ASK
ME

REGISTER
NOW

MEMIMPIN DENGAN BLUSUKAN

03/27/2013 00:00:00

Penulis/Peneliti : Alois A. Nugroho


Jurnal : Suara Pembaruan


Volume : 9 Maret 2013



Blusukan ialah gaya kepemimpinan yang sedang jadi buah bibir di Indonesia.  Media  mengaitkan gaya kepemimpinan “blusukan” dengan praktik administrasi publik Gubernur DKI yang baru, Joko Widodo.  Disebutkan bahwa praktik blusukan sudah dijalankan pak Jokowi  sewaktu menjabat sebagai Walikota Solo selama lebih dari satu masa jabatan.  Keberhasilan gaya itulah yang dianggap telah mengantarkannya sebagai satu di antara walikota-walikota terbaik di dunia.

                Mengapa  gaya kepemimpinan blusukan itu dikaitkan  dengan efektivitas kepemimpinan? Ada setidak-tidaknya tiga alasan. Alasan pertama berkaitan dengan latar belakang budaya tradisional yang masih mewarnai  Republik  Nusantara modern ini. Alasan kedua berhubungan dengan  praktik “korupsi sehari-hari”. Alasan ketiga bertolak dari upaya tiap organisasi atau unit administrasi untuk menjadi “excellence”.

                Alasan pertama sudah dapat kita simak dari pelbagai wawancara menyangkut motif atau tujuan di balik gaya blusukan itu. Dengan turun ke lapangan, tanpa pengaturan protokoler yang terlalu ketat, seorang pemimpin akan dapat mengetahui kondisi dan permasalahan sesungguhnya di lapangan. Dengan turun langsung, seorang pemimpin akan dapat mendengarkan secara langsung pelbagai aspirasi dan saran dari khalayak.

 Kondisi, permasalahan, aspirasi serta saran itu tak akan diperoleh seandainya seorang pemimpin hanya duduk manis di kantor sambil menunggu laporan dari para bawahan. Birokrasi akan menyaring atau menyeleksi laporan-laporan yang masuk dan menata rumusan-rumusan sedemikian rupa sehingga semua tampak baik-baik saja. Kalau pun ada pihak yang perlu disalahkan tentulah pihak itu “kambing hitam”.

Halnya memang demikian, karena dalam komunikasi dengan atasan, kita sedapat mungkin tidak mengganggu ketenangan dan kedamaian hati sang pemimpin. Dalam bahasa Orde Baru, bawahan wajib menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Maka, komunikasi vertikal, termasuk laporan kepada atasan, penuh dengan pesan-pesan ABS (Asal Bapak Senang). Pada masa kini, laporan ABS itu sering  dilengkapi dengan data statistik yang ditampilkan secara indah, namun tak jarang menyesatkan.

Dengan menyadari latar belakang budaya semacam itu, maka seorang raja Jawa berpendidikan Barat tidak mau lagi sekadar menjalankan praktik administrasinya berdasarkan laporan-laporan dari para bawahan semata-mata.  Demikianlah, Sultan Hamengkubuwono IX  disebut-sebut sering melakukan praktik “njajah desa milang kori” (masuk-keluar kampung seakan-akan menghitung jumlah pintu rumah) untuk melihat langsung kondisi kehidupan rakyat dan mendengarkan aspirasi rakyat. (Solopos, 31 Januari 2013).

 Alasan yang kedua, kita sebagai  rakyat biasa barang tentu sesekali pernah berurusan dengan birokrasi.  Sering, di dinding sebuah kantor ada poster besar yang mengatakan bahwa di kantor itu khalayak dilarang mengunakan jasa calo.   Memang  tak ada calo beroperasi di ruang tunggu, karena  adanya malah  di seberang loket, duduk manis berseragam di balik meja-meja kantor.  Nah, yang dilaporkan ke atasan adalah bahwa khalayak sudah diingatkan agar mereka tidak memakai jasa calo. Pemasangan poster itulah bukti fisik yang tidak terbantahkan.

Di Indonesia  ini, menjadi rakyat biasa itu memang serba salah. Bila tidak membayar “orang dalam”,  urusan tidak akan selesai atau, sekurang-kurangnya, akan berkepanjangan.  Bila membayar, maka kita dianggap menyalahi peringatan yang sudah dicantumkan pada poster-poster anti-percaloan di atas. Celakanya, apa yang oleh  Blundo dan de Sardan (2006)  disebut “korupsi sehari-hari” ini kalau mau diurus,  hanya akan membuat KPK tak punya  waktu dan tenaga lagi untuk membongkar kasus-kasus besar, semacam impor daging sapi, kasus Hambalang dan kasus Bank Century.

Sebagai sekadar satu contoh, kepemimpinan blusukan telah menemukan “korupsi sehari-hari” yang mempersulit rakyat kecil dalam usaha mereka pindah ke rumah susun Marunda. Ini menyebabkan dicopotnya Kepala Unit Pengelola Teknis Rusun Marunda (Suarapembaruan.com, 31 Januari 2013). Bahkan diduga berakibat pada mundurnya Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta (Suarapembaruan.com, 12 Februari 2013).

 

Mementaskan  Pancasila

Blusukan  dapatlah dianggap sebagai versi rakyat biasa dari kiat aristokrat berupa “njajah desa milang kori”,  karena keduanya bertujuan sama, yakni melihat dan mendengar langsung  dari lapangan.  Lebih jauh lagi, blusukan dapat pula dianggap versi Indonesia dari kiat manajemen universal yang oleh pakar manajemen bernama Tom Peters pernah disebut sebagai MBWA, singkatan dari “Management by Wandering Around” atau “Management By Walking Around”.

                 Dilihat dari perspektif ini, manajemen blusukan ialah teknik untuk mementaskan atau mempertunjukkan nilai-nilai yang dianut organisasi kepada pihak-pihak di dalam organisasi maupun di luar organisasi. Rakyat kecil jarang bertemu muka dengan camat, bupati, walikota, apalagi gubernur,  Kalau pun harus berurusan dengan birokrasi, rakyat kecil tentu berurusan dengan pegawai dan karyawan yang bekerja pada unit administrasi paling bawah, semisal polisi pamong praja, dinas tramtib, polisi lalu lintas, pegawai kantor kelurahan, kantor imigrasi, dan sebagainya. Para pegawai dan karyawan yang bekerja pada unit administrasi paling bawah itu pun jarang  bertemu dengan pimpinan di pucuk unit organisasi.

                Memang, tugas seorang pemimpin dalam salah satu unit administrasi Republik Indonesia  ialah  mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila  ke dalam semua tutur kata dan gerak-gerik badannya pada forum publik. Dengan manajemen blusukan, tindakan-tindakan sang pemimpin dapat dilihat dan dijadikan panutan oleh rakyat biasa. Sebagai unsur penting dalam Manajemen  Indonesia,  gaya kepemimpinan blusukan memperlihatkan pemihakan pada rakyat yang melarat, pada keadilan, pada kemanusiaan, pada sikap merangkul seluruh warga apa pun ras, suku dan agamanya, pada kerendahhatian yang religius. 

 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

Penulis adalah Guru Besar Filsafat dan Etika pada FIABIKOM dan staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya