ASK
ME

REGISTER
NOW

Olimpiade dan Kepedulian Global

08/29/2012 00:00:00

Oleh: Alois A. Nugroho


Sejak upacara pembukaan yang meriah pada 27 Juli sampai sekitar dua pekan sesudahnya, perhatian dunia dipukau oleh Olimpiade 2012 di London. Beratus-ratus juta pasang mata menyaksikan penayangannya di televisi. Sebagian mengikuti beritanya sambil berceloteh memberi komentar melalui internet. Dalam era revolusi teknologi informasi, pesta olahraga sedunia ini  dapat dinikmati secara real time di seluruh penjuru dunia dan dapat didiskusikan secara real time dalam pelbagai forum, baik off line maupun on line.  


Sudah sejak zaman keemasan Yunani, pesta olah raga yang digelar di kota Olympia untuk menghormati dewa Zeus (abad 18 SM-abad 4 M) itu telah melibatkan banyak atlet dari berbagai negeri (polis). Kebahagiaan yang muncul ketika berjuang mewujudkan bakat dalam cabang olah raga tertentu disertai dengan impian untuk mendapat penghargaan simbolik telah mendorong para atlet untuk berprestasi. Dapat dibayangkan, pada zaman itu pun  para atlet Olimpiade sudah menjadi tokoh-tokoh yang dijadikan buah bibir. Layaknya para selebritas, prestasi mereka didiskusikan dan dielu-elukan. Kadang-kadang ketampanan dan keelokan mereka juga menjadi bahan pergunjingan.


Olimpiade modern yang dihidupkan lagi sejak Olimpiade Athena 1896 memiliki cakupan jauh lebih luas dari peradaban Yunani semata. Kini, dalam era kapitalisme informasional, popularitas para atlet itu tak lagi sebatas negeri sendiri, tetapi telah menjangkau sekujur bola dunia. Mereka menjadi bintang pujaan dunia. Selain kiprah di arena, keelokan paras mereka juga jadi perbincangan. Perhatikan saja, bagaimana petinju Italia, Clemento Russo, dijadikan idola publik. Dalam era kapitalisme lanjut ini, para atlet yang berprestasi umumnya tak hanya mendapat medali dari Panitia, melainkan juga penghargaan bernilai finansial dari berbagai pihak. Dari sebuah upacara sakral, Olimpiade telah menjadi tontonan dan pesta yang mendatangkan untung bagi banyak pihak.

 

 

Pendidikan Moral

 

Salah satu tujuan Gerakan Olimpiade sebenarnya adalah menghubungkan olah raga dengan pendidikan, khususnya pendidikan budi pekerti. Para atlet dilatih untuk mempersiapkan diri dengan baik, untuk berjuang secara maksimal, untuk meraih kemenangan tanpa menghalalkan segala cara. Orang yang dinilai tidak etis, misalnya karena melanggar janji, tidak jujur, atau berlaku tak adil, sering dikatakan sebagai “tidak sportif”.


Sekarang, sikap tidak sportif dalam Olimpiade ini hampir dalam waktu bersamaan akan menjadi topik bahasan dalam media digital yang melibatkan kaum muda dari seluruh dunia. Hal ini akan menggembirakan pakar-pakar  semacam Lawrence Kohlberg yang menganggap diskusi moral sebagai wahana paling ampuh bagi pendidikan moral. Jadi sebenarnya, menarik untuk diamati komentar-komentar yang muncul terhadap delapan pemain bulu tangkis kelas dunia dari RRC, Korea Selatan dan Indonesia, yang diduga “main sabun”.


Namun tidak hanya itu. Seperti dilambangkan oleh lima lingkaran yang bertumpang tindih dalam bendera Olimpiade, pesta olah raga itu ingin merajut semangat perdamaian, persahabatan dan saling menghargai di antara masyarakat-masyarakat dari lima benua. Yang ingin digarisbawahi adalah rasa sederajat antara satu bangsa dengan bangsa lain dan rasa solider antar manusia. Mungkin tak berlebihan, kalau Olimpiade modern yang telah digelar sejak lebih dari seabad lalu, telah memberi kontribusi pada berakhirnya kolonialisme sebagai fenomena global, gulung tikarnya sebagian besar rezim otoriter serta  hapusnya politik apartheid.  Bahkan, orang mulai berbicara tentang global citizenship (kewargaan dunia).


