ASK
ME

REGISTER
NOW

MARTABAT PEJABAT PUBLIK

10/18/2013 00:00:00

Penulis/Peneliti : Alois A. Nugroho

 

Jurnal                  : Suara Pembaruan

 

Volume               : 14 Oktober

 

Tahun                 : 2013

 

 

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik, baik dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, semakin banyak terbongkar. Ketika pelbagai kasus korupsi masih diproses di pengadilan, muncul berita bahwa KPK secara dramatis menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2 Oktober 2013  atas tuduhan korupsi menyangkut Pilkada Gunung Mas (Kalimantan Tengah) dan Lebak (Banten).

 

Padahal, korupsi benar-benar merugikan rakyat banyak. Penelitian yang dilakukan oleh UGM atas data yang berasal dari putusan Mahkamah Agung 2011-2012, menemukan bahwa uang negara yang lenyap akibat korupsi adalah Rp. 153,1 trilyun. Bandingkan ini dengan kebutuhan Pemerintah DKI Jakarta untuk membangun monorail bagi rakyat banyak yang hanya Rp. 7 trilyun. Kebutuhan Pemerintah DKI untuk membangun 100 blok rusun enam tingkat pada 2014 pun hanyalah Rp. 20-22 milyar per blok.

 

Artinya apa? Kalau kebiasaan melakukan korupsi dapat kita akhiri, kurangnya infrastruktur, yang merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing kita, dapat semakin dibangun dan ditingkatkan. Rakyat kebanyakan juga akan lebih mudah dalam ikhtiar untuk hidup dan mencari nafkah. Semua warga negara Republik Indonesia, dimana pun dia hidup, akan dapat hidup layak sebagai manusia: punya kebebasan, kemandirian dan memilliki andil dan sumbangan dalam kehidupan bersama.

 

Aristoteles (384-322 BC) memahami manusia sebagai satu-satunya binatang yang berakal budi (zoon logon echon) dan yang berpolitik (zoon politikon). Dalam arti ini, hidup manusia ialah hidup yang mewujudkan kemampuannya berakal budi, yakni kemampuan untuk menentukan apa “yang baik”, untuk memahami bahwa “hal ini lebih baik atau lebih layak daripada hal itu” (prohairesis). Kemampuan akal budi itu tampak dalam kemampuannya bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai “baik” dalam urutan kebaikan yang ditemukannya melalui pengalaman dan pergaulan dengan orang lain.

 

Seorang manusia yang tak ingin hidupnya  turun derajat menjadi semata-mata hidup seekor “binatang” akan selalu menggunakan akal budinya untuk mengarahkan hidupnya pada “yang baik”.  Agar hidupnya mengarah pada “yang baik”, manusia menentukan kewajiban-kewajiban yang pada umumnya harus ditaatinya dan menjadikannya kecenderungan atau kebiasaan (hexis).

 

Pemasaran Politik

 

Maka pertanyaannya adalah, apakah para pejabat publik kita yang korup itu ingin hidup seperti “binatang” saja dan tidak ingin hidup seperti layaknya manusia sebagaimana dimaknai oleh Aristoteles? Dirumuskan dengan singkat, apakah para pejabat publik kita yang melakukan korupsi itu ingin hidup sesuai dengan martabatnya sebagai manusia?

 

Kalau jawabnya tidak, atau tidak terlalu menghiraukan hal itu, maka mereka tidak peduli apakah korupsi itu mengarah pada apa yang menurut akal budi mereka menuju “yang baik”. Mereka juga tidak peduli, apakah korupsi itu menghambat upaya untuk menciptakan masyarakat “yang baik”. Mereka sedapat mungkin akan menghindari rasa sakit dan mencari kenikmatan. Mereka melihat kekuasaan sebagai sumber kenikmatan dan penghindaran rasa sakit, sebagai sumber keuntungan dan penghindaran pengorbanan.  Tentu seperti pada binatang, mereka juga akan mempedulikan penghindaran rasa sakit dan kenikmatan anak cucu, sanak kerabat, kelompok, komunitas, partai. Mereka itu hanya beratribut pejabat publik, namun perilaku dan kebijakannya hanya membela kepentingan orang-orang dekat.

 

Padahal dapat diasumsikan, bahwa hampir semua pejabat publik kita itu orang yang beragama, bahkan gemar menampilkan simbol-simbol agama. Ibadah mereka pun sering ditampilkan oleh media. Meski pun urutan prioritas dari apa yang dapat dikatakan “baik” itu berbeda-beda di antara satu agama dengan agama lain, namun setiap agama mengajarkan apa yang disebut “baik”. Di sinilah persoalannya, mungkin ajaran tentang yang baik itu sangat diketahui dan dipahami, namun sama sekali tidak tercermin dalam tindakan. Ada jurang antara pengetahuan moral dan tindakan-tindakan yang bahkan bertentangan dengan pengetahuan itu.

 

Belajar dari Anthony Giddens dalam The Politics of Climate Change, jurang menganga antara pengetahuan dan tindakan itu bisa saja muncul karena akibat tindakan tidak etis itu baru akan dirasakan setelah selang waktu yang cukup lama.  Infrastruktur yang kurang bermutu, semisal jembatan atau jalan, akan rusak dan menimbulkan kecelakaan jauh sesudah dananya digerogoti korupsi. Sistem pemerintahan membusuk akan tampak beberapa tahun sesudah calon yang terpilih lewat “politik uang” akan habis masa jabatannya.

 

Jurang antara pengetahuan dan tindakan itu dapat juga muncul karena sistem nilai yang dominan sekarang ini bukan lagi sistem nilai sebagaimana diajarkan agama-agama, melainkan sistem nilai yang diajarkan oleh “pasar”.  Dalam menciptakan citra diri, para pejabat publik boleh saja menggambarkan diri sebagai orang yang agamis, soleh, beriman dan bertakwa. Namun perilaku mereka sebagai pejabat publik sebenarnya didikte oleh “logika pasar”.

 

Dalam logika pasar, kedudukan dan kewenangan lantas dianggap sebagai komoditas karena ditandai oleh kelangkaan. Mengapa langka? Karena hanya orang dalam kedudukan tertentu yang berwenang untuk memutuskan. Kedudukan dan kewenangan itu lalu diperlakukan sebagai milik sendiri, sebagai properti. Itu mulai dari wewenang mengeluarkan KTP, paspor, menentukan keringanan pajak, sampai dengan memilih Deputi Gubernur Bank Indonesia, membahas RUU dan memutuskan kasus Pilkada. Dengan demikian, kedudukan dan kewenangan itu diperdagangkan. Keputusan dan kebijakan dapat dinegosiasikan. Apa keputusannya tergantung pada berapa bayarannya.

 

Maka rakyat perlu mengingatkan para pejabat publik – di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif – bahwa dalam sistem demokrasi, kedudukan dan kewenangan itu bukan milik pribadi pejabat, melainkan bersumber dari “kedaulatan rakyat”.  Kedudukan dan kewenangan itu wajib dipakai untuk menciptakan masyarakat yang “baik”.

 


 

Penulis adalah guru besar filsafat dan etika, dosen FIABIKOM dan staf Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya Jakarta