatu negara ke dalam lanskap informasi global membawa pengaruh positif sekaligus dampak destruktif.

 

Dalam konteks inilah, buku ini berusaha memberikan sumbangan yang berarti. Buku ini tidak dimaksudkan untuk menawarkan sikap antipati terhadap fenomena digitalisasi, tetapi lebih ditujukan untuk menstimuli diskursus yang bersifat kritis terhadapnya. Buku ini merupakan buku berbahasa Indonesia pertama yang menelaah dimensi-dimensi ekonomi-politik digitalisasi, sekaligus mempelopori kajian kritis terhadap aspek psikologi, psikologi massa, epistemologi dari munculnya media-media baru yang dewasa ini semakin mendominasi kehidupan publik.

 

Buku ini mengajak pembaca untuk memikirkan berbagai fenomena digitalisasi dalam tarikan-tarikan yang paradoksal: membebaskan atau membelenggu, memberdayakan atau memanipulasi, memberadabkan atau menggerus keberadaban, memperluas kesempatan atau mendisrupsi.

 

Dalam konteks yang sama, penulis buku ini mencoba melakukan “demitologi” atas klaim-klaim yang selama ini begitu lekat dengan media-sosial, mesin-pencari atau situs ecommerce. Bahwa media-sosial bukan semata-mata sarana interaksi sosial, melainkan juga sarana komodifikasi, komersialisasi, bahkan sarana surveillance. Bahwa tidak ada yang benar-benar gratis dari semua layanan digital yang selama ini dinikmati pengguna internet: media sosial, percakapan sosial, surat elektronik, mesin pencari dan lain-lain. Berbagai layanan gratis itu mesti dibarter dengan data-pribadi-pengguna-internet yang gratis pula.

 

Bahwa platform mesin-pencari atau media-sosial bukan hanya telah memberikan cara baru yang lebih efektif dalam kerja jurnalistik dan pendistribusian berita, melainkan juga menghadapkan para pengelola media jurnalistik pada iklim persaingan usaha media yang sangat timpang dan tidak sehat. Bahwa media-sosial bukan hanya telah meningkatkan kualitas kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi, melainkan juga telah menghadapkan berbagai negara pada kejahatan elektoral berbasis pemanfaatan media sosial yang merusak kualitas demokrasi dan memecah-belah masyarakat.

 

Setelah memetakan masalah-masalah yang berkembang bersamaan dengan transformasi digital, Agus Sudibyo mencoba mengusulkan langkah yang perlu diambil pemerintah, DPR, komunitas media maupun kalangan masyarakat dalam rangka mengantisipasi integrasi Indonesia ke dalam ekosistem informasi global. Langkah antisipatif ini perlu ditekankan agar Indonesia mampu mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dan mampu mengantisipasi dampak atau residu yang muncul secara memadai.

 

Namun perlu ditegaskan langkah antisipatif itu sedapat mungkin tidak mereduksi atau menghapuskan sisi-sisi konstruktif-deliberatif dari digitalisasi. Kita mesti bergegas menanggulangi dampak-dampak buruk digitalisasi, tanpa perlu menafikan kontribusi positifnya terhadap berbagai segi kehidupan.