Sebagai warga dunia, orang tidak lagi hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, keluarganya, puaknya, serta rekan-rekan senegara. Bahkan kepentingan sendiri pun mendorong kita untuk punya kepedulian global, untuk peduli pada apa yang terjadi di negara-negara lain. Ada setidaknya dua aspek yang dewasa ini dianggap penting dalam kepedulian global.

 

Yang pertama adalah merosotnya mutu lingkungan alam, termasuk polusi, pengurasan sumber, perubahan iklim akibat pemanasan global. Penggunaan energi yang tidak hemat di negara-negara maju dalam waktu yang begitu lama telah menguras persediaan BBM di Indonesia yang masih harus memberikan subsidi bagi rakyatnya yang relatif miskin. Kebakaran hutan di Sumatera atau lahan gambut di Kalimantan menyebarkan asap ke negeri-negeri lain. Banjir di Thailand mengganggu persediaan beras di Indonesia. Kekeringan di Amerika Serikat mendorong naiknya harga tempe di Indonesia.

 

Yang kedua adalah ketidakadilan politik dan ekonomi. Ketakstabilan politik di Vietnam pernah memunculkan fenomena manusia perahu di sekitarnya, termasuk Indonesia. Kemelut  di Afganistan dan tempat-tempat lain di dunia membuat lautan Nusantara jadi jalur pengungsi gelap ke Australia. Kebijakan yang diambil Bank Sentral Amerika atau Eropa, yang menimbulkan pesimisme atau optimisme terhadap Eurozone, dapat mengguncang harga-harga saham di Bursa Efek Indonesia. Contoh lain masih banyak.

 

Namun bagi Amartya Sen, kepedulian global sebagai sikap etis ini tidaklah semata-mata terfokus pada kepentingan sendiri. Kalau hanya terpaku pada egoisme nasional, tentu kita akan membuka pusat perjudian terapung yang tertutup untuk bangsa sendiri dan dibuka lebar untuk para penduduk negeri tetangga. Kalau hanya terpaku pada egoisme nasional tentu kita akan menyilakan masuk para koruptor kelas kakap dari negeri-negeri lain sambil mempersulit tercapainya perjanjian ekstradisi.


Istilah global citizen bagi Sen dianggap kurang tepat, karena citizen (warga negara) berhubungan dengan pemerintahan, sedang pemerintah global tidaklah ada. Kepedulian global sebagai hak dan kewajiban moral sukar diangkat atau dikodifikasi ke dalam produk hukum nasional. Kepedulian global oleh karenanya lebih merupakan kewajiban etis orang per orang dan masyarakat. Kepedulian global lebih mengandalkan diri pada kepedulian masyarakat dan gerakan civil society di seluruh dunia.


Gerakan Olimpiade sebagai gerakan masyarakat seluruh dunia dapat menyuburkan solidaritas dan kepedulian global. Pierre De Coubertin, pemrakarsa Olimpiade modern, dengan anggun berusaha memisahkan Olimpiade dari pengaruh politik antar negara. Persis seperti pada zaman Yunani dahulu,  konflik antar negara harus dihentikan pada saat Olimpiade digelar.


Dalam kenyataan hal itu tidaklah mudah. Namun munculnya “masyarakat jejaring” (Manuel Castells) berkat teknologi informasi seperti sekarang akan membuat cita-cita Gerakan Olimpiade itu lebih mudah terwujud. Hanya satu bumi, kata Barbara Ward dan Rene Dubos. Orang-orang yang bertanah air pada bumi yang sama ini perlu saling mempedulikan satu sama lain. Tingkat kepedulian global ini akan menentukan nasib Bumi dan nasib Manusia. Ini memerlukan gerakan seperti halnya Gerakan Olimpiade.


Sehingga sesudah dua pekan menyaksikan pesta Olimpiade, kita diharapkan dapat meningkatkan kepedulian global, bersama dengan mendiang Michael Jackson dan kawan-kawan: Ada waktu dimana kita tergerak untuk menjawab panggilan, ketika dunia harus bersatu. We are the world, we are the children, we are the ones who make a brighter day.



Penulis adalah guru besar filsafat di Fiabikom Unika Atma Jaya, mengajar di pascasarjana STF Driyarkara dan Universitas Indonesia.