ASK
ME

REGISTER
NOW

Marshall Plan II

02/23/2005 00:00:00
Penulis/Peneliti : A. Prasetyantoko, SE, MSc

Bidang Penelitian :

Jurnal : Media Indonesia

Volume :

Tahun : Januari 2005

Tidak bisa dipungkiri bahwa respons dunia sangatlah cepat dan masif menanggapi bencana gempa bumi dan tsunami di kawasan Asia, khususnya Indonesia. Hanya berselang beberapa hari, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Tsunami terselenggara secara darurat di Jakarta. Tak kurang dari 25 kepala negara dan para menteri serta sembilan petinggi organisasi regional/internasional (Bank Dunia, PBB, ADB, dan sebagainya) turut berpartisipasi. Dalam acara tersebut disepakati bantuan kepada seluruh negara korban gempa bumi dan tsunami di Asia sebesar US$3 miliar. Uni Eropa memberi komitmen pinjaman dan hibah sebesar Euro1,5 miliar (US$2 miliar), sementara Jepang US$500 juta, Inggris US$180 juta, dan Singapura Us$10 juta. Sekjen PBB Kofi Annan menyebut KTT sebagai arena "kontes kecantikan" (beauty contest).

Perlu disadari bahwa paket bantuan tersebut tidak seluruhnya berupa hibah, melainkan juga pinjaman. Dan lagi, komitmen tersebut belum tentu sesuai dengan realisasinya. Menariknya lagi, menanggapi bencana dhasyat tersebut, muncul wacana mengenai penerapan "Marshall Plan II" terhadap negara korban bencana. Sebagaimana kita tahu, Marshall Plan adalah paket bantuan yang diberikan Amerika Serikat (AS) kepada negara-negara di kawasan Eropa Barat yang pada masa setelah perang dunia II mengalami kerusakan yang sangat dahsyat. Selanjutnya, model dan cara pandang (ideologi) tersebut direplikasi oleh negara-negara Barat dalam membantu negara-negara belum berkembang (under-developed countries). Mereka meyakini bahwa negara-negara tersebut harus dipercepat pembangunannya agar bisa mengejar ketertinggalan mereka dari negara-negara maju (developed countries). Begitulah tonggak ideologi "pembangunanisme" (developmentalism) muncul dan berkembang hingga kini.

Sejarah mencatat, model pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan sebagaimana dikembangkan oleh mazhab Marshall Plan telah membantu sejumlah negara untuk mengalami kebangkitan ekonomi, misalnya Korea Selatan. Tetapi tidak sedikit, negara yang justru terjebak kepada problem pembangunan yang sangat parah. Sumber dari persoalan itu adalah tidak jalannya keyakinan akan prinsip menetes ke bawah yang menjadi pedoman para teoritikus mazhab pertumbuhan. Banyak negara terjebak pada tumpukan utang, misalnya di negara Amerika Latin, yang kemudian muncul paham baru, yaitu ketergantungan. Kredibilitas Dalam pertemuan Paris Club (konsorsium 21 negara kreditor), 12 Januari lalu di Paris, Indonesia bersama dengan Sri Lanka dan Seychelles menyetujui penjadwalan utang (moratorium). Sementara Thailand dan India menolaknya. Paris Club sepakat menangguhkan pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri Pemerintah Indonesia sebanyak US$3 miliar yang jatuh tempo pada tahun ini. Pascapertemuan Paris Club, para juru runding pemerintah RI kecewa, karena ternyata para kreditor tetap menuntut persyaratan (conditionalities) tertentu, seperti kesetaraan dengan utang komersial (comparability). Rupanya tarik-menarik politis sedang terjadi, yang dimulai dengan KTT Tsunami, pertemuan Paris Club dan kesepakatan-kesepakatan bilateral yang kemudian terjadi.

Dan kesenjangan pun mulai terjadi, antara janji dan realisasi. Sebenarnya, pokok masalahnya sederhana, sama seperti soal utang-piutang biasa pada umumnya, para kreditor membutuhkan jaminan agar uang yang dipinjamkan bisa dikembalikan dengan baik. Ataupun jika mereka memberikan hibah, harus ada jaminan digunakan secara benar dan sampai sasaran. Jadi mereka membutuhkan tingkat kredibilitas yang tinggi dari pemerintah negeri ini dalam mengelola bantuan. Pemerintah berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, berkaitan dengan moratorium ini, banyak kritik pedas dari kalangan masyarakat. Pertama menyangkut jumlah utang yang di-reschedulling. Para ekonom menyatakan bahwa semestinya pemerintah Indonesia "meminta" jumlah yang lebih besar (sekitar Rp100 triliun), ketimbang hanya "menerima" tawaran sebesar kurang lebih Rp30 triliun. Sebagian lagi justru menyayangkan sikap pemerintah yang hanya menerima tawaran moratorium, bukannya meminta pengurangan (penghapusan sebagian) pokok pinjaman. Di sisi yang lain, kredibilitas pemerintah juga tengah menjadi sorotan dunia. Pengamat Indonesia Michael Vatikiotis, dalam International Herald Tribune (11/1/2005) menunjukkan kesangsiannya pemerintah Indonesia mampu mengelola seluruh pasokan dana ke Aceh secara benar. Hal tersebut terkait dengan stigma korupsi yang sudah sedemikian mendarah daging dalam struktur birokrasi di Indonesia. Dalam konteks yang lain, Financial Times (11/1/2005) menunjukkan dualisme birokrasi di Aceh (sipil dan militer) sebagai kendala penting dalam proses pemulihan.

Sehari sebelumnya, harian yang sama menyoroti latar belakang militer Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi catatan tersendiri di tengah sejarah kelam eksistensi militer di Aceh. Media Barat menengarai, bagaimanapun Presiden memiliki beban untuk terus menutupi stigma tersebut. Selanjutnya, kondisi ini menyulitkan usaha sang Presiden melakukan rekonstruksi Aceh dalam jangka panjang. Hampir semua media Barat menyatakan bahwa rekonstruksi Aceh adalah sebuah batu ujian bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Selama ini, terlalu sering pemerintah baru mengumbar janji untuk melakukan berbagai pembenahan di negeri ini. Namun, harus diakui bahwa kendalanya luar biasa besar. Sepertinya kita sepakat bahwa cara pemerintah menangani masalah Aceh bisa di-ekstrapolasi (meramal) terhadap pola pemerintahan rezim ini selama 5 tahun. Sikap tegas Salah satu variabel penting yang bisa dijadikan parameter adalah sikap pemerintah dalam mengelola utang. Oleh banyak kalangan, utang luar negeri sudah tidak lagi dilihat sebagai sebuah instrumen pembiayaan, melainkan sebuah perangkap ideologi. Tentu saja kita setuju bahwa utang luar negeri adalah instrumen yang lebih baik ketimbang penerbitan obligasi, karena selain bunga lebih rendah, jangka lebih panjang, juga bisa dinegosiasikan. Namun bukan berarti bahwa instrumen ini bebas nilai.

Kita baru saja melihat bagaimana para kreditor memiliki sikap yang dualistis, di satu sisi menggunakan isu kemanusiaan dalam menawarkan bantuan, tetapi di pihak lain menuntut "kelayakan bisnis" yang tentu saja wajar juga bila disyaratkan. Dalam hal ini sikap pemerintah sudah benar, yaitu menolak komitmen pinjaman baru. Tetapi dengan terus menuruti berbagai persyaratan yang diminta para pemberi bantuan, kita sedang memasuki areal rumit yang jika tidak hati-hati akan menjebak kita dalam pilihan yang sulit. Para kelompok antiutang menamai dinamika ini sebagai "perangkap pembangunanisme". Sikap Thailand dan India dengan tegas menolak. Sementara, kita mencoba merespons tawaran tersebut, dan kini mulai terasa kita sedang masuk pada wilayah "permainan" para kreditor. Tanpa menuduh bahwa mereka adalah pihak yang bermaksud buruk dan ingin mencelakakan kita sebagai bangsa. Namun harus diakui bahwa tanpa sikap yang kuat, umpan tersebut justru akan membawa kita masuk dalam lorong yang rumit (labirin). Dengan demikian, ada baiknya kita mendorong pemerintah agar bersikap lebih tegas lagi dalam menyikapi berbagai tawaran bantuan dari negara maju, khususnya menyangkut berbagai persyaratan moratorium.

Perangkap berpikir lainnya adalah pandangan bahwa moratorium tidak perlu dilakukan karena hanya akan menurunkan peringkat hutang negeri kita, sehingga kita akan kesulitan untuk meminta komitmen pinjaman baru. Kita ingin tetap dianggap anak manis, sehingga kita akan "disusui" terus-menerus. Komitmen pemerintah menyikapi utang luar negeri sedang kita lihat di hari-hari ini. Dan meski sudah terlanjur memutuskan untuk masuk dalam lorong tawaran moratorium, semoga bukan berarti bahwa pemerintah akan terjebak dalam skema "Marshall Plan II" sebagaimana diteriakkan oleh beberapa petinggi negara barat. Selain harus bergulat di kancah percaturan internasional, pemerintah juga harus menyelesaikan kontradiksi di dalam birokrasinya sendiri agar instrumen-instrumen kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka rekonstruksi Aceh tidak kontraproduktif. Karena bagaimana cara pemerintah menyelesaikan kasus Aceh ini akan menjadi cerminan tentang bagaimana nasib seluruh negeri ini selama 5 tahun mendatang. Penanganan kasus Aceh adalah ujian konkret dari program 100 hari.