ASK
ME

REGISTER
NOW

Pembolosan di Parlemen

08/04/2010 00:00:00
Penulis/Peneliti : Prof. Dr. Aloisius Agus Nugroho

Bidang Penelitian : Etika

Jurnal : Koran

Volume : Sabtu, 31 Juli 2010

Tahun : 2010


"Dinamika politik dijadikan dalih bagi para politisi untuk mengemukakan sebuah janji pada suatu waktu dan mengingkarinya tidak lama kemudian dengan alasan bahwa “konteksnya sudah berubah”. Perbincangan publik terkini dihangatkan oleh wacana tentang tindak pembolosan. Di kalangan anak sekolah, itu bukan hal istimewa. Halnya menjadi istimewa karena tindak pembolosan itu dilakukan oleh anggota-anggota DPR dan DPRD. Dalam masa kampanye, mereka mengumbar janji untuk membela aspirasi konstituen. Sesudah mendapat kursi, tak sedikit yang lupa untuk memperjuangkan aspirasi konstituen. Konstituen ditinggalkan dan amanat penderitaannya kurang dihiraukan.

Dilihat dari sudut konsekuensi yang timbul, tindak pembolosan mungkin saja menguntungkan anggota dewan yang bersangkutan, kelompoknya, atau parpolnya. Tetapi yang jelas, pembolosan menimbulkan kerugian bagi para pencoblos yang telah memilih mereka. Keuntungan yang muncul dari tindak pembolosan ini bagi yang bersangkutan pun mungkin hanya berupa keuntungan sosial, posisi politik atau perolehan finansial yang - meski pun banyak - tetap saja tidak menyangkut hal-hal esensial yang dapat dimasukkan ke dalam hak-hak asasi manusia. Bandingkan dengan kerugian yang harus diderita oleh mereka yang rumahnya terendam lumpur Lapindo, yang kehilangan nyawa karena ledakan tabung gas, yang harus menganggur karena administrasi negara tidak memperhatikan pembangunan sektor riil, yang harus berpisah dengan keluarga karena terpaksa menjadi TKI di mancanegara, yang tak dapat beribadah dengan leluasa karena negara melakukan pembiaran, dan lain-lain.

Namun, konsekuensi paling serius yang dapat timbul dari tindak pembolosan ini ialah hilangnya kepercayaan publik kepada sistem demokrasi sebagai cara mengelola masyarakat yang menjamin kepatuhan hukum dan sekaligus mempertahankan otonomi setiap warga negara. Apabila demokrasi tak lagi dapat dipercaya, maka otoritarianisme politik dan totalitarianisme sosial akan tampil ke depan menawarkan diri sebagai sistem-sistem alternatif.

Dengan otoritarianisme, akan muncul seorang “Bung Besar” (Big Brother) sebagaimana diistilahkan oleh George Orwell. Dengan totalitarianisme sosial, akan muncul “polisi pikiran” yang mengurusi video porno, kiprah orang di tempat tidur masing-masing dan patung apa yang boleh dipasang di rumah dan di lingkungan rukun warga. Semua ini akan merupakan beban hidup yang harus dipikul rakyat. Dengan kata lain, maraknya tindak pembolosan politik oleh para anggota legislatif merupakan egoisme politik. Artinya, hanya segelintir elite politik mendapatkan keuntungan, sedangkan rakyat banyak tanpa mereka kehendaki harus terkena getahnya.


Identitas Naratif

Pembolosan politik pada hakikatnya adalah pengingkaran janji, baik janji itu berupa janji kampanye, maupun janji yang melekat pada kewajiban seorang anggota dewan. Pada waktu kampanye, para politisi pada galibnya berjanji untuk “memperjuangkan kepentingan rakyat”. Posisi seorang anggota legislatif juga mengasumsikan kewajiban untuk menghasilkan produk undang-undang yang memajukan kesejahteraan umum, pun seandainya dia tak menjanjikan apa pun sewaktu masa kampanye. Tindak pembolosan politik adalah tindakan sengaja untuk tidak memperjuangkan kepentingan rakyat pemilih, yang nota bene menjadi bagian dari janji kampanye maupun janji yang melekat pada kedudukan sebagai anggota dewan. Sebuah iklan pernah berbunyi, sesudah duduk lupa berdiri. Dalam kasus pembolosan politik yang terjadi ialah sesudah duduk, lupa akan janji sendiri.

Perbedaan antara masa sebelum menjadi bagian dari elite politik dan sesudahnya ini demikian mencolok. Sering rakyat bergumam, bahwa politisi itu cenderung “pagi kedelai, sore tempe”. Dinamika politik dijadikan dalih bagi para politisi untuk mengemukakan sebuah janji pada suatu waktu dan mengingkarinya tidak lama kemudian dengan alasan bahwa “konteksnya sudah berubah”. Inilah persepsi publik tentang elite politik mereka dan mungkin pula konsep diri para elite politik pada era reformasi.

Kalau dilihat dari sudut etika, elite politik pada era reformasi seperti tidak mempunyai kompetensi untuk secara moral merajut identitas diri. Artinya, dalam diri para elite politik itu, sepertinya tidak ada yang menetap, yang tidak berubah, yang dapat dijadikan pegangan oleh pihak lain, utamanya rakyat pemilih. “Orang tidak dapat dua kali masuk ke sungai yang sama”, kata filsuf Yunani Kuna yang bernama Herakleitos. Karena sebuah sungai selalu mengalir, maka pada kesempatan kedua seseorang akan memasuki konteks yang berbeda dengan konteks yang dimasukinya pada kesempatan pertama. Demikian juga, David Hume menganggap diri manusia, atau elite politik dalam kasus kita, sebagai “bundel persepsi” yang berubah setiap waktu, bahkan setiap detik. Apa yang dijanjikan pada masa lalu hilang bersama angin yang bertiup pada masa lalu. Masa kini menuntut tindakan yang berbeda dengan tindakan yang pada masa lalu dijanjikan akan dilakukan pada masa kini.

Ketiadaan kompetensi untuk merajut identitas diri ini berkebalikan dengan identitas totaliter pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Identitas totaliter itu menggambarkan diri sebagai kokoh, tidak berubah, tidak tergantung kepada waktu dan sejarah, tidak kontekstual. Manusia adalah “sama persis” dari waktu ke waktu. Dari remaja hingga tua, mereka loyal pada partai yang sama, setiap lima tahun memilih Presiden yang sama, memiliki asas filosofis yang sama, tiap 30 September mengutuk musuh yang sama. Pada tingkat individu, identitas diri warga negara ditandai oleh “kesamaan”, sebagaimana sebongkah batu tidak terpengaruh oleh perjalanan waktu.

Memang benar, pada manusia ada elemen-elemen identitas alamiah sebagai hal yang hampir sama sekali tak berubah, semisal sidik jari, kode genetis, bahkan sampai tingkat tertentu juga potret diri. Namun, secara moral manusia mengalami perkembangan, sebagaimana ditunjukkan oleh Lawrence Kohlberg. Secara moral, pada tataran yang oleh Paul Ricoeur disebut “moral wisdom” atau “phronetical level”, manusia juga memadukan pula norma-norma moral yang sedikit banyak bersifat universal dengan konteks partikular yang dihadapinya. Singkatnya, kesalahan konsep diri yang totaliter ialah menyamakan identitas dengan “kesamaan mutlak”.

Janji mengandaikan adanya sesuatu “yang tetap” pada manusia, termasuk elite politik. Namun “yang tetap” pada manusia, juga sebagai apa yang oleh Aristoteles disebut sebagai zoon politikon, harus dimengerti bukan sebagai “ketiadaan identitas”, bukan pula sebagai “identitas totaliter”, melainkan sebagai “identitas naratif”. Meski pun ada pelbagai perubahan konteks, namun kita dapat menuntut tiap orang, termasuk elite politik, untuk memberi jaminan bahwa mereka adalah orang yang sama yang melakukan suatu tindakan kemarin, mempertanggungjawabkannya hari ini, dan menanggung akibat-akibatnya esok.

Kemampuan merajut identitas naratif ialah kemampuan untuk menyusun cerita yang koheren tentang diri sendiri atau – sederhananya – kemampuan bertanggung jawab. Dalam bahasa Indonesia, kata “tanggung jawab” mempunyai dua unsur. Pertama ialah kemampuan untuk “menjawab” mengapa saya melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu kemarin. Kedua ialah kemampuan untuk ”menanggung” akibat-akibat yang muncul hari ini dan esok karena perbuatan atau perkataan pada masa lalu. Pembolos ialah karakter moral yang tidak mampu merajut identitas naratif. Maka, pelajaran yang dapat ditarik dari fenomena pembolosan di badan legislatif ialah perlunya meningkatkan kompetensi merajut “identitas naratif”.


Penulis adalah guru besar filsafat di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya Jakarta dan staf senior Pusat Pengembangan Etika