ASK
ME

REGISTER
NOW

Pancasila dan Egalitarianisme

06/01/2011 00:00:00
Penulis/Peneliti : Prof.Dr. Alois Agus Nugroho

Bidang Penelitian : Etika

Jurnal : Harian Suara Pembaruan

Volume : Sabtu, 28 Mei 2011

Tahun : 2011


Pancasila dan Egalitarianisme

Oleh: Alois A.Nugroho

Kebiasaan untuk memandang dan memperlakukan orang lain setara merupakan hal amat penting dalam Pancasila. Pada saat Pancasila pertama kali dipidatokan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945, Indonesia masih berada di bawah kondisi ketidaksetaraan. Kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, feodalisme anak negeri, maupun pelbagai bentuk ketaksetaraan lainnya adalah situasi yang agak umum di seluruh wilayah yang oleh Multatuli dijuluki De Gordel van Smaragd (Rangkaian Zamrud) ini.

Pada lingkup nasional, kesetaraan adalah habitus baru yang masih perlu ditumbuhkan dan ditanamkan. Bahkan sesudah Indonesia merdeka pun, di bawah rezim Orla maupun Orba, ketidaksetaraan seperti yang ditunjukkan oleh Bupati Lebak dan Residen Banten dalam Max Havelaar masih dapat diamati. Sekarang ini, dalam Orde Reformasi, digaungkan perlunya pendidikan karakter. Sikap egaliter adalah sikap yang perlu ditanamkan dalam pendidikan karakter. Tanpa itu, Orde Reformasi hanya akan menjadi Orde Citra. Citra yang dibangun adalah citra egaliter, namun proses politik dan proses sosial yang ada ialah menguatnya sikap feodal atau bahkan sikap kolonial.


Kemerdekaan dan Kerjasama Nasional

Ketika Pancasila dipidatokan, Indonesia masih di bawah dominasi asing. Hampir dua ratus tahun lamanya Nusantara diperlakukan sebagai mitra yang tidak setara oleh Perusahaan Multinasional pertama dalam sejarah bisnis global yang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Sekitar seratus lima puluh tahun kemudian, ketidaksetaraan itu dilanjutkan oleh pemerintah dari wilayah yang oleh bangsa Inggris disebut low countries, negeri-negeri yang lebih rendah dari permukaan laut. Itu pun masih ditambah dengan masa pendudukan Jepang dan dibentuknya NICA (Nederlandsch-Indie Civil Administratie).

Maka, sangat tepat kalau para Bapak Bangsa Indonesia menyatakan bahwa semua bangsa di dunia ini setara dalam hal memiliki hak untuk merdeka dan bahwa penjajahan bukanlah corak hubungan antar bangsa yang setara dan adil. Pancasila yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD ’45 tidaklah dapat dilepaskan dari pernyataan etika dan politik dari alinea pertama:”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Merdeka itu berarti memasuki hubungan yang setara dengan bangsa-bangsa lain.

Juga sangat tepat sebenarnya keinginan Bung Karno untuk mengambil inspirasi dari habitus gotong royong masyarakat desa (yang diacu dengan pelbagai nama, tergantung daerahnya) dan mengangkatnya ke lingkup nasional. Ungkapan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi gotong royong sebaiknya tidak hanya dicurigai sebagai manuver kaum komunis untuk meniadakan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Memang, dalam zaman Orla yang penuh dengan agitasi dan intimidasi dari pihak PKI, kecurigaan semacam itu amat dapat dipahami.

Namun sebenarnya, ungkapan Bung Karno yang mengaitkan Pancasila dengan gotong royong itu bisa juga ditafsirkan untuk sekadar mengingatkan bahwa dalam persatuan nasional ini nilai “kesetaraan” sangatlah penting. Praktik gotong royong memperlakukan setiap partisipan secara setara, tanpa memandang agama, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, warna kulit, dan semacamnya. Bagaimanakah sikap egaliter semacam itu diangkat ke lingkup nasional yang mengandaikan tingkat pluralitas yang lebih tinggi, itulah persoalannya. Padahal, tanpa kesetaraan antar cara hidup dan pandangan hidup yang majemuk itu hidup bernegara menjadi lebih sukar, kalau tidak malah mustahil. Meminjam filsuf politik kontemporer yang bernama John Rawls, kesetaraan – apalagi dalam masyarakat yang majemuk – adalah syarat penting bagi hidup bernegara sebagai suatu “sistem kerjasama sosial” (Rawls, 1993, hal. 15-21). Menjadi sebuah bangsa yang merdeka ialah memasuki sebuah kerja sama sosial di antara pihak-pihak yang setara.

Maka, dalam menyusun Pancasila, para Bapak Bangsa kita berikhtiar jangan sampai dasar negara itu didominasi oleh satu pandangan hidup atau ajaran moral saja. Jangan sampai ada yang dipinggirkan, dianaktirikan, tidak didengarkan suaranya, bahkan ditolak partisipasinya. Dilihat dari sudut kemajemukan religius, Pancasila tidak menggunakan doktrin dan kosa kata yang hanya berasal dan hanya dimengerti oleh satu golongan agama saja. Dilihat dari sudut kesukuan dan ras, Pancasila juga tidak secara eksklusif berakar pada ajaran budaya dan ajaran moral satu suku tertentu.

Melalui proses historis, utamanya yang bergulir selama paruh pertama abad keduapuluh, para perintis kemerdekaan melakukan perbincangan publik untuk menggali nilai-nilai dasar yang sama (shared values) yang dapat dijadikan pegangan dasar bersama. Di luar nilai-nilai dasar itu kita bebas untuk berbeda. Bahkan rincian dan tafsir tentang nilai-nilai bersama itu masih saja boleh berbeda. Ketuhanan Yang Maha Esa oleh kaum Muslimin tentulah diartikan dari sudut Tauhid. Namun, para penganut Nasrani akan mengartikannya dari sudut doktrin Trinitas (Tuhan Yang Esa berpribadi tiga).

Yang juga perlu ditekankan dari semangat kesetaraan ini ialah sikap anti kekerasan (Rorty, 1989), baik kekerasan simbolik, maupun - dan terutama - kekerasan fisik. Kekerasan mengingkari kesetaraan, karena menjadikan pihak lain obyek dari keunggulan simbolik maupun fisik. Bahkan Mahatma Gandhi mengajarkan bahwa untuk mengakhiri ketidaksetaraan dan menciptakan kesetaraan, kita sebaiknya tidak menggunakan kekerasan (ahimsa).

Seorang suami yang memukul istrinya atau melarang istrinya bekerja dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal sering dikatakan melanggar kesetaraan gender. Seorang pemimpin yang melindungi bawahannya dari jangkauan hukum dan mengejar kasus korupsi para lawan politiknya tanpa ampun sering pula dikatakan sebagai melanggar kesamaan di hadapan hukum. Pelanggaran kesetaraan itu dapat diacu dengan bermacam-macam istilah, semisal diskriminasi, tebang-pilih, marginalisasi, dominasi, hegemonisme – dan jangan lupa terorisme.

Karena pentingnya nilai kesetaraan, maka mengaktualkan Pancasila dapat diartikan sebagai membiasakan diri untuk bersikap egaliter. Seperti sudah digarisbawahi, sikap egaliter adalah sikap yang perlu ditanamkan dalam pendidikan karakter. Para panutan perlu menunjukkan sikap itu, tidak hanya dalam kata-kata dan di bawah sorotan kamera televisi. Proses politik dan proses hukum yang nyata-nyata terjadi haruslah ditandai oleh kesetaraan itu. Dengan adanya egalitarianisme, keutuhan NKRI akan tetap terjaga, karena egalitarianisme merupakan syarat bagi hidupnya negara sebagai “kerja sama sosial yang adil”.


Penulis adalah guru besar filsafat di FIABIKOM dan staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, dosen di Pascasarjana STF Driyarkara dan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.