Setiap kali musim hujan tiba, banjir akan menjadi peristiwa rutin di Jakarta. Hujan dan banjir akan memperparah penyakit kronis lain, yakni kemacetan lalu lintas. Banjir ibukota bukanlah peristiwa alam semata-mata. Banjir ibukota juga perlu dillihat sebagai akibat dari peristiwa sosial, setidaknya sebagai akumulasi dari tindakan-tindakan pribadi yang ditandai oleh miopia moral.
Dengan miopia moral dimaksud ketidak mampuan untuk mempertimbangkan dampak-dampak jangka panjang dan dampak-dampak yang menimpa orang-orang yang tidak merupakan lingkungan kita yang dekat dan akrab. Bagaikan mata yang hanya mampu melihat dekat dan menjadi rabun kalau harus melihat jauh, mata batin orang yang mengidap miopia moral juga tak terbiasa mempedulikan dampak perilakunya pada orang-orang yang “jauh”.
Dilihat dari sudut etika individual atau etika mikro, banjir adalah indikator atau petunjuk dari sempitnya lingkup kepedulian kita. Meminjam bahasa pakar manajemen Stephen Covey dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People, lingkup kepedulian kita (circle of concern) terlalu sempit, sementara lingkup dampak tindakan kita (circle of influence), utamanya dampak buruk, sering tanpa kita sadari jauh lebih luas.
Ini berarti bahwa lingkup kepedulian kita perlu dididik dan dilatih supaya semakin menjadi kepedulian yang luas, seperti disarankan oleh pakar etika lingkungan Peter Singer dalam The Extending Circle. Kalau perlu upaya untuk mengatasi miopia moral itu dilakukan dengan pembiasaan melalui sistem denda dan penegakan hukum yang tegas seperti di Singapura. Kita perlu melatih diri dan membiasakan diri untuk mempertimbangkan dan memperhitungkan baik buruknya dampak tindakan kita pada kalangan yang lebih luas dari sekadar diri sendiri, sanak keluarga, atau tetangga kita.
Kepedulian sempit
Menebang pohon di daerah hulu, membangun rumah di daerah resapan air, melapisi seluruh pekarangan dengan lantai semen, membangun rumah di bantaran sungai, membuang sampah di selokan atau di sungai, adalah beberapa contoh tindakan individual yang lebih sering didorong oleh miopia moral. Pokoknya kita perlu hidup, kita berbahagia melihat kita sekeluarga berbahagia dengan rumah idaman, tak peduli bahwa rumah itu berdiri di atas lahan resapan air atau di bantaran sungai.
Kita pergi ke mal-mal dan ke pasar-pasar swalayan yang nyaman, karena semua berlantai bagus dengan atap yang kokoh dan anti bocor. Tak penting bagi kita, bahwa tempat-tempat itu menghalangi air hujan meresap ke tanah, sehingga air hujan langsung mengalir ke sungai-sungai, yang meluap dan menggenangi pemukiman-pemukiman di daerah hilir. Supaya tidak becek pada musim hujan, seluruh halaman yang sempit di sekeliling rumah kita juga dilapisi lantai semen. Ini sedikit-sedikit ikut berpartisipasi sebagai penyebab banjir.
Membuang sampah seenaknya memang terasa efisien bagi orang yang mengidap miopia moral. Tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra, tinggal melempar sampah dari jendela rumah atau jendela mobil. Pada musim hujan atau di bagian hulu, membuang sampah ke sungai lebih mudah lagi. Sampah akan langsung dihanyutkan air ke laut. Tak ada pertimbangan dan perhitungan, bahwa sebelum tiba di laut, sampah itu akan tersangkut dan menyumbat bagian hilir sungai, memperdangkal sungai, menyebabkan banjir, menyengsarakan banyak orang lain.
Dari sudut etika meso (mesoethics) , hal yang sama dilakukan banyak perusahaan. Korporasi yang dipandang sudah memiliki kinerja etis pun sering mengidap miopia moral yang sama, dengan dampak yang lebih besar. Memang perusahaan-perusahaan itu sudah memikirkan para investor, para manajer, para pelanggan, bahkan buruh-buruh mereka (dengan atau tanpa demonstrasi buruh), namun dampak jangka panjang dan dampak pada kalangan yang lebih luas sering kali dilupakan. Kalau pun kadang-kadang kepedulian yang lebih luas dipertontonkan kepada publik, tidak jarang itu merupakan pementasan teater yang disutradarai oleh bagian hubungan masyarakat atau komunikasi pemasaran. Sejauh mana para pengembang tidak menebangi pohon-pohon dan membangun apartemen atau perumahan di bukit-bukit resapan air? Sejauhmana limbah usaha yang dibuang ke sungai tidak mendangkalkan dan menyumbat aliran sungai? Sejauh mana hutan-hutan tidak dicukur untuk dimanfaatkan kayunya, untuk dialihlahankan menjadi daerah industri atau daerah pemukiman guna “meningkatkan produktivitas” lahan tersebut?
Dari sudut etika makro, hal yang sama berlaku bagi para penyelenggara negara di tingkat Pusat maupun daerah. Pihak legislatif, eksekutif maupun judikatif, sebagai institusi maupun dalam kapasitas sebagai politisi atau birokrat, perlu meninggalkan miopia moral dan melatih diri untuk memiliki kepedulian yang lebih luas. Posisi para penyelenggara negara sangatlah penting. Dalam kasus ini, pihak legislatif perlu menghasilkan produk hukum yang dapat meminimalkan terjadinya banjir dan dapat mencegah kesengsaraan rakyat . Eksekutif perlu menegakkan produk hukum yang terkait, semisal regulasi menyangkut tata guna tanah dan tata ruang. Pihak yudikatif perlu menjadi wasit yang tanpa pandang dompet menghukum para pelanggar tata guna tanah dan tata ruang. Dalam soal banjir pun, kompromi dalam bentuk-bentuk tindakan yang biasanya tergolong korupsi (yang terjadi pada ranah legislatif, eksekutif maupun yudikatif) adalah salah satu penyebab terjadinya banjir di ibukota.
Dalam ketiga tataran etika itu, miopia moral hanya mampu mendorong kita untuk berbuat baik bagi lingkungan dekat semata-mata. Apa yang dalam lingkup kepedulian sempit menghasilkan kebahagiaan atau kemudahan bagi lingkungan dekat, dalam lingkup kepedulian lebih luas ternyata menimbulkan penderitaan yang lebih masif. Dilihat dari dampaknya , miopia moral menyengsarakan banyak pihak di luar lingkup kepedulian kita yang sempit. Akumulasi dari tindakan banyak orang ditambah tindakan institusional dengan kepedulian sempit adalah kesengsaraan yang luas. Prinsip etika yang dilanggar ialah prinsip untuk tidak menyengsarakan orang (do no-harm principle atau prinsip maleficence). Semboyan “untuk hari esok yang lebih baik” akan menjadi slogan kosong bila tidak disertai usaha untuk memperluas kepedulian. Dalam konteks kita, selama kita hanya memperhatikan dampak baik bagi diri sendiri, keluarga, sanak kerabat dan tetangga, masalah seperti banjir dan macet takkan pernah teratasi.
Kalau disadari dan dipedulikan, tindakan-tindakan kita yang kecil dapat berdampak buruk pada nasib banyak orang, seperti dalam kasus banjir. Akan tetapi, tindakan kecil dari orang biasa seperti kita dapat pula berdampak baik pada nasib banyak orang. Lingkup dampak ini perlu kita perhitungkan dalam lingkup kepedulian kita. Ambillah contoh menanam pohon atau tanaman hias. Biasanya, tindakan semacam itu hanyalah didorong oleh kepedulian yang sempit, supaya keteduhan dan keindahannya dapat dinikmati oleh anggota keluarga atau tetangga. Padahal oksigen yang dihasilkan tanaman-tanaman akan bersatu dengan oksigen semesta dan akan menopang hidup banyak orang, diri sendiri, keluarga, sanak kerabat, tetangga, bahkan “musuh-musuh” kita. Dengan menanam pohon, kita melaksanakan prinsip love thy neighbors dan bahkan love thy enemies.
Penulis adalah guru besar filsafat dan etika di Fiabikom dan staf Pusat Pengembangan Etika, Unika Atma Jaya, Jakarta