ASK
ME

REGISTER
NOW

Memedulikan Nasib Buruh

03/26/2012 00:00:00

Logo Atma
Oleh: Alois A. Nugroho


Pada pertengahan Maret 2012 ini tersiar berita bahwa para pekerja atau kaum buruh berencana akan turun ke jalan dan melumpuhkan fasilitas umum, bila BBM jadi dinaikkan awal April nanti dan bila pemerintah tidak peduli pada bertambahnya kesengsaraan kaum buruh akibat kebijakan itu. Ini mengingatkan kita pada blokade jalan tol Jakarta-Cikampek di ruas Bekasi-Cikarang dari pagi hingga petang, pada 19 Januari dan 27 Januari 2012.


Menurut pelbagai media cetak dan elektronik, pemicu pemogokan besar pada Januari itu ialah dibatalkannya UMK (Upah Minimum Kabupaten) Bekasi oleh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Bandung, akibat gugatan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Bekasi. Padahal UMK itu pun hanya sekitar Rp. 1,4 juta dan sudah merupakan hasil musyawarah tripartite (tiga pihak) dalam DPK (Dewan Pengupahan Kabupaten) Bekasi.


Komunikasi di pelbagai jejaring sosial melalui media digital menyebut-nyebut komentar-komentar dari pihak pengusaha yang dianggap kurang peka dan kurang peduli terhadap nasib kaum buruh. Dalam percakapan digital itu, yang terutama disoroti adalah komentar yang menganggap investor lebih penting daripada buruh atau pekerja. Yang juga disoroti adalah komentar bahwa buruh dengan mudah dapat diganti karena tersedianya tenaga kerja yang berlimpah.


Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan ekonomi, apalagi ekonomi makro. Memang disadari bahwa investasi penting untuk menggerakkan roda ekonomi. Oleh karena itu powerhouse (perusahaan besar) yang melibatkan para investor besar sebaiknya tak diganggu, karena memberi manfaat besar, setidaknya sebagai lokomotif pertumbuhan (Khasali, 2008).


Namun disadari juga, bahwa masa “tenaga kerja murah” bukanlah tanpa tenggat waktu. Dalam observasi bisnis internasional, masa “tenaga kerja murah” punya daur hidup, paling lama lima tahun (Bartlett et.al., 2003; Ball et.al., 2005). Ini artinya, tidak pada tempatnya ada pihak-pihak di Indonesia ini yang malah berusaha memperpanjang masa pesta “tenaga kerja murah”. Dalam bahasa Bung Karno, tindakan memperpanjang masa tenaga kerja murah itu berarti memperpanjang kehinaan bangsa Indonesia sebagai “bangsa yang terdiri dari kuli-kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” (een natie van koelies en  een koelie onder de naties).


Patut disimak apa yang dikatakan oleh CEO sebuah korporasi Indonesia yang pernah mendapatkan penghargaan “Entrepreneur of the Year” dari Ernst & Young pada 2005. Menurutnya, perusahaan-perusahaan Indonesia perlu menyadari diri sebagai “kapital sosial” atau “aset nasional”. Untuk itu, perusahaan-perusahaan Indonesia perlu berperan dalam “nation and character building” (Oetama, 2001). Perusahaan-perusahaan wajib berperan dalam mengejar tujuan nasional, utamanya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan sebaliknya, mengaku diri perusahaan Indonesia, milik orang Indonesia, tetapi malah mau melestarikan bangsa Indonesia sebagai bangsa kuli.



Pemangku kepentingan


Bisnis mempengaruhi hidup orang banyak. Dalam bahasa teknis, bisnis mempunyai banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Para pemangku kepentingan itu ialah, antara lain, para pelanggan, para pekerja, pemerintah, masyarakat sekitar dan investor atau pemegang saham (stockholders). Dalam bahasa Inggris, kemiripan bunyi antara stakeholder dan stockholder itu memang sengaja dibuat, untuk menarik perhatian kita bahwa pemangku kepentingan lain tidaklah kalah penting dari para pemegang saham.


Baik pada tataran mikro maupun pada tataran makro, dikesankan bahwa dunia bisnis dan bahkan pemerintah itu cenderung memberi prioritas dan preferensi kepada para investor, termasuk pemegang saham. Dan buruh hanya memperoleh perhatian yang kesekian, kalau bukan malah yang terakhir.


Perhatikan saja reaksi banyak pemerintah di dunia terhadap fluktuasi indeks harga saham atau terhadap hasil pemeringkatan kredit dari Moody’s, Fitch, atau Standard & Poor’s. Reaksi kebanyakan pemerintah adalah sigap dan cepat tanggap. Bandingkan dengan sikap mereka, apalagi pemerintah Indonesia, terhadap berita naiknya tingkat pengangguran. Ini artinya, para investor (baik di pasar modal maupun pasar uang) mendapat perhatian istimewa.


Pada tataran mikro, banyak perusahaan mengikuti pendapat ekonom Amerika Serikat yang  bernama Milton Friedman (Shaw, 2003).  Bagi Friedman, adalah hal wajar bila perusahaan mengutamakan kepentingan investor, karena dengan menanamkan modalnya di suatu perusahaan, para investor mempertaruhkan uang itu dengan risiko berkurang (rugi) atau bahkan hilang sama sekali (bangkrut). Para investor itu mempercayakan harta milik mereka kepada para manajer professional yang mengelola perusahaan itu. Oleh karena itu, para manajer punya kewajiban yang disebut fiduciary duty, yaitu kewajiban untuk menjaga kepercayaan para investor. Singkatnya, para manajer membawa amanah para investor untuk meningkatkan nilai investasi dan berusaha sekeras mungkin agar nilai investasi tidak pernah berkurang. Jadi, nomor satu adalah investor.

Dilihat dari pertimbangan risiko, seakan-akan wajar bila fokus kepedulian para manajer, bahkan pemerintah dan kita, adalah para investor, baik di pasar modal maupun di pasar uang. Namun  John Orlando berpendapat lain. Memang investor menghadapi risiko atas harta yang ditanamkannya di perusahaan atau dipinjamkannya pada perusahaan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa buruh dan pekerja pada umumnya tidak mempertaruhkan sesuatu pada perusahaan dimana mereka bekerja (Shaw, 2003).   


Setidak-tidaknya dengan bekerja di perusahaan tempatnya bekerja sekarang, seorang pekerja telah mengorbankan peluang untuk bekerja di tempat lain yang upahnya barangkali lebih tinggi. Untuk mendapat ijasah SD pun, dia sudah harus bersekolah, pergi jalan kaki atau naik kendaraan yang tidak gratis, apalagi untuk bisa lulus dari SMP, SMK, SMA, perguruan tinggi. Bacalah Laskar Pelangi untuk mendapat gambaran itu. Para pekerja sering harus meninggalkan desa, tinggal di tempat dimana ia harus menginvestasikan pikiran dan perasaan untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungan baru. Begitu pun di tempat kerja. Setidaknya dalam jam kerja, buruh yang telah berkeluarga, mempertaruhkan pendidikan anak-anak yang tidak di bawah pengawasan mereka. Tidak jarang, hubungan suami istri juga dipertaruhkan akibat salah seorang atau kedua-duanya bekerja.


Singkatnya, para investor cuma  mempertaruhkan harta milik mereka, sedangkan para pekerja dan kaum buruh mempertaruhkan hidup mereka untuk perusahaan. Dan sebagai orang beriman (apa pun iman kita), kita semua tahu bahwa hidup manusia itu jauh lebih sakral daripada harta milik. Maka anehlah, kalau kita – terutama pemerintah – ikut mengistimewakan para investor dan tidak mempedulikan nasib buruh.. Maka  anehlah,  kalau ada orang menyalahkan kaum buruh yang melakukan blokade jalan tol tanpa berusaha memahami duduk perkara yang sebenarnya. Marilah kita mulai mempedulikan nasib kaum buruh. Marilah kita berusaha memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Neoliberalisme akan meraja lela, kalau kita semua diam saja.

 



Penulis adalah guru besar di FIABIKOM Unika Atma Jaya dan dosen Etika Bisnis di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.