ASK
ME

REGISTER
NOW

Kolokium FIA

05/14/2008 00:00:00

Energy Shock


Pembicara: Agung Iriantoko, MA.


Dosen FIA, Pengamat Masalah Energi


Jumat, 9 Mei 2008

 

Kolokium ini mengambil topik energy shock. Topik ini sangat relevan dengan kondisi yang saat ini terjadi di Indonesia. Indonesia mengalami permasalahan bidang energi, kenaikan harga minyak dunia yang sudah melewati batas psikologis dengan harga melebihi 100 USD per barel menjadi momok bagi Pemerintah Indonesia. Hal yang mendorong terjadinya kondisi ini karena pihak-pihak yang memiliki kandungan minyak menerbitkan obligasi, dan memperjualbelikan obligasi tersebut di pasar modal. Sehingga harga minyak pun terfluktuasi dinamis mengikuti dinamika pasar modal. Dalam paparan disebutkan pula bahwa krisis energi ini berbarengan dengan krisis pangan. Mengapa demikian? Kondisi saat ini menyatakan bahwa sumber energi merupakan barang-barang langka, sehingga semua pihak berlomba-lomba untuk mencari energi alternatif. Salah satu sumber energi alternatif yang potensial dikembangkan oleh negara-negara yang berbasiskan pada agrikultur (perkebunan dan pertanian) adalah bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. Penghasil minyak nabati adalah tanaman seperti jagung, jarak, minyak kelapa sawit, tebu dsb. Barang langka tentu dihargai lebih mahal, oleh karena itu terjadi kompetisi, antara kebutuhan energi dan kebutuhan pangan. Sehingga banyak argumentasi menyatakan bahwa krisis energi ini telah memicu krisis pangan.

 

Di Indonesia sebagian besar energi dikonsumsi oleh sektor transportasi, rumah tangga dan industri, serta sebagian kecil untuk berbagai sektor lainnya. Di kota seperti Jakarta, bahan bakar banyak terbuang di tengah kemacetan, dan jarak tempuh yang sangat jauh antara pusat pemukiman dan pusat hunian. Rumah tangga Indonesia menghabiskan banyak energi sebagai konsekuensi produksi masal barang-barang elektronik. Selain itu belum adanya peraturan mengenai energy intensify, juga membuat rumah tangga di Indonesia sangat boros energi. Dalam IMB pembangunan sebuah gedung atau rumah, belum ada ketentuan mengenai seberapa banyak bangunan tersebut akan menghabiskan energi. Rumah-rumah dan gedung-gedung yang dibangun dewasa ini dibuat dengan atap rendah dan ventilasi minimal. Konstruksi tersebut membuat penghuni mengadopsi sistem pendingin udara, agar tempat tinggalnya menjadi lebih nyaman. Ini berbeda dengan rumah-rumah lama yang dibangun dengan langit-langit tinggi dan jendela besar, sehingga sejuk ketika siang hari dan hangat ketika malam hari.

 

Terdapat banyak permasalahan dalam pengelolaan perminyakan di Indonesia, antara lain adalah masalah manajemen; Kontrak Production Sharing; produksi yang terus menurun; perincian komponen cost recovery, dll.

 

Dari sisi pengelolaan, sektor energi Indonesia ini tampaknya belum mendapatkan pengelolaan dengan baik. Saat ini pengelolaan minyak sebagai energi masih tergabung di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pengelolaan minyak seharusnya di bawah satu departemen saja, karena minyak ini sangat krusial bagi masyakarat dan keuangan negara. Begitu banyak aspek-aspek manajemen minyak yang perlu ditangani secara khusus. Titik lemah lain pengelolaan minyak adalah ketentuan bahwa transaksi jual-beli minyak harus melewati pihak ketiga (broker). Ini diberlakukan sedunia untuk menghindari embargo minyak seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Arab Saudi, karena sistem penjualan dan pembelian berlangsung G to G. Sistem melewati pihak ketiga ini dinilai merugikan, karena para broker tersebut mengambil keuntungan sebanyak 15% setiap barelnya. Selain itu, ketentuan-ketentuan OPEC terkait kesepakatan harga minyak juga menjadi beban terhadap harga minyak yang diekspor oleh Indonesia.

 

Indonesia sebagai salah satu negara dengan kandungan minyak terbesar di dunia -setelah Arab Saudi, Venezuela dan Alaska- dan dengan kualitas minyak terbaik setelah Alaska, menjadi net oil impoter sejak tahun 2004. Oleh karena itu, Indonesia menjadi sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia, yang pada akhirnya memberikan kerentanan terhadap APBN – di mana beban subsidi minyak dalam APBN sangat besar.

 

Perlu diketahui bahwa harga minyak dari alam Indonesia dibandingkan harga-harga minyak dari beberapa negara lain, termasuk paling tinggi. Minyak dari bumi Indonesia disebut light oil, yang terkenal dikilang dari sumur-sumur di daerah Sumatera, karena hanya memerlukan proses refinery yang singkat. Tidak seperti minyak yang diimpor oleh Indonesia, yang tergolong heavy oil, meskipun harganya lebih murah, memerlukan proses refinery yang panjang.

 

Ada cara pandang yang perlu diubah di sini. Selama ini Indonesia menjual minyak yang berkualitas bagus dengan harga yang tinggi, lalu mengimpor minyak dengan kualitas yang lebih rendah dari negara lain. Minyak mentah tersebut dijual tanpa melalui proses industri, padahal harga minyak tersebut dapat didongkrak naik bila melewati proses-proses industri. Tahun-tahun belakang ini, impor minyak mentah Indonesia tidak tertutupi oleh ekspor minyak. Ladang dan sumur minyak sudah tua, di mana perlatan produksi juga memerlukan peremajaan setelah 30 tahun digunakan. Hal itu membuat lifting minyak terus menurun, saat ini Indonesia memproduksi kurang dari satu juta barel per hari. Cara pandang perlu diubah dari pengilang minyak menjadi aktor industri perminyakan.

 

Perubahan cara pandang juga perlu dilakukan terhadap industri perminyakan. Selama ini industri perminyakan lebih dipandang sebagai domain dari para ahli geologi dan petrokimia. Padahal minyak membawa banyak konsekuensi ekonomis, sehingga industri perminyakan perlu ditangani secara ekonomis, oleh sumber daya manusia yang mengerti bisnis dan manajerial.

 

Salah satu contoh kelemahan manajerial dan perhitungan ekonomis dapat diamati pada proses eksplorasi ladang minyak. Kemampuan lembaga pengelolaan minyak dalam menentukan batasan-batasan komponen cost recovery dinilai masih sangat lemah, sehingga menyebabkan beban cost recovery juga relatif tinggi. Yang terjadi saat ini, kontrator mengeksplorasi daerah-daerah yang diramalkan mengandung minyak dengan 100% resiko di tangan kontraktor. Pemerintah Indonesia bersedia berbagi menanggung resiko hanya jika di daerah eksplorasi terbukti mengandung minyak. Perlakuan ini membuat kontraktor mengenakan biaya penggantian yang sangat besar. Apalagi jika kontraktor tersebut mempekerjakan tenaga ahli dari luar negeri. Biaya eksplorasi yang bila ditangani oleh ahli-ahli Indonesia menghabiskan biaya sekitar 2,500,000 USD dapat membengkak menjadi 7,000,000 USD atau lebih bila ditangani oleh ahli-ahli dari luar negeri. Indonesia selain tidak berani mentoleransi resiko eksplorasi, juga menyatakan pendanaan sebagai alasan utama. Sesungguhnya hal ini dapat diatasi dengan sebuah lembaga khusus yang disebut mining house. Indonesia perlu membangun mining house di beberapa negara, untuk secara khusus mengelola eksplorasi perminyakan domestik. Mining house adalah lembaga yang membangun dan mengembangkan portofolio berbagai aset mineral di seluruh dunia. Lembaga ini memiliki jaringan yang kompeten di dunia pertambangan dan perminyakan internasional, sumber daya teknis dan finansial, untuk memfasilitasi proyek-proyek yang mendukung strategi investasi. Melalui jaringan tersebut, mining house menciptakan portofolio yang menarik mengenai potensi mengakses sumber daya energi dan mineral dalam jumlah besar.

 

Untuk menghadapi masalah harga minyak dalam waktu dekat, cara praktis yang dapat dilakukan pemerintah  Indonesia yaitu menggunakan produksi minyak Indonesia untuk konsumsi domestik. Dinyatakan juga oleh Pak Agung, bahwa selama ini Indonesia baru memanfaatkan sumur-sumur minyak yang ada di daratan, belum yang di lepas pantai. Selentingan menyebutkan bahwa Indonesia memiliki banyak ladang minyak di lepas pantai. Mining house yang kuat dan pemetaan akan sumber-sumber ladang minyak baru dapat menjadi solusi jangka menengah terkait energi dari bahan bakar minyak.

Permasalahan energi ini akan terus berkembang terutama untuk Pulau Jawa. Penerapan energi yang bersumberkan air mengalami degradasi karena pengelolaan hutan (forest management) yang lemah. Alternatif yang dapat dimanfaatkan adalah gas. Penerapan gas ini dapat berhasil bila infrastuktur bahan bakar gas dapat dikembangkan secara cermat dan cepat. Selain itu, Indonesia juga dapat memanfaatkan liquid coal (batu bara cair). Meski liquid coal ini mendapat tentangan dari para pencinta lingkungan karena emisi yang ditimbulkannya. Selagi memiliki waktu sebaiknya Indonesia segera menata manajerial pengelolaan energi ini, dan menerapkan energy intensify di semua bidang kehidupan. Dalam waktu dekat, sumur-sumur minyak yang sudah tua akan mongering dan alat pengolahan minyak kita (yang digunakan mengolah minyak hasil impor) memerlukan peremajaan.



(Hasil kolokium diringkas Rosdiana Sijabat) -NAT