ASK
ME

REGISTER
NOW

Kredibilitas Kebijakan Publik

02/23/2005 00:00:00
Penulis/Peneliti : A. Prasetyantoko, SE, MSc

Bidang Penelitian :

Jurnal : Artikel Kompas

Volume :

Tahun : Januari 2005

Setelah Aceh dan Sumatera Utara dihantam gempa dan tsunami, gerakan solidaritas segera terjadi. Begitu pun para "penunggang bebas" yang juga lantas beraksi. Mulai dari calo tiket pesawat, pencatut sumbangan, hingga para penjarah di lokasi.

Menutup tahun 2004, ekonomi bergerak menuju pemulihan. Namun, penjarahan oleh para "penunggang bebas" terus terjadi. Di sektor perbankan, meski sudah melalui tahap rekapitalisasi, restrukturisasi, dan memakan biaya (costly), aneka masalah masih muncul.

Selama tahun 2004, dua bank-Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali-ditutup, satu bank beku operasi (PT Bank Global Tbk), dan satu bank masuk pengawasan khusus Bank Indonesia (Bank Persyarikatan Indonesia). Dalam kasus Bank Global, kompleksitas persoalannya bertambah karena terkait industri reksadana yang kini sedang tumbuh pesat. Inilah noda yang tidak bisa diabaikan dalam kebijakan liberalisasi sektor finansial.

Sementara itu, berbagai masalah pada sektor riil menandai makin liberalnya perekonomian kita. Pertamina (perusahaan swasta) menaikkan harga Pertamax dan elpiji 40 persen, pemerintah segera mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Bila subsidi dicabut, harga minyak tanah menjadi Rp 2.790 per liter, dari harga Rp 700 per liter. Meski subsidi hanya dinikmati lima persen masyarakat menengah-atas, tetapi amat naif jika tidak menyadari betapa beratnya dampak pencabutan subsidi bagi masyarakat bawah.

Ada janji bahwa subsidi dialihkan ke sektor pendidikan, kesehatan, dan penyediaan pangan. Efektifkah redistribusi subsidi? Telah lama kita menyangsikan kualitas kebijakan publik.


Sektor finansial

Sinkronisasi sektor finansial dan sektor riil menjadi masalah besar. Tahun 1988, kebijakan liberalisasi sektor perbankan diambil dengan tujuan menopang sektor riil agar tumbuh pesat. Hasilnya, pertumbuhan yang rapuh. Tahun 1998 ekonomi kita ambruk hingga (-) 13 persen akibat terlalu liberalnya (tanpa pengawasan) sistem finansial.

Pemulihan krisis, pertama-tama dilakukan dengan stabilisasi sektor finansial. Pemulihan perbankan menelan biaya tidak kurang dari Rp 600 triliun, meliputi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan biaya penjaminan perbankan. Namun, stabilitas sektor finansial harus dibayar dengan macetnya sektor riil (tingginya suku bunga hingga 60 persen).

Subsidi pemerintah terhadap sektor finansial amat besar, sementara liberalisasi di sektor finansial terjadi kian luas dan mendalam. Di tengah sistem pengawasan yang masih amatiran, liberalisasi sektor finansial cukup merisaukan. Bentuk kejahatan yang paling primitif dipertontonkan dalam kasus penipuan reksadana oleh Bank Global yang melibatkan perusahaan pengelola reksadana dana Prudence Asset Management.

Industri finansial berbasis kualitas informasi karena seluruh transaksi dilakukan dengan mengandalkan kepercayaan. Maka, persoalan informasi yang timpang (asymmetric information) merupakan salah satu sumber masalah yang sulit dipecahkan. Dalam diri para agensi, selalu ada naluri untuk menyembunyikan informasi. Dengan demikian, pasar finansial adalah mekanisme yang paling mustahil menjadi sempurna. Joseph E Stigiltz dan Akerlof, penerima Nobel Ekonomi 2001, membuktikan secara teoretis kerumitan informasi sistem finansial ini.

Di masa depan, tantangan terbesar dalam sistem perekonomian global adalah membangun tata-kelola (governance) di sektor finansial. Sebab, pada gilirannya sektor inilah yang akan menjadi penentu (determinace) sektor-sektor lain.

Robert Boyer, pemikir ekonomi regulasi (économie régulation) menerangkan, kini kapitalisme telah memasuki generasi ketiga. Generasi pertama adalah kapitalisme yang bergerak lewat transaksi dagang, generasi kedua berbasis pada gelombang industrialisasi, dan ketiga bertumpu pada industri finansial yang dewasa ini tengah berkembang pesat.

Majalah The Economist (edisi 27/11- 3/12) dengan judul depan the capitalism’s new kings melaporkan, dalam 10 tahun terakhir ini industri reksadana (private equity) mengalami pertumbuhan 3.000 persen. Di Indonesia, industri reksadana merupakan salah satu alternatif pembiayaan perusahaan yang berkembang pesat terutama setelah krisis. Hingga tahun 2004, dana bergerak dalam industri itu Rp 100 triliun. Padahal, di akhir tahun 2002 baru mencapai Rp 41, 6 triliun.

Apa sumbangan sektor finansial terhadap sektor riil? Semestinya, sektor finansial (terutama perbankan dan pasar modal) mampu memompa kinerja sektor industri melalui peningkatan modal kerja. Tetapi, sektor finansial lebih tertarik mendorong pertumbuhan bukan dari penawaran (supply), tetapi dari sisi permintaan (demand).

Bisnis perusahaan pembiayaan (multifinance) tumbuh 20-30 persen selama tahun 2004. Sementara penyaluran dana bank ke sektor itu menjadi Rp 8,3 triliun (2004) dari Rp 4,9 triliun (2003), atau naik 67 persen. Penggabungan bank dan perusahaan multifinance juga kian marak. Misalnya, antara Bank Danamon dan Adira Finance, atau Bank Internasional Indonesia (BII) dengan Wahana Otomitra Multiarta, sementara program kemitraan makin lazim terjadi, seperti Bank Mandiri dengan PT Astra Sedaya melalui kucuran kredit Rp 2,5 triliun.

Besarnya kredit konsumsi, dibanding kredit modal kerja dan investasi baru, menunjukkan rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi. Ditambah rendahnya tingkat regulasi di sektor finansial, bahaya besar mengadang di masa depan.


Regulasi

Selain soal intermediasi, sektor finansial juga menghadapi masalah regulasi. Rapuhnya regulasi yang melembaga telah menyeret pemerintah untuk terus mengucurkan subsidi. Secara resmi pemerintah mencabut program penjaminan perbankan, tetapi tampaknya dalam kasus Bank Global pemerintah belum bisa menghindar dari tanggung jawab ini.

Masalahnya, sistem pengawasan belum bisa mendeteksi secara dini berbagai penyimpangan agar segera dilakukan respons proaktif. Para pembobol bank dan bankir busuk leluasa meloloskan diri dari jeratan hukum, sementara pemerintah harus menanggung biayanya. Akhirnya, massa-rakyat yang harus menanggung dengan kian sedikitnya subsidi yang bisa disediakan pemerintah.

Regulasi di sektor finansial adalah bagian yang harus segera dibenahi agar penjarahan tidak lagi terjadi. Kredibilitas pemerintah akan amat ditentukan dengan kemampuannya menanggulangi berbagai ulah para "penunggang bebas" yang selama ini masih leluasa bergerak.

Dalam kasus Aceh, misalnya, pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp 10 triliun untuk membangun infrastruktur yang rusak. Tetapi, bagaimana dengan proses persidangan kasus dugaan korupsi Rp 13, 687 miliar yang dilakukan Abdullah Puteh dalam pembelian helikopter MI-2? Bayangkan, berapa pakaian dan makanan bisa tersedia dari uang itu.

Begitu pula dengan rencana pencabutan subsidi BBM. Kredibilitas kebijakan publik tidak mendapatkan legitimasi moral dengan aneka pilihan kebijakan yang diambil pemerintah sendiri.

Pendek kata, pilihan kebijakan dalam mengalokasikan anggaran (memberi/mencabut subsidi) akan menjadi isu sentral di masa datang. Selain itu, kemampuan melakukan pengawasan di sektor finansial akan menjadi isu fundamental. Demikianlah, kredibilitas kebijakan publik-baik di sektor riil maupun finansial-akan menjadi penentu kualitas perekonomian di tahun 2005.