ASK
ME

REGISTER
NOW

Menyoal Politik Uang

06/30/2012 00:00:00

Oleh: Alois A. Nugroho


Mengawali masa kampanye Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta, pada Minggu 24 Juni 2012 Panwaslu dan beberapa LSM menggelar Deklarasi Anti Politik Uang di Bundaran Tugu Selamat Datang. Politik uang juga serta merta mengedepan kalau kita mau melihat relevansi pikiran Michael Sandel dalam buku terbaru, What Money Can’t Buy (2012), bagi Indonesia.


Keprihatinan itu tentu saja tidak sebatas pada terjadinya politik uang dalam kaitan dengan Pemilukada atau Pilpres, tetapi juga dengan Pemilu anggota legislatif, tingkat pusat atau pun daerah. Bahkan juga dengan pemilihan para pejabat publik, dari eksekutif hingga yudikatif, semisal kasus pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia. Semua kasus yang memprihatinkan itu berintikan satu hal, yaitu komodifikasi kewenangan publik.  Dalam Pemilu yang demokratis, setiap orang punya satu suara, maka suara itu pun dijadikan komoditas.  Pejabat publik berwenang memutuskan siapa yang menang tender, maka kewenangan itu pun dijadikan komoditas.  Badan legislatif berwenang untuk membahas dan menyetujui RUU, maka kewenangan itu dijadikan komoditas. Badan yudikatif berwenang untuk memutus perkara, ini pun tak luput dari komodifikasi.


Syarat agar suatu aktivitas atau barang dapat  menjadi komoditas tentu haruslah ada pihak-pihak yang membutuhkannya dan sekaligus memiliki “daya beli”, sehingga “kebutuhan” itu menjadi “permintaan” (demand). Harga aktivitas atau barang itu akan naik apabila ada banyak orang memiliki permintaan atasnya, sementara pasokan yang ada terbatas. Dalam hal ini para ekonom berbicara tentang kelangkaan (scarcity). Maka, suara pemilih yang diperebutkan itu pun bagaikan tiket kereta api atau tiket pesawat pada musim liburan. Maka, RUU tertentu akan lebih dulu dibahas  tanpa harus antre, sedang RUU-RUU lain harus berdiri manis dan bersabar menunggu giliran. Dan berbeda dengan pesakitan lain yang harus mendekam di rumah tahanan, Gayus dapat membeli kewenangan yang memberinya kebebasan buat berpiknik ke Pulau Dewata. Gejala percaloan politik, sebagaimana gejala makelar kasus, pun akan muncul secara halus atau kasar, terselubung atau terang-terangan.

Apa yang salah dengan komodifikasi kewenangan publik ini, termasuk politik uang dalam Pemilukada, sehingga praktik semacam lazimnya tak hanya dianggap melanggar hukum tetapi juga melanggar etika?  Bukankah dalam praktik-praktik itu ada win-win solution dalam arti setiap orang untung? “Pembeli” suara untung karena akan memperoleh apa yang dibutuhkannya, yaitu dukungan masyarakat pemilih. “Penjual” suara untung, karena “dukungannya” telah ditukar dengan uang yang sewaktu-waktu dapat ditukarkannya lagi dengan apa yang secara nyata dia butuhkan, semisal beras, bensin, beaya berobat, atau beaya sekolah anak-anak.


Hal yang sama berlaku juga dalam pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia. “Pembeli” suara untung, karena calonnya (dengan segala kecenderungan dalam pengambilan keputusan yang dimilikinya, yang sangat dibutuhkan oleh para “pembeli”) terpilih. “Penjual” suara juga untung, karena dukungannya dapat ditukarkan dengan cek pelawat yang sewaktu-waktu dapat ditukar lagi dengan uang dan akhirnya dengan apa yang secara nyata mereka butuhkan. Hal serupa terjadi juga dalam banyak kasus lain.       



Ketakadilan dan Pembusukan          

 

Secara hukum, praktik-praktik jual beli suara atau kewenangan publik itu lazimnya dianggap sebagai tindakan-tindakan melawan hukum, setidak-tidaknya melanggar sumpah jabatan. Namun, apakah komodifikasi suara dan kewenangan publik itu secara etika juga keliru? Dalam hal politik uang dalam Pemilu, bukankah rakyat pemilih dalam Pemilu legislatif atau pun eksekutif pada tingkat mana pun tidak melanggar sumpah jabatan, karena mereka memang tidak bersumpah apa pun? Jadi, politik uang dilihat dari sudut rakyat pemilih harusnya sah-sah saja secara etis? Tetapi mengapa Panwaslu harus memprakarsai Deklarasi Anti Politik Uang dalam Pemilihan Gubernur DKI 2012? Mengikuti Sandel, ada setidaknya dua alasan mengapa politik uang harus dianggap tidak etis.


Pertama,  politik uang mengidap ketidak-adilan. Dalam sistem demokrasi, setiap orang mempunyai kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan. Dalam Pemilihan Umum, setiap warga negara yang memenuhi syarat usia, syarat kesehatan fisik maupun mental, berhak untuk mencalonkan diri dan dipilih. Inilah syarat kesamaan (equality) dalam demokrasi.  Tetapi apa jaminan demokrasi bahwa pemimpin terpilih adalah pemimpin yang memiliki kualitas (quality) memimpin, artinya yang memiliki karakter yang baik dan program kerja yang meningkatkan kebaikan rakyat banyak? Di sinilah perlunya kampanye dan adu program serta adu argumentasi antar kandidat, agar pemilih dapat menilai kandidat mana yang berkualitas.


Nah, politik uang melanggar syarat kesamaan ini. Peluang terpilihnya seorang kandidat tidak ditentukan oleh karakter dan program, tetapi oleh uang yang dibagi-bagikannya. Bukan kandidat yang memiliki karakter dan program kerja yang baik yang akan terpilih, tetapi kandidat yang mempunyai “rekening gendut” yang akan punya peluang lebih besar.  Pemain politik dan elite politik hanya akan diisi oleh orang-orang berduit. Ini merupakan perlakuan tidak adil kepada para kandidat yang berkualitas, berkomitmen, namun tak berduit.


Namun, politik uang juga mengandung ketidakadilan kepada rakyat banyak. Demokrasi tidak lagi menjadi pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Demokrasi akan menjadi pemerintahan “dari orang kaya, oleh orang kaya, untuk orang kaya”. Politik uang memuat perlakuan tidak adil kepada kandidat yang tidak memiliki dana besar dan melestarikan ketidak adilan sosial yang membuat warga negara miskin tetap miskin, sehingga mereka dapat dijadikan sasaran politik uang.


Kedua
, politik uang membusukkan demokrasi. Dalam Pemilu yang demokratis, pemungutan suara merupakan partisipasi politik pemilih untuk ikut menentukan calon pemimpin yang dianggapnya berwatak baik dan memiliki program-program yang akan memajukan kesejahteraan umum.  Pemimpin yang sungguh-sungguh mempunyai legitimasi ialah pemimpin yang mendapatkan kepercayaan rakyat melalui Pemilu. Rakyat yakin bahwa kandidat yang dipilihnya secara demokratis (dengan memperhatikan syarat equality) adalah pemimpin yang mempunyai quality.  Inilah legitimasi yang utuh, yang berintegritas.


Nah, politik uang membusukkan legitimasi itu. Dukungan dan kepercayaan rakyat yang dibeli bukanlah legitimasi yang baik dan utuh, melainkan legitimasi yang busuk. Legitimasi yang busuk tidak benar-benar dapat diandalkan, seperti halnya deskripsi Niccolo Machiavelli tentang dukungan tentara bayaran. Demokrasi yang dicemari politik uang akan menghasilkan legitimasi yang busuk dan melahirkan elite politik yang sama busuk. Tak ada lagi sikap saling percaya dalam masyarakat. Politik uang telah membusukkan pemimpin, rakyat, demokrasi dan pada akhirnya negara. Akan terjadi situasi dimana ada hukum tapi tak ada yang mematuhi. Akan terjadi hukum rimba (state of nature) seperti digambarkan oleh Thomas Hobbes. Pada ujungnya, bila demokrasi dibiarkan membusuk oleh politik uang, yang akan muncul adalah pemerintahan totaliter seorang Big Brother seperti pernah digambarkan oleh George Orwell.

 



Penulis adalah guru besar filsafat dan etika di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (Fiabikom) serta staf Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, Jakarta.