ASK
ME

REGISTER
NOW

Meninggalkan Jakarta Tidaklah Begitu Buruk

3/2/2006 12:00:00 AM
Oleh: Watumesa Agustina 2003-80-012

Pengantar:
Salah seorang mahasiswa Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya kembali mengukir prestasi. Watumesa Agustina, mahasiswa angkatan 2003, meraih Juara Pertama dalam lomba karya ilmiah berbahasa Inggris yang diadakan oleh The International Students Association on Agriculture (IAAS) pada tanggal 15-16 Februari 2006 di Kendari, Sulawesi Tenggara. Karya ilmiah yang dipresentasikan berjudul “Fermented Agricultural Carbohydrate By-Products and Their Potential as Nonconventional Ruminant Feed in Indonesia.” Berikut ini adalah sekelumit pengalaman Watumesa selama mengikuti perlombaan tersebut (red).

Setelah beberapa minggu berkutat dengan karya ilmiah saya yang terakhir, akhirnya saya berangkat ke Kendari untuk mengikuti babak presentasi. Saya pergi dari Bandara Soekarno-Hatta pada hari Valentine, di mana saya menghabiskan malam yang disebut-sebut sebagai “malam paling romantis” dengan mencium asap rokok yang tak henti-hentinya dihembuskan oleh para perokok berat di sekitar saya. Ternyata begitulah pelaksanaan peraturan area bebas merokok.

Lomba karya ilmiah berbahasa Inggris ini diadakan oleh The International Students Association on Agriculture (IAAS) pada tanggal 15-16 Februari 2006. IAAS memiliki setidaknya tujuh universitas yang berperan sebagai komite lokal di Indonesia, dan setiap tahun mereka bergantian mengorganisir kompetisi serupa. Tahun ini merupakan giliran Universitas Haluoleo, yang memberikan saya pengalaman pertama dalam berpergian ke luar kota seorang diri. Saya sendiri bukanlah tipe orang yang suka berpergian.

Acara ini merupakan kompetisi terunik yang pernah saya ikuti. Semua penerbangan ke Kendari dijadwalkan pada malam hari sehingga seluruh peserta tiba di asrama lewat tengah malam. Oleh karena itu, panitia terpaksa mengadakan technical meeting pada pukul 2 pagi. Acaranya sendiri akan dimulai cukup awal, pada pukul 9 pagi.

Kejutan-kejutan mulai berdatangan setelah upacara pembukaan selesai. Ternyata empat peserta mengundurkan diri. Dari sepuluh finalis yang seharusnya tampil, yang tersisa hanyalah kami berenam. Pada sesi tanya jawab peserta pertama, tiba-tiba listrik padam. Hal ini terulang kembali setidaknya tiga kali dan kami harus menunggu cukup lama (waktu terlama yang dihabiskan untuk menunggu listrik menyala kembali mencapai satu setengah jam). Lebih parah lagi, saya adalah presenter yang terakhir! Saya menjadi gugup ketika listrik padam lagi untuk ketiga kalinya, tepat sebelum giliran saya. Juri-juri sudah terlihat bosan sehingga saya mulai kehilangan rasa percaya diri.

Saya tidak terlalu yakin apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ketika lampu akhirnya menyala kembali, saya telah berhasil mengumpulkan semua keberanian. Saya berkata pada diri sendiri, “Saya tidak akan berpergian sejauh ini, bolos kuliah, hanya untuk diganggu oleh masalah teknis yang ‘sepele’”. Saya naik ke atas panggung dan berusaha sebaik mungkin untuk mengembalikan perhatian juri. Saya tersenyum, meninggikan suara, dan memutar otak untuk memberikan lelucon-lelucon.

Entah bagaimana, usaha itu berhasil. Ketika tiba saatnya pengumuman pemenang, ketua juri menyebutkan nama saya! Saya cukup terkejut karena salah satu peserta yang lain cukup tangguh – ia berasal dari Universitas Indonesia – dan ia memperoleh juara dua. Juara tiga dan empat diperoleh Universitas Brawijaya. Dua peserta lain, yang berasal dari Universitas Lambung Mangkurat, menerima keputusan juri dengan sangat baik dan menyatakan bahwa semua hal ini merupakan pengalaman yang sangat baik bagi mereka.

Jam telah menunjukkan pukul setengah delapan malah ketika kami kembali ke asrama. Kami beristirahat karena panitia telah berjanji untuk membawa kami keliling Kendari keesokan harinya, karena acara yang direncanakan berlangsung dua hari ternyata telah selesai dalam satu hari.

Setelah puas berjalan-jalan, hari kedua ditutup dengan evaluasi. Kami berkumpul pada malam harinya, saling mengucapkan terima kasih, memberikan kesan-kesan selama acara berlangsung, dan berjanji akan bertemu kembali suatu hari. Kami bahkan melakukan dansa untuk pesta khas Kendari, sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan ketika berada di Jakarta. Yang menakjubkan, saya menikmati semua itu.

Saya kembali ke Jakarta, rumah tercinta, pagi-pagi sekali keesokan harinya. Pagi itu merupakan pagi yang mendung. Rintik hujan jatuh ke tanah, membasahi seluruh permukaannya. Ketika pesawat lepas dari daratan, saya berpikir, “Meninggalkan Jakarta ternyata tidaklah begitu buruk.”