ASK
ME

REGISTER
NOW

Komunikasi Politik dan Kemajuan Demokrasi

03/19/2014 00:00:00

Sangat tepat jika dikatakan bahwa tahun 2014 adalah tahun Pemilu paling ditunggu oleh para pengamat, pelaku media, dan tentunya masyarakat sendiri. Para calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) begitu gencar untuk menangkap antusiasme masyarakat yang tinggi, karena bisa memperbesar peluang kemenangan mereka dalam Pemilu kali ini.

 

Satu hal mencolok adalah politik personalitas yang mendominasi ajang kontestasi politik tersebut. Kekuatan partai pun makin menipis dan tidak begitu berpengaruh terhadap elektabilitas para kandidat, karena kualitas individu lebih menentukan nasib politik dari calon itu sendiri.

Posisi partai kian terhempas oleh jasa konsultan politik dan lembaga survei yang lebih menguntungkan bagi calon itu sendiri. Konsekuensinya adalah selain biaya politik makin mahal yang bisa berdampak pada eksklusi politik, kualitas para kandidat juga akan makin rendah karena merajalelanya politisi instan yang tidak terlalu memikirkan ideologi, visi, misi dan track-record, karena patokannya jadi asal bisa menang dengan mengandalkan iklan dan uang.

 

Media pun ikut ambil untung dalam kontestasi berbasis modal ini. Lewat penayangan iklan yang terus-menerus, tentu mendatangkan keuntangan besar bagi media khususnya televisi. Media sebagai ruang publik menjadi sangat elitis dan hanya dapat diakses oleh mereka yang bisa membayar.

 

Selanjutnya, media di Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada masalah yang lebih serius, yaitu: kuatnya kedekatan antara politik dan media. Seperti sudah sering diperbincangkan dan ditulis, kepemilikan media yang cenderung berbentuk konglomerasi serta dikuasai oleh petinggi partai politik ditakutkan akan menghapus kepentingan publik. Struktur kepemilikan media seperti itu merugikan masyarakat.

Solusi yang paling sederhana adalah memberi sanksi tegas kepada pemilik media yang menyalahgunakan media dan melanggar peraturan yang berlaku. Namun, kendalah paling berat adalah lemahnya otoritas dari Komisi Penyiaran Indonesia untuk memberi sanksi tegas kepada para pelanggar aturan tersebut. Ke depan perlu dilakukan perubahan undang-undang tentang KPI, UU Penyiaran maupun UU Pers yang lebih menegaskan sanksi berat terhadap individu, maupun lembaga yang melanggar ketentuan tersebut.

 

Dalam konteks lemahnya penegakan hukum berkaitan dengan media tersebutlah, komunikasi politik begitu dinamis menjelang Pemilu 2014 ini. Sejumlah persoalan komunikasi politik itu mendorong para akademisi dibidang komunikasi untuk mengadakan diskusi secara nasional yang disatukan dalam Konferensi Komunikasi Nasional 2014, dengan mengambil tema Komunikasi Politik: untuk Demokrasi Indonesia yang Lebih Baik, yang dilaksanakan di Batam, pada tanggal 11-12 Maret 2014.

 

Konferensi ini di awali dengan seminar kemudian diakhiri dengan sesi paralel bagi para peserta untuk mempresentasikan makalah masing-masing dalam bidang komunikasi politik. Sesi presentasi dibagi menjadi empat kategori, yaitu: PR dan Marketing Politik, Media dan Politik, Politik Lokal dan Budaya Lokal, dan New Media & Demokrasi.

 

 

 

 

Prodi Komunikasi Unika Atma Jaya Jakarta mengutus salah satu dosennya, yaitu Bpk. Salvatore Simarmata, MA, menjadi pemakalah pada kategori: Media dan Politik, dan terpilih menjadi presenter terbaik dari antara 50-an pemakalah, dengan mempresentasikan paper bertajuk: Media sebagai Oposisi Institusional. Sementara dosen lain dari Unika Atma Jaya Jakarta adalah Bpk. Suharsono, M.Si, pada kategori Politik Lokal dan Budaya Lokal dengan judul makalah: Ikatan Primordial dan Perilaku Birokrasi serta Pengaruhnya terhadap Budaya Demokrasi di Indonesia: Kajian Teoritis.

 

Konferensi Komunikasi nasional 2014 diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi kemajuan demokrasi di Indonesia, lewat kajian komunikasi politik secara mendalam. Salah satu upaya untuk menjangkau lebih luas pihak-pihak berkepentingan, maka paper yang dipresentasikan pun diterbitkan dalam bentuk buku (Salvatore Simarmata)