ASK
ME

REGISTER
NOW

Pelajaran dari Cile

10/20/2010 00:00:00
Penulis/Peneliti : Prof. Dr. Alois Agus Nugroho

Bidang Penelitian : Etika

Jurnal : Harian Suara Pembaruan

Volume : Sabtu, 16 Oktober 2010

Tahun : 2010


"Dalam masalah publik, Presiden harus adil, dia harus mengusahakan jarak yang
sama dengan semua warga negara, tak peduli apakah warga negara itu kebetulan adalah anaknya, istrinya, besannya, iparnya, atau orang-orang yang tidak dikenal sama sekali.


Sikap peduli kepada hidup kita masing-masing, kepada orang-orang dekat dan kepada sesama yang tak dikenal, dipertontonkan oleh media elektronik, media cetak dan media baru (internet) di seluruh dunia. Drama terperangkapnya 33 pekerja pertambangan di Cile diakhiri dengan sebuah penutup yang bahagia.


Drama itu mulai 5 Agustus 2010 ketika akses ke luar tertutup oleh longsoran bebatuan. Selama 17 hari pertama tidak ada kontak antara para pekerja yang terperangkap itu dengan dunia luar. Pihak yang berwenang dan pihak keluarga tak tahu apakah mereka masih hidup. Menurut Ximena, anak Omar Reygadas – pekerja berusia 56 tahun dan orang ke-17 yang dinaikkan ke permukaan - dalam 17 hari pertama itu bapaknya sudah mengira akan terkubur hidup-hidup.


Waktu longsoran terjadi, persediaan makanan hanya cukup untuk beberapa hari, sehingga mereka harus memutar otak untuk dapat bertahan hidup. Menurut penuturan Ximena kepada BBC, bapaknya sudah berpikir bahwa mereka pasti akan ditelantarkan dan perusahaan tambang tak akan lebih jauh membantu mereka. Bayangan kematian sudah di depan mata, sehingga muncul doa agar kalau Tuhan mau memanggil sebaiknya pada saat tidur saja supaya derita yang dialami tidak terlalu besar.


Baru sejak hari ke-18, ketika tim penyelamat mendapatkan indikasi bahwa para pekerja itu masih hidup, harapan untuk selamat semakin besar. Para pekerja semula tidak menduga bahwa operasi penyelamatan itu akan melibatkan banyak alat berat, banyak perusahaan dan banyak orang – termasuk Presiden Cile, Sebastian Pinera, bahkan Presiden Evo Morales dari Bolivia. Memang baru pada hari ke-68, evakuasi dapat dimulai. Namun pada hari ke-69 sudah jelas operasi itu sukses menyelamatkan 33 orang pekerja tambang, wong cilik versi Cile, yang di negeri berkembang lain barangkali sudah ditelantarkan, dianggap sebagai “tumbal”.


Karena itu, menarik kata-kata Presiden Sebastian Pinera, bahwa perusahaan yang tidak mempedulikan kesehatan dan keselamatan para pekerjanya tidak akan lagi diberi toleransi. Perubahan harus menyentuh kesehatan dan keselamatan kerja kaum buruh. Ketentuan hukum yang ada harus betul-betul dilaksanakan, bukan hanya dijadikan alat untuk menakut-nakuti bisnis agar rajin memberi upeti pada para pejabat.


Dan apa kata Luis Urzua, mandor berusia 54 tahun yang, bagai nakhoda kapal yang berjiwa ksatria, memilih untuk dievakuasi sebagai orang terakhir dari 33 pekerja itu? Begitu sampai di permukaan dan disambut bapak Presiden, dia berkata: ”Sekarang, giliran Anda yang memainkan peran sebagai mandor. Saya berharap musibah seperti ini tidak pernah akan terjadi lagi”.



Kepedulian kepada Hidup


Dari sudut etika, pelajaran apa yang dapat kita petik? Pertama, seperti ditunjukkan oleh 33 pekerja yang terjebak, kita wajib menyayangi dan mempedulikan hidup kita masing-masing. Banyak umpan balik yang disampaikan lewat internet menyebutkan bahwa perjuangan para pekerja itu untuk tetap bertahan hidup mengilhami banyak orang tentang “kekuatan jiwa manusia”. Daya hidup mereka sangat memberi inspirasi. Konon, dalam sejarah belum pernah ada orang yang terperangkap jauh di perut bumi dapat bertahan lebih dari limapuluh hari. Apalagi mereka harus berbagi makanan yang amat terbatas dan ruang gerak yang sempit.


Meskipun menghadapi tantangan hidup yang besar, mereka tetap menganggap hidup ini harus dipertahankan, karena hidup ini punya makna dan tujuan. Pengalaman serupa pernah dialami oleh Victor Frankl ketika disekap dalam kamp konsentrasi Nazi-Jerman.Atau, seperti dituturkan Erich Fromm, kita wajib mencintai hidup (biophily), bukannya mencintai kematian (necrophily). Nah, tidakkah terorisme, premanisme, tawuranisme, totalitarianisme, itu merupakan perwujudan dari sikap necrophily yang persis bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh 33 pekerja yang terperangkap di tambang di bawah gurun Atacama itu?


Etika biophily tidak harus disamakan dengan egoisme, karena etika itu menekankan cinta kepada hidup semua orang, termasuk hidup kita sendiri. Bahkan dapat kita ajukan contoh bagaimana orang yang egois melanggar etika biophily. Apa yang terjadi kalau salah satu dari 33 orang itu hanya mementingkan dirinya sendiri dalam kondisi serba berkekurangan? Apa yang terjadi kalau pemimpin yang bernama Luis Urzua itu hanya mementingkan dirinya sendiri? Para pekerja itu akan saling berebut, baku pukul dan mati kelelahan sebelum sempat ditemukan dan diselamatkan. Egoisme adalah necrophily, sikap yang membawa maut dan yang tidak menyayangi hidup sesama dan diri sendiri.


Kewajiban etis untuk mempedulikan hidup sesama ini oleh Ricoeur disebut solicitude, yaitu sikap peduli pada orang-orang lain, terutama yang relatif dekat dan terjangkau. Charity begins at home, kata orang Inggris. Ini terutama tampak pada perhatian sanak keluarga, rekan sejawat, tetangga sekampung, terhadap mereka yang terjebak. Kata para pakar sebagaimana dikutip banyak media, kekuatan yang membuat mereka bertahan ialah adanya kontak dengan sanak keluarga dan rekan sejawat sesudah hari ke-18. Ada sikap saling peduli di antara para pekerja yang terjebak. Ada sikap saling peduli antara mereka yang terjebak dengan rekan sejawat yang berusaha menolong mereka. Ada sikap saling peduli yang menguatkan hidup antara mereka yang terjebak dengan sanak keluarga dan warga sekampung.


Namun operasi penyelamatan yang membutuhkan dana besar dan keahlian canggih ini takkan terjadi kalau tidak ada kewajiban etis lain, yaitu keadilan. Hubungan para eksekutif dalam administrasi publik dan administrasi bisnis dengan para bawahannya, apalagi yang berada di dasar piramida kekuasaan, lazimnya cukup jauh. Hubungan Dirut BUMN dengan karyawan bawah atau konsumen orang biasa sangatlah jauh. Korban ledakan tabung gas 3 kg tak dikenal oleh Dirut Pertamina, apalagi oleh Menteri ESDM. Korban tabrakan kereta api di Pemalang dan Solo pada 2 Oktober lalu tak dikenal oleh Dirut PT KAI, apalagi Menteri Perhubungan. Korban banjir Wasior tak dikenal secara pribadi oleh Menko Kesra, apalagi Presiden. Korban lumpur Lapindo pun jauh dari jangkauan pemilik dan pemimpin korporasi.


Bersikap baik dalam kasus-kasus institusional berarti bersikap adil. Presiden harus mengambil jarak yang sama dengan pemilik bisnis pertambangan (yang mungkin cukup dikenalnya karena kontribusi pada pajak dan penurunan angka pengangguran) dengan para buruh yang terjebak, yang berasal dari kalangan wong cilik. Dalam masalah publik, Presiden harus adil, dia harus mengusahakan jarak yang sama dengan semua warga negara, tak peduli apakah warga negara itu kebetulan adalah anaknya, istrinya, besannya, iparnya, atau orang-orang yang tidak dikenal sama sekali. Kaum buruh adalah juga warga negara. Jadi, tepatlah apa yang disampaikan Luis Urzua, “Bapak Presiden, sekarang giliran Anda sebagai mandor”. Ya, seharusnya Presiden adalah mandor besar dengan tanggung jawab besar dan keadilan yang besar.



Penulis adalah guru besar filsafat/etika, staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, mengajar di program pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan di departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia