ASK
ME

REGISTER
NOW

Mencari Pemimpin Otentik

10/08/2012 00:00:00
Oleh Alois Agus Nugroho

Kehidupan kita sekarang sangat dipengaruhi oleh globalisasi pasar. Kondisi itu ditandai oleh gaya hidup yang tidak menghargai lagi otentisitas atau kesejatian diri.. Sering, kesejatian diri dilihat dari simbol-simbol yang sudah dilepaskan dari apa yang disimbolkan. “Berani tampil beda” adalah simbol otentisitas, namun yang diacu adalah keberanian untuk ikut-ikutan mengisap rokok (merek tertentu) atau memakai jeans (merek tertentu). Otentisitas juga dianggap disimbolkan oleh keberadaan di kelas tertentu. Ini ditunjukkan dengan jenis dan merk mobil yang dipakai, atau merk lipstick, merk sabuk, merk minyak wangi yang dipakai dan sebagainya.

Halnya kurang lebih sama dalam bidang politik, agama, pendidikan. Ideologi dan program partai tak penting, kedalaman pemahaman dan amal tidak penting, kepandaian dan ketrampilan tidak penting.  Tetapi kaos partai, busana dan simbol agamis, ijasah dan yang semacamnya itulah yang penting.. Pemikir posmodern Perancis yang bernama Jean Baudrillard menyebutnya sebagai “simulacrum”, penanda yang tak terpaku pada sebuah petanda.

Kepemimpinan tidak dapat melepaskan diri dari gejala ini, bahkan berada pada inti pusaran globalisasi. Kepemimpinan juga mengandalkan diri pada citra dan popularitas. Padahal, dengan cara begitu, para pemimpin dan manajemen publik akan tinggal dalam apa yang oleh Robert D. Gilbreath pernah disebut sebagai “neraka manajemen”.

Tak mungkin meringkaskan kasus-kasus dari buku Escape from Management Hell yang terjemahannya pernah diterbitkan oleh Penerbit Mizan.. Yang dibahas antara lain ialah kontrol, pengambilan keputusan, inovasi, kualitas, konsensus, birokrasi, rasa malu, kuatnya visi dan peranan konsultan.


Ciri pemimpin otentik


Bagi Gilbreath, kontrol sebagai upaya menegakkan aturan itu harus melihat situasi dan kondisi khusus dari orang atau kelompok yang harus menaati aturan itu. Otentisitas orang atau kelompok itu tidak boleh disamaratakan. Setiap orang dan kelompok harus merasa “diorangkan”. Keunikan dan kekhasan masing-masing harus dipertimbangkan. Dalam konteks Indonesia, usaha untuk tidak menciptakan “neraka manajemen” ini mengingatkan kita pada cara seorang kepala daerah memindahkan para pedagang kaki lima ke pasar yang lebih layak dan sekaligus meningkatkan keindahan, ketertiban dan kebersihan kota.

Kedua, pengambilan keputusan tidak boleh terjadi secara mekanistis dengan berdasarkan data saja. Mendasarkan diri pada data saja berarti melarikan diri dari tanggung jawab untuk membuat keputusan. Bukan data yang harus memutuskan, melainkan pemimpin. Ada banyak sekali data, mengapa hanya data ini – dan bukan data itu - yang dijadikan dasar keputusan?

Hal ini terjadi,  karena pemimpin punya kecenderungan tertentu. Kecenderungan diri ini sebaiknya disadari dan direfleksi, karena menjadi otentik tidaklah sama dengan mengikuti kecenderungan diri (yang sering berupa rasa iri, tak mau kalah dan kecenderungan untuk membalas dendam). Bermusyawarah lebih dahulu dengan pihak-pihak yang akan terkena dampak suatu kebijakan sangatlah penting.

Ketiga, inovasi harus segera dilakukan. .Kalau tidak dilaksanakan, inovasi itu akan mati “dipatuki ayam”. Maksudnya, inovasi sering kali tidak bermakna apa-apa, karena dikompromikan dengan kenyataan yang seharusnya merupakan sasaran pembaharuan. Jadi meskipun kebijakan inovatif itu dikhawatirkan akan merupakan kebijakan yang tidak populer dan menurunkan citra, kebijakan itu tetap harus diwujudkan dengan memperhatikan perlunya musyawarah dan perlakuan santun pada pihak-pihak yang akan terkena dampak kebijakan.

Keempat, belajar dari pacuan kereta pada zaman kekaisaran Romawi, kereta yang benar-benar berkualitaslah yang akan menang, biarpun gaya hidup yang ada lebih menghargai kereta-kereta yang penuh hiasan. Kereta-kereta yang bercitra baguss itu juga biasanya kurang berkualitas, antara lain karena dikompromikan dengan efisiensi dan korupsi. Hal ini perlu diperhatikan oleh bangsa Indonesia pada waktu pergi ke tempat-tempat pemungutan suara dalam rangka Pemilukada, Pilpres, bahkan pemilihan para anggota legislatif tingkat pusat maupun daerah.  

Kelima, konsensus tidak harus dicapai at all cost. Bila demikian, administrasi publik akan membawa masyarakatnya kepada nasib seperti yang dialami oleh suku Konsesii, yakni musnah, tidak mampu bertahan. :Pemimpin yang sangat terganggu oleh turunnya citra dan tingkat popularitas akan berusaha untuk tetap populer di depan semua pihak, utamanya kalangan yang berjumlah banyak. Akibatnya, perilaku yang tidak etis dan tidak legal pun tetap akan membuat sang pemimpin berdiam diri dan tidak menggunakan kewenangan untuk menyelesaikannya. Akan muncul kekerasan dan konflik sosial di mana-mana., Ada hukum tapi tidak dipatuhi. Korupsi akan mewabah di daerah-daerah, bahkan sampai di ring satu di sekitar sang pemimpin, biar pun citra anti-korupsi terus digaungkan. Negara terancam menjadi negara gagal.  

Keenam, birokrasi yang berlebihan dapat mencekik pembuatnya. Birokrasi berlebihan akan menciptakan labirin, membuat segala hal menjadi lebih sulit dari yang seharusnya. Memang birokrasi sampai tingkat tertentu dapat melindungi sang penguasa yang menjaga citra, namun pada suatu saat membuatnya tidak memiliki jalan keluar. Jalan keluar akan muncul bila ia bertatap muka dan mendengarkan rakyat secara informal, tanpa liputan media dan, sesudah itu, berani mengambil keputusan yang tepat dan cepat.

Ketujuh, pemimpin perlu punya rasa malu, terlebih-lebih malu terhadap diri sendiri. Pemimpin perlu memiliki kepekaan dan kemampuan untuk mendeteksi bisikan suara hatinya sendiri. Kita perlu belajar dari para pemimpin Jepang atau Korea, dimana kehormatan diri dianggap lebih utama daripada citra. Kehormatan diri bukanlah pertama-tama merupakan rasa berharga karena dihormati oleh orang-orang lain di sekitarnya. Kehormatan diri adalah rasa bernilai yang dipantulkan oleh cermin yang berada dalam hati kita sendiri. Meski pun para pendukung dan penjilat masih mengelu-elukan, namun seorang pemimpin yang otentik akan menulis surat pengunduran diri begitu cermin hati sudah memantulkan wajah yang memalukan secara etis.

Kedelapan, pemimpin-pemimpin harus mampu mengobarkan visi nasional yang kuat, sehingga negara mampu mengarungi lautan sejarah dengan berbagai terpaan krisisnya. Dengan visi nasional yang kuat, negara akan mampu mempertahankan integritas (persatuan dan kesatuan) dan mampu mengadaptasikan diri pada riak gelombang globalisasi.. Dalam konteks Indonesia, visi nasional itu dapat kita temukan pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memuat Pancasila di dalamnya. Dengan visi nasional yang kuat, bangsa Indonesia tidak hanya bisa berbangga bahwa negaranya adalah salah satu kekuatan ekonomi baru. Bangsa Indonesia tidak hanya membangun badannya, tetapi juga membangun jiwanya, seperti diamanatkan oleh lagu kebangsaan kita.

Sebagai penutup adalah nasihat Gilbreath bahwa konsultan citra pertama-tama hanyalah penjaja mode,. bukan menjajakan solusi.. Kosmetik citra mungkin penting dalam kampanye agar kandidat terpilih atau terpilih kembali. Namun permasalahan masyarakat dan agenda administrasi publik adalah hal-hal nyata yang harus ditangani oleh pemimpin otentik. Bila waktunya habis untuk menjaga citra, maka pemimpin itu bukanlah bagian dari pemecahan, melainkan bagian dari permasalahan.



Penulis adalah guru besar filsafat dan etika di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (FIABIKOM), Unika Atma Jaya, Jakarta